Rabu, 02 Maret 2016

Pasrah Perempuan Jawa

Oleh: Nurul Istiqomah

Nrimo, sabar, bakti seringkali disandarkan pada istri Jawa kuno. Perempuan terkurung dalam segala macam batasan. Bahwa istri adalah milik suami. Keselamatan dan kebahagiaan atas ridho suami. Pasrah kemudian dijadikan perempuan Jawa sebagai pilihan dengan melalui proses pertimbangan.
Sukarno dalam bukunya Sarinah (1963) berpendapat bahwa pasrah yang telah melekat pada diri perempuan bukanlah sebab kodrat, melainkan atas perlakuan kurang tepat. Sukarno berucap “sifat-sifat jang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat kaum perempuan itu mendjadi dinamakan ‘kaum lemah’, ‘kaum bodo’, ‘kaum singkat pikiran’, ‘kaum nerimo’, dan l.l bukanlah sifat-sifat jang karena kodrat ada terlekat pada kaum perempuan, tetapi adalah buat sebagian besar hatsilnya pengurungan dan perbudakan kaum perempuan jang turun-temurun, beratus tahun, beribu tahun.”
Label pasrah, selanjutnya, menjadi sebuah potret yang membentuk beragam rupa perempuan. Tergantung bagaimana mereka memerlakukan “pasrah”. Apakah akan dibawa menjadi laku pasif yang berarti hanya mampu berkata “iya”, atau malah memberi kualitas pada “pasrah”. Menggunakan pasrah sebagai kunci keseimbangan hidup, yakni menghadapi beragam konflik dengan mampu menunjukkan diri yang berfungsi namun tetap selaras dengan harapan lingkungan. Pada akhirnya, pilihan itu akan membentuk jiwa perempuan tegar berpendirian atau lembut penurut.

Istri Jawa
Lewat novel Ibu Sinder (1991), Pandir Kelana menampilkan sosok perempuan tegar bernama Winarti. Namun dalam novel ini, Pandir Kelana menyebutnya sebagai Ibu Sinder lantaran bersuami Pak Sinder. Sinder sendiri ialah sebutan untuk pengawas perkebunan di zaman Belanda. Sebutan buat suaminya ini kemudian turut melabeli sang istri. Sinder Suprapto, mengiring pergantian Ibu Prapto menjadi Ibu Sinder. Perempuan Jawa ramah, andhap asor namun sorot matanya, laku santunnya mempertontonkan wibawa. Pembawaan perempuan keraton tetap kentara meski kuat ia tutup asal-usulnya. Suguhan kerja nyata lebih baik ketimbang mengumbar keturunan. Begitu perempuan itu berpendirian.
Winarti terlahir sebagai putri ningrat terkungkung dalam kurungan Dalem Kusumojaten. Berayah pria bangsawan yang menjadi buah bibir wanita-wanita kerabat keraton. Pria ini sadar betul akan ketampanannya. Meski telah beristri empat, ia tak jua puas. Di luar dinding Kusumojaten, kekasihnya silih berganti. Tak jadi persoalan bagi masyarakat. Sudah menjadi hal yang lumrah seorang bangsawan beristri banyak dan memiliki “simpanan” di mana-mana.
Laku yang dipertontonkan ayah dan ibu Winarti membangun perwatakan perempuan Jawa pasrah pada dirinya. Terlebih kodrat ibunya sebagai istri wayuh seakan memberi kekuatan pada jiwa perempuannya. Menjadi pengingat bahwa hanya tersisa dua pilihan, diwayuh atau menjadi wayuh. Di lingkungan keraton, ia lebih dekat dengan istri pertama bapaknya. Darinya pula Ibu Sinder berguru bagaimana bersikap kepada istri wayuh.
Sebagai istri, Ibu Sinder adalah istri patuh pada suami. Menerima secara utuh kodrat sebagai istri. Suaminya bukan pria pemadu, tapi bukan pula pria setia. Ia begitu cinta pada istri, tapi ia tak kuasa menahan godaan di luaran. Ibu Sinder lumrah. Dunianya adalah dunia laki-laki. Perempuan wajib tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan oleh kaum pria. Sedikitnya, pemikiran macam ini lantaran bibinya, Dumilah, garwa ampil bapaknya, berpesan: “Di rumah ia sepenuhnya suamimu, tetapi begitu keluar pintu, kau harus bisa mengikhlaskannya.” Teguh ia pegang ajaran ini hingga ia bisa menerima segala.
Suatu ketika suaminya “bermain” dengan seorang Belanda-Indo, istri atasannya. Ia pandai memendam rasa, pandai bersikap demi menutupi. Pada suami ia berujar: “…Pak, seandainya dia itu wanita Jawa dan masih bebas, aku tak akan keberatan dia jadi maruku.” Jiwa legowo seorang istri ia tunjukkan. Bahwa pria tampan serupa suaminya layak mendapat haknya beristri lebih. Kepasrahan seorang istri Jawa justru mampu menampar suami. Hingga akhir hayat sang suami, Ibu sinder berhasil menjadi istri bebas wayuh.
Pandir Kelana menampilkan satu produk perempuan Jawa lembut penurut. Namun jiwa legowonya justru menghantar pada kebahagiaan. Keinginanan seorang istri yang tak terungkap justru terwujud tanpa sedikitpun pemberontakan. Pandir ingin memertontonkan kemujuran sebab kepasrahan seorang istri Jawa.

Pasrah yang Ter-upgrade
Dalam kehidupan nyata, pernah hidup seorang Kartini yang jadikan simbol sebagai tokoh emansipasi perempuan pertama di Hindia-Belanda (sekarang Indonesia), pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Kehidupannya pun tak jauh dari laku seorang perempuan Jawa, sebab tak berbeda dengan Ibu Sinder, ia pun keturunan bangsawan yang hidup dalam pingitan adat Jawa. Pramoedya Ananta Toer dalam buku Panggil Aku Kartini Saja (2012, cet. 9), mengutip surat Kartini yang menyebut, “Penjaraku adalah sebuah rumah besar dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok besar mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku.”
Demi melakoni kungkungan sebagai perempuan pingitan, Kartini bersikeras mengisi kekosongan dan kemurungan dengan terus belajar. Kegilaaannya pada dunia pustaka semakin menjadi hingga tak hentinya ia melahap segala rupa buku dan koran selepas semua pekerjaan wajibnya terpenuhi. Ia makan sebanyak-banyaknya segala yang jatuh di bawah matanya, mentah maupun matang. Bersyukur, sebelum masuk dunia pingitan, Kartini telah dibekali kemampuan membaca, kemampuan yang tak didapat Ibu Sinder yang buta huruf.
Dengan  bekal kepekaan dan keprihatinan, Kartini menulis segala perasaannya. Ia bersikukuh untuk membawa perempuan Jawa menjadi lebih maju. Ia sadar segala hambatan, geraknya tak bebas. Lantas tak habis akal, ia curahkan segala pemikiran lewat surat untuk kemudian aktif melakoninya. Mengarang, disebut Pram sebagai profesi yang menjadi kekuatan unggulan Kartini.
Di lain sisi, dibalik segala ambisinya menjadi perempuan tanpa belenggu, Kartini tetaplah perempuan Jawa yang patuh atas dasar cinta. Situasi ini digambarkan Pram dengan kembali mengutip tulisan Kartini:
Dan betapa tragiknya posisi dan situasi Kartini sewaktu ia angkat pedangnya dan hendak terbangkan senjata itu pada musuh cinta yang bernama poligami, tiba-tiba pedang itu terkulai ke tanah: musuh yang muncul di hadapannya -seorang pendukung poligami itu- ternyata Ayahnya sendiri, dan Ayah yang dicintainya.
Menggugat segala keterbelakangan perempuan adalah kehendak kuat seorang Kartini. Namun tidak jua melepaskan kodratnya sebagai perempuan yang musti patuh atas perintah. Membenci poligami tak lantas membikin ia terlepas dari jeratnya. Ia menjadi “korban” poligami. Melakoni laku seorang istri wayuh.
Pandir dalam karya fiktifnya menggambar perempuan Jawa patuh yang berujung pada kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan dengan wujud terbebas dari wayuh. Berbeda dengan Kartini yang dikisahkan oleh Pram. Meski ia getol menyuarakan kebebasan perempuan, nyatanya ia tak bisa melepaskan diri dari belenggu poligami. Ia akhirnya merasakan menjadi istri wayuh, terlepas dari fakta dukungan suami atas cita-citanya.
Perbedaan yang kentara pada diri Ibu Sinder dan Kartini adalah bahwa Kartini berkesempatan untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal ia menyalurkan keluh kesah. Hal yang tak didapat oleh seorang Ibu Sinder. Apa yang diungkapkan Pandir melalui tokoh Ibu Sinder dan sosok Kartini sebagaimana gambaran Pram merupakan contoh ragam rupa perempuan Jawa menyikapi stereotip pasrah. Sementara Ibu Sinder yang menampilkan keutamaan pasrah, Kartini meng-upgrade kepasrahan dengan kecerdasan yang ia miliki. Dan dua percontohan kisah di atas dapat dijadikan gambaran kehidupan perempuan-perempuan Jawa masa lalu.

Pada akhirnya, marilah kita bersama mengamini doa Sukarno yang tersemat pada Sarinah! “Moga-moga Allah melimpahkan rachmat kepada semua ibu-ibu di dunia, jang semuanja, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rachmat kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini “Bouwster der Menschheid” jang semuanja tidak ada jang minta dibalas djasa, tidak ada jang minta dibalas budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaja kita lebih menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!” []