Oleh:
Nurul Istiqomah
Minggu;
sebuah nama yang begitu diagungkan oleh semua, lebih-lebih bagi anak-anak.
Mereka seolah menemukan sebongkah es kebebasan di tengah dahaga berkepanjangan setelah
di enam hari yang lain difardhukan melakukan
pelbagai kewajiban sebagai murid. Baginya, hari minggu ialah hari raya bagi
umat beragama dan hari kemerdekaan sebagai rakyat yang bernegara. Anak-anak
berpengharapan penuh untuk dapat melakukan semua hal yang menyenangkan hati di
hari wajibnya sebagai siswa, namun kebanyakan mendapat tentangan dari orang
tua. Pada rentangan waktu itu, para orang tua berperan sebagai satpam,
mengawasi tiap gerak. Seolah tak berkenan menangkap bunyi kecuali gema tetes
keringat di atas buku. Dan Minggu sebagai pelampiasan.
Demikianlah,
anak-anak memaknai hari Minggu sebagai hari terlepasnya belenggu. Dan hal ini
turut diamini oleh para orangtua. Di
hari tersebut, mereka diberikan kebebasan penuh untuk memanggil semua
kesenangan dan menghadirkannya tanpa usikan. Persepsi anak-anak sebagai murid
terhadap hari Minggu tidak begitu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mereka
tetap memaknai Minggu sebagai hari bebas dari kungkungan sekolah.
Minggu dalam Catatan
Minggu
dan anak pernah disinggung dalam lagu anak gubahan Pak Kasur, Naik Delman. Dalam lagu ini, tergambar
suasana hari Minggu seorang anak. Pak Kasur merangkai dendang: “Pada hari
Minggu ku turut Ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk
samping pak kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya.” Pak Kasur mencoba mengunggah cerita
suka cita hari Minggu. Ini adalah wujud kecintaaan seorang pengabdi anak. Ia
mencoba menyelami “a-b-c”nya dunia anak. Coba menggali dan memahami makna
Minggu bagi mereka. Memandang hari Minggu lewat kacamata seorang anak.
Selain
Pak Kasur yang amat mencintai anak, pelbagai jenis buku pelajaran turut membahas
hari Minggu untuk murid. Tak terkecuali buku Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat (1951) karangan
Sitti Nur Zainuddin-Morro dan S. Zainuddin gl. Png Batuah. Di salah satu
halamannya tergurat secara khusus tentang Minggu. Di bacaan berjudul Hari Minggu
tertulis: “Hari Minggu bapak di rumah Anak-anak senang, boleh bermain
dengan dia. Boleh berdjalan djuga.’Nonton kita, Pak, kata Id. Masa, kata bapak.
Minggu yang lalu, sudah ‘nonton. Kita duduk-duduk sekarang di kebun. Ambil
tongkat bapak, tjari topi. Minta rokok, Pik! Jus bolak-balik, ia mentjari
bolanja. Upik membawa kotak-kotaknja. Ada batu ketjil-ketjil, ada
potongan-potongan kertas. Dalam kotak ada lidi, botol, apa jang tidak.
Masak-masakan, Id, serunja. ‘mbikin dodol, juh! Dodol ndak dojan, Pik, kolak
sadja. Ia melihat kambing dekat pohon. Us main bola bersama bapak. Awas, Pak,
katanja.”
Jelas
bahwa pada masa itu, betapa hari Minggu menjadi hari istimewa buat anak-anak. Setelah
enam hari tak dapat menikmatinya, di hari
itu mereka dapat bermanja dengan bapak, bercengkrama dengan saudara,
juga diperkenankan pergi menemui dunia luar. Mereka amat menikmati masa-masa
kumpul keluarga. Minggu adalah harinya keluarga.
Piranti Pintar
Lain
halnya dengan keadaan anak-anak kini. Meski pemaknaan hari Minggu masih
berkutat pada hari libur, esensinya telah mengalami pergeseran. Di hari Minggu,
anak-anak masa kini cenderung berkutat pada dunianya sendiri demi kepuasan
pribadi. Mereka lebih suka menghabiskan hari dengan bertarung lewat playstation, plesiran bersama teman,
atau bahkan bercinta dengan televisi. Keluarga bukan lagi menjadi tempat
menarik berbagi sukacita hari Minggu.
Arus
teknologi yang semakin tampil ke muka ikut ambil bagian dalam persoalan ini. Teknologi
bergerak luwes beriring ragam tawaran kemudahan. Gadget salah atunya. Akan
tetapi, kehadiran beragam gadget
lengkap dengan segala fasilitasnya tak lantas dipandang oleh para orangtua
sebagai masalah serius. Dengan dalih mengikuti kemajuan teknologi, para
orangtua berlomba memanjakan anak dengan segala rupa piranti pintar dengan
fitur terbaru. Tanpa disadari, kecanggihan teknologi justru berperan sebagai
pemicu putusnya komunikasi. Seorang anak akan lebih girang memeluk gadget ketimbang berkeluh di pangkuan
bunda. Ia merasa telah memiliki segala lewat sebatang benda pintar.
Kontradiksi
Minggu bagi anak tempo dulu dan anak
saat ini berpeluang memperlancar terkikisnya relasi anak-orangtua. Hari Minggu
yang dahulu dipakai sebagai ajang “jumpa kangen” keluarga, kini justru terlahir
sebagai hari milik pribadi. Ini yang kemudian menjadikan hubungan orangtua dan anak
menjadi terganggu oleh karena Minggu yang telah beralih fungsi. Intensitas
pertemuan orangtua-anak yang minim tak
lantas dibarengi upaya membangun kedekatan di hari Minggu. Maka menjadi hal
yang lazim jika anak lebih memilih kawan ketimbang rumah. Menunjuk sahabat
sebagai teman berbagi ketimbang berkeluh pada orangtua. Para orangtua dirasa
perlu mengubah pola pikir dalam mendidik anak. Bahwa relasi dalam keluarga
adalah jauh lebih penting ketimbang kasih sayang materiil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar