Oleh: Nurul Istiqomah
Nrimo, sabar, bakti seringkali
disandarkan pada istri Jawa kuno. Perempuan terkurung dalam segala macam
batasan. Bahwa istri adalah milik suami. Keselamatan dan kebahagiaan atas ridho
suami. Pasrah kemudian dijadikan perempuan Jawa sebagai pilihan dengan melalui
proses pertimbangan.
Sukarno dalam bukunya Sarinah
(1963) berpendapat bahwa pasrah yang telah melekat pada diri perempuan bukanlah
sebab kodrat, melainkan atas perlakuan kurang tepat. Sukarno berucap
“sifat-sifat jang kita dapatkan sekarang pada kaum perempuan itu, dan membuat
kaum perempuan itu mendjadi dinamakan ‘kaum lemah’, ‘kaum bodo’, ‘kaum singkat
pikiran’, ‘kaum nerimo’, dan l.l
bukanlah sifat-sifat jang karena kodrat ada terlekat pada kaum perempuan,
tetapi adalah buat sebagian besar hatsilnya pengurungan dan perbudakan kaum
perempuan jang turun-temurun, beratus tahun, beribu tahun.”
Label pasrah, selanjutnya, menjadi sebuah potret yang
membentuk beragam rupa perempuan. Tergantung bagaimana mereka memerlakukan
“pasrah”. Apakah akan dibawa menjadi laku pasif yang berarti hanya mampu
berkata “iya”, atau malah memberi kualitas pada “pasrah”. Menggunakan pasrah
sebagai kunci keseimbangan hidup, yakni menghadapi beragam konflik dengan mampu
menunjukkan diri yang berfungsi namun tetap selaras dengan harapan lingkungan.
Pada akhirnya, pilihan itu akan membentuk jiwa perempuan tegar berpendirian
atau lembut penurut.
Istri
Jawa
Lewat novel Ibu
Sinder (1991), Pandir
Kelana menampilkan sosok perempuan tegar bernama Winarti. Namun dalam novel ini, Pandir Kelana menyebutnya sebagai
Ibu Sinder lantaran bersuami Pak
Sinder. Sinder sendiri ialah
sebutan untuk pengawas perkebunan di zaman Belanda. Sebutan buat suaminya ini
kemudian turut melabeli sang istri. Sinder Suprapto, mengiring pergantian Ibu
Prapto menjadi Ibu Sinder. Perempuan Jawa ramah, andhap asor namun sorot matanya, laku santunnya mempertontonkan
wibawa. Pembawaan perempuan keraton tetap kentara meski kuat ia tutup
asal-usulnya. Suguhan kerja nyata lebih baik ketimbang mengumbar keturunan.
Begitu perempuan itu berpendirian.
Winarti terlahir sebagai putri ningrat
terkungkung dalam kurungan Dalem Kusumojaten. Berayah pria bangsawan yang
menjadi buah bibir wanita-wanita kerabat keraton. Pria ini sadar betul akan
ketampanannya. Meski telah beristri empat, ia tak jua puas. Di luar dinding
Kusumojaten, kekasihnya silih berganti. Tak jadi persoalan bagi masyarakat.
Sudah menjadi hal yang lumrah seorang bangsawan beristri banyak dan memiliki
“simpanan” di mana-mana.
Laku yang dipertontonkan ayah dan ibu Winarti membangun
perwatakan perempuan Jawa pasrah pada dirinya. Terlebih kodrat ibunya sebagai
istri wayuh seakan memberi kekuatan pada jiwa perempuannya. Menjadi pengingat
bahwa hanya tersisa dua pilihan, diwayuh atau menjadi wayuh. Di lingkungan
keraton, ia lebih dekat dengan istri pertama bapaknya. Darinya pula Ibu Sinder
berguru bagaimana bersikap kepada istri wayuh.
Sebagai
istri, Ibu Sinder adalah istri patuh pada suami. Menerima secara utuh kodrat sebagai istri. Suaminya bukan pria pemadu, tapi bukan pula pria
setia. Ia begitu cinta pada istri, tapi ia tak kuasa menahan godaan di luaran.
Ibu Sinder lumrah. Dunianya adalah dunia laki-laki. Perempuan wajib tunduk pada aturan-aturan yang ditentukan oleh kaum
pria. Sedikitnya, pemikiran macam ini lantaran bibinya, Dumilah, garwa ampil bapaknya, berpesan: “Di rumah ia sepenuhnya suamimu, tetapi
begitu keluar pintu, kau harus bisa mengikhlaskannya.” Teguh ia pegang
ajaran ini hingga ia bisa menerima segala.
Suatu
ketika suaminya “bermain” dengan seorang Belanda-Indo, istri atasannya. Ia
pandai memendam rasa, pandai bersikap demi menutupi. Pada suami ia berujar: “…Pak, seandainya dia itu wanita Jawa dan
masih bebas, aku tak akan keberatan dia jadi maruku.” Jiwa legowo seorang
istri ia tunjukkan. Bahwa pria tampan serupa suaminya layak mendapat haknya
beristri lebih. Kepasrahan seorang istri Jawa justru mampu menampar suami.
Hingga akhir hayat sang suami, Ibu sinder berhasil menjadi istri bebas wayuh.
Pandir Kelana menampilkan satu produk perempuan Jawa
lembut penurut. Namun jiwa legowonya justru menghantar pada kebahagiaan.
Keinginanan seorang istri yang tak terungkap justru terwujud tanpa sedikitpun pemberontakan.
Pandir ingin memertontonkan kemujuran sebab kepasrahan seorang istri Jawa.
Pasrah
yang Ter-upgrade
Dalam kehidupan nyata, pernah hidup seorang Kartini yang
jadikan simbol sebagai tokoh emansipasi perempuan pertama di Hindia-Belanda
(sekarang Indonesia), pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Kehidupannya pun
tak jauh dari laku seorang perempuan Jawa, sebab tak berbeda dengan Ibu Sinder,
ia pun keturunan bangsawan yang hidup dalam pingitan adat Jawa. Pramoedya
Ananta Toer dalam buku Panggil Aku
Kartini Saja (2012, cet. 9), mengutip
surat Kartini yang menyebut, “Penjaraku
adalah sebuah rumah besar dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok
besar mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku.”
Demi melakoni kungkungan sebagai perempuan pingitan,
Kartini bersikeras mengisi kekosongan dan kemurungan dengan terus belajar.
Kegilaaannya pada dunia pustaka semakin menjadi hingga tak hentinya ia melahap
segala rupa buku dan koran selepas semua pekerjaan wajibnya terpenuhi. Ia makan
sebanyak-banyaknya segala yang jatuh di bawah matanya, mentah maupun matang.
Bersyukur, sebelum masuk dunia pingitan, Kartini telah dibekali kemampuan membaca,
kemampuan yang tak didapat Ibu Sinder yang buta huruf.
Dengan bekal
kepekaan dan keprihatinan, Kartini menulis segala perasaannya. Ia bersikukuh
untuk membawa perempuan Jawa menjadi lebih maju. Ia sadar segala hambatan,
geraknya tak bebas. Lantas tak habis akal, ia curahkan segala pemikiran lewat
surat untuk kemudian aktif melakoninya. Mengarang, disebut Pram sebagai profesi
yang menjadi kekuatan unggulan Kartini.
Di lain sisi, dibalik segala ambisinya menjadi perempuan
tanpa belenggu, Kartini tetaplah perempuan Jawa yang patuh atas dasar cinta.
Situasi ini digambarkan Pram dengan kembali mengutip tulisan Kartini:
Dan betapa tragiknya posisi dan
situasi Kartini sewaktu ia angkat pedangnya dan hendak terbangkan senjata itu
pada musuh cinta yang bernama poligami, tiba-tiba pedang itu terkulai ke tanah:
musuh yang muncul di hadapannya -seorang pendukung poligami itu- ternyata
Ayahnya sendiri, dan Ayah yang dicintainya.
Menggugat segala keterbelakangan perempuan adalah
kehendak kuat seorang Kartini. Namun tidak jua melepaskan kodratnya sebagai
perempuan yang musti patuh atas perintah. Membenci poligami tak lantas membikin
ia terlepas dari jeratnya. Ia menjadi “korban” poligami. Melakoni laku seorang
istri wayuh.
Pandir dalam karya fiktifnya menggambar perempuan Jawa
patuh yang berujung pada kebahagiaan. Sebuah kebahagiaan dengan wujud terbebas
dari wayuh. Berbeda dengan Kartini yang dikisahkan oleh Pram. Meski ia getol
menyuarakan kebebasan perempuan, nyatanya ia tak bisa melepaskan diri dari belenggu
poligami. Ia akhirnya merasakan menjadi istri wayuh, terlepas dari fakta
dukungan suami atas cita-citanya.
Perbedaan yang kentara pada diri Ibu Sinder dan Kartini
adalah bahwa Kartini berkesempatan untuk mengenyam pendidikan sebagai bekal ia
menyalurkan keluh kesah. Hal yang tak didapat oleh seorang Ibu Sinder. Apa yang
diungkapkan Pandir melalui tokoh Ibu Sinder dan sosok Kartini sebagaimana
gambaran Pram merupakan contoh ragam rupa perempuan Jawa menyikapi stereotip pasrah.
Sementara Ibu Sinder yang menampilkan keutamaan pasrah, Kartini meng-upgrade kepasrahan dengan kecerdasan
yang ia miliki. Dan dua percontohan kisah di atas dapat dijadikan gambaran
kehidupan perempuan-perempuan Jawa masa lalu.
Pada akhirnya, marilah kita bersama mengamini doa Sukarno
yang tersemat pada Sarinah!
“Moga-moga Allah melimpahkan rachmat kepada semua ibu-ibu di dunia, jang
semuanja, satu-persatu dilupakan orang. Moga-moga Allah limpahkan rachmat
kepada pembuat-pembuat kemanusiaan itu, kepada ini “Bouwster der Menschheid”
jang semuanja tidak ada jang minta dibalas djasa, tidak ada jang minta dibalas
budi. Dan moga-moga Allah bukakan mata kita semua, agar supaja kita lebih
menghormati dan menghargai kaum perempuan itu!” []