Sabtu, 14 November 2015

DEK

Pagi tadi, dek
Tiba-tiba aku teranugrah ilmu laduni macam
Nabi Sulaiman
Waktu kubuka jendela tadi pagi, dek
Dan kuhirup oksigen pagi bercampur basah embun,
Tanpa sengaja, kutangkap ocehan dua burung
Yang singgah di serambi
Berteduh sebab hujan semalam, agar tak kuyup.

Sayup-sayup kudengar mereka bercakap tentangmu, dek
Mereka telah mengenalmu, karna ternyata
tiap kali engkau datang, mereka
mengintipmu dari balik rimbun pohon itu

mereka kata, dek
semua yang buruk ada padamu
tak ada yang elok di dirimu
tidak kuat, kututup telinga rapat-rapat.

Ingin kuteriak biar jelas semua
Bahwa kamu, dek,
tak seburuk sangkaan,
tak sebobrok dugaan,
tak secacat ucapan.

mereka, dek
ingin kutangkap dan kumasukkan sangkar,
ingin kuajak duduk bersama denganmu, dek
agar mereka tahu apa yang kulihat darimu
agar mereka dengar apa yang keluar dari mulutmu
agar tak setengah-setengah mereka memandangmu

kepadaku, dek
kau tunjukkan yang tak tampak oleh sekitar.
celamu, dek
terbalas oleh lakumu
kau pilih jalanmu sendiri, dan tak mau hirau segala cicitan
“Aku tak mau bersembunyi,” katamu suatu hari.
kau tak butuh sanjung, tak haus puji
aku suka, dek

08:43
24032015

_teringat obrolan malam tadi

Mataku untuk Ibu Guru

Hari ini aku libur.
Bapak  dan ibu guru sedang rapat,
katanya.
Tak mau tinggal sendiri di rumah, aku
merengek ikut Ibu mengajar.
Ibuku juga seorang guru.
Ibu merestui setelah membikin perjanjian,
aku tak boleh ikut masuk kelas.

Sesampai di sekolah, ibu mengajakku ke kamar guru.
Waow.. luas sekali. Harum pula.
Tapi tak ada penghuni.
Ibu bilang,
“Mungkin sedang mengajar.”

Bel berbunyi, ibu masuk kelas. Berganti dua ibu guru
membiarkanku tanpa tanya.
Mereka mulai bercerita ngalor-ngidul.
Kasihan ibuku,
Berkali-kali namanya disebut. Mungkin ibu baru saja berbuat khilaf.

Mendengarnya aku mengkal.
Ingin ku bedaki bagai bayi celah-celah kulitnya.
Ku salepi borok di hatinya.
Biar cepat sembuh

Kelak,
aku tak ingin menjadi guru
yang pandai bikin alasan dan
pintar merangkai aksara cela
11:07
TA/01/09/14
Di sela-sela piket PPL seorang diri

TELUR BUAT IBU

Kali ini aku tidak tiduri pagi lantaran
ia sudah tak sudi meniduriku: ada cekcok dua hari lalu;
“tak bisakah kau, malah enyah dari ranjangku, sementara yang lain
berlari liar?” ia garang betul kala itu.

Selagi aku berpikir, hari ini aku alpa mengunjunginya. Lantas
aku pergi ke dapur sebelum ibuku bangun.
Aku ingin sempurna mencipta mata pada telur ibuku. Mata yang menoleh ke kiri
08:18
16062014

___di satu pagi waktu kangen emak

SELIMUT

Dingin malam bergumam,
"tidakkah kamu rindu rumah? peluk ibumu
pasti lebih hangat ketimbang
selimut tebalmu."

"aku ingin, tapi tak mungkin," ku balas pula
dengan gumaman. ia mencibir.
tak mau bertambah murung, lantas aku enyah.

sebelum tidur, ku ucap
salam pada Tuhan.
kububuh cium pula, sembari berucap,
"aku ingin rasa selimut selayak peluk ibu, Tuhan."
esok, 
baru ku beri peluk nyata untuknya

10:10

18062014

KUTUKAN

Di usia 5 tahun ia makan sambil tiduran dan menonton TV.
Ibunya berteriak, "Duduklah dan habiskan makanmu atau
kau akan jadi ular."

Lantas ia melirik kakinya. Ia rasa telah meliuk serupa ekor ular.
Gemetar ia usap kakinya sembari berujar
"Kakiku ada dua."

Memasuki masa remaja ia gemar makan di depan pintu sembari
bertukar lauk dengan anak tetangga.
Ibunya berseru, "Teruskan saja lakumu
kalau kau ingin jadi perawan tua."

Segera ia berlari ke depan cermin menyadari wajahnya penuh kerut.
Sedang di balik punggung, tiga karibnya telah menggandeng pasangan.
Cekatan ia usap wajah dengan telapak yang penuh peluh.
"Aku masih muda," katanya.

Suatu siang menjelang pesta pernikahannya,
karna tak ada lauk, ia bikin sambal dan
menambahkan begitu saja nasi di atasnya.
Ia habiskan nasi sebakul. Di tiga suapan terakhir ibunya datang,
"Hentikan! Pestamu pasti akan diserang hujan tiada henti."

Seketika perutnya berasa dikocok. Ia paksa keluar
semua isi perut. "Aku tak ingin Ibu merugi lantaran
tak ada tamu yang datang."

Seminggu berlalu
Ia tak lagi makan. Nafsunya telah hilang sebab
tak boleh buat posisi idaman

Berdiri ia di depan jendela kamar menghadap
ke arah matahari terbenam.
Dalam hati ia berucap,
"Selamat tinggal kutukan-kutukan."

Saat ibunya masuk keesokan harinya,
membawa seorang perias pengantin
ia terkejut hingga lemas.
Anaknya telah menjelma sebuah patung.


22:59

TA/17072014

TOPENG PENJELMAAN

Tibalah saat penjelmaan. Seorang pahlawan penebar janji
Berdiri berkacak pinggang seraya mendongakkan kepala
Tak peduli akan segala, tak jua membungkukkan dada
Berpoles wajah sebagai topeng
Mendekap lekat menutup bopeng
Bukan sebagai seorang bejat keparat, melainkan sang malaikat anti karat

Melenggok indah menebar senyum manis penutup kebohongan
Menganggap diri bayi tanpa dosa
Apa itu inginmu? Menganggap semua yang layak
hanya untukmu, yang hina mutlak bagiku

Hingga sampailah kau di hadapku. Serta merta layangkan tatapan sinis padaku
Rupanya kau tau aku membencimu. Ya, benar aku sangat membencimu
Ingin ku ucap berjuta caci. Tapi tak kuasa, bibirku tak cukup berani tuk beraksi
Aku masih menghormatimu
21.45
04052013


LAGI

Lagi, Aku mencium aroma tubuhmu. Ya, kau ada
disini, di sekitarku, di gerbong ini. Celingukan aku
mencarimu kala baumu mendekat. Ringkih tubuhmu tak mengubah air mukamu
melukis lelah. Kerut dahimu pertegas matamu yang teduh
mengaduh. Aku tenggelam dalam lamunan. Teguni rupa dirimu

Semenit kemudian,
engkau telah berdiri di depan seorang bapak berkacamata kuda.
“Sudikah kau bagi secuil jatahmu untukku hari ini?” engkau melenguh
Kau mengulanginya. Dua kali. Tiga kali. Berkali-kali
“Tidakkah kau ingin menyumbangkan sedikit daging
untuk menutupi tulang keringku ini?” bujukmu lagi.
Bapak berkacamata kuda tak menoleh. Tak jelas
apakah ia sadari hadirmu, atau malah ia tengah tertidur

Engkau tarik ujung bajunya, ia tergopoh
tidur rupanya ia. Engkau ulangi
mantramu, mantra pengharap belas
Tidakkah kau lihat, tulangku pun hanya berbalut kulit.” di luar sangkaan,
ia berang

“Mungkin aku akan mati jika kau enggan berbagi,” kau terus mengaduh
Bukan ku tak mau berbagi, hanya kurasa butuhku belum lagi terpenuhi.
Bagaimana mungkin aku
memangkaskan sedikit untukmu?!
Mintalah pada Tuhanmu, sebagaimana kulakukan pada Tuhanku
Atau kita akan mati bersama

Dan ini adalah nyata: menyaksikanmu kembali disini
Di tempat yang sama seperti dua hari lalu
adegan serupa dua minggu lampau
Saat tak sengaja bertemu
denganmu, pengemis kecil tanpa alas kaki
09:55

Tulungagung, 12/03/2013

Warisan “Beladjar Maoe”

Oleh Nurul Istiqomah
Mendapati budaya baca-tulis atau literasi di kalangan mahasiswa adalah hal sukar, mendekati kenihilan. Dengan dalih tumpukan tugas, membaca bukan lagi dijadikan kebutuhan. Pelbagai kewajiban dari kampus menghendaki para mahasiswa hanya menekuri satu macam ilmu saja. Tak ada waktu untuk bergumul bersama buku. Dan menulis, tidak lagi dijadikan sarana berbagi. Bisa jadi mereka membaca, tapi banyak hanya dijadikan sebagai wacana pribadi. Tidak merasa berkepentingan menularkan ilmu. Mahasiswa kini, pandai bersuara tapi masih enggan menelurkan dalam wujud aksara siap baca. Menulis bukan hal yang perlu dilakukan.
Kondisi mahasiswa dewasa ini adalah imbas dari kehidupan serba instan. Kerja membikin makalah misalnya, copy paste menjadi pilihan favorit. Kehadiran wikipedia, google, dan segala macam mesin siap saji menawarkan kemudahan. Mahasiswa terbiasa hidup bermanja-manja. Pertemuan dengan buku dirasa tidak lagi menarik.  Membaca buku adalah kerja buang energi. Urusan berlari pada gadget. Jemari lincah bermain layar sentuh. Belanja mingguan tak tersisih untuk surat kabar atau buku. Melakukan aktivitas serupa itu, sebenarnya, mereka hanya butuh mau.
Raden Poera Di Redja melalui buku ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) menyemaikan pemikiran terkait “Belajar Maoe”. Mau, adalah pelajaran wajib bagi tiap-tiap individu. Bahwa manusia dianugerahi nafsu yang akan melahirkan banyak mau. Tak semua orang cakap menaruh mau pada antrean untuk kemudian dipilah mana yang benar mengandung faedah dan patut mendapat sebuah kehormatan untuk diperjuangkan. Mau besar musti mendapat jalan untuk sampai pada sebuah maksud.
Raden Poera berucap, “Barang siapa tiada mempoenyai kemaoean, tiadalah ia ‘kan pernah memboeat sesoeatu; tiadalah ia ‘kan pernah mengerdjakan sesoeatu pekerdjaan; tiadalah ‘kan pernah menudju sesoeatu maksoed – orang itoe tiadalah akan pernah berboeat salah. Sebab senantiasa ia hidoep di dalam kesalahan besar… tidak mempoenjai maksoed.”
Manusia pemegang karunia kemauan besar, menurut Raden Poera Di Redja, akan dan selalu bersua dengan ranjau dan pelbagai kesulitan. Sebuah keniscayaan bahwa jalan tempuh tak akan mulus tanpa cacat. Jatuh terantuk batu, terkilir sebab lubang besar, atau bahkan lemparan kotoran oleh orang di pinggir jalan, tidak boleh ia palingkan. Saat itulah pembuktian seberapa besar dan kuat kemauan. Apakah ia tetap utuh bercokol dalam diri atau malah melemah, terkikis oleh antukan batu dan noda kritik. Kemauan kuat pastilah telah melewati fase berpikir. Pemikiran yang matang akan menelurkan kebulatan tekad.
Sebuah novel apik gubahan Pandir Kelana, Ibu Sinder (Gramedia Pustaka Utama, 1991) mengguratkan sebuah gambaran etos kerja. Kegigihan terang dilukis dalam fase hidup seorang wanita Jawa buta huruf. Bagaimana wanita ini, di usia yang tak boleh dibilang muda, tertatih mengeja aksara. Mengurusi “mau” macam ini, ia tak membiarkan malu datang bertamu, mengintip pun tak boleh. Demi sebuah harapan, mengikuti perkembangan bangsa.
Memantau Negara yang tengah gaduh oleh ricuh perjuangan tak hanya ia dapati dari mendengar radio.  Meski lamban dan terhuyung, ia mulai menjadi pengonsumsi media massa cetak. Inilah rupa “mau yang kuat” dan tak dibiarkan padam begitu saja. Perihal fisik dan pikiran, kita sebagai mahasiswa tentulah lebih teguh ketimbang seorang Ibu Sinder.
Sebagaimana kerja menulis. Menulis membutuhkan kemauan kuat. Sebuah kisah klasik, seorang penulis mendapat celaan, melakukan kerja sembunyi di balik pengawasan. Hal-hal demikian yang jika tak mendapat sentuhan khusus rawan memicu melemahnya hasrat, mandegnya keajegan. Tak ada lain yang mendukung kita kecuali niat dan maksud. Niat akan menjelma menjadi bayang-bayang selama hidup sampai kita mampu mewujudkan menjadi nyata.
 Niat atau mau itu yang mengajak kita berkelana naik turun lembah dan melewati jurang curam nan terjal. Mau, akan menghibur kita di saat susah, membangunkan kita di waktu jatuh, serta senantiasa menabur dan menanam gembira dalam hati, menjaganya untuk terus bersemi. Untuk menuju sebuah tujuan kita hanya cukup berkawan mau.
Pada akhirnya, seorang mahasiswa, menjadikan kerja membaca dan laku menulis adalah perlu. Menjaga “api mau” agar terus berkobar ialah wajib. Seperti halnya seorang anak yang belajar berjalan, menulis pun butuh belajar. Menulis harus beriring dengan hasrat. Menulis cukup berkawan mau. Di zaman serba instan, Raden Poera menjelma sebagai rambu pengingat bahwa tak ada satu pun pekerjaan tanpa perjuangan.

Terbiasa instan adalah cermin manusia tanpa tekad. Ritual mengeluarkan kotoran di pagi hari pastilah didahului prosesi menyantap makanan. Ingin menulis, maka kita musti membaca. Baca dan tulis adalah sejoli yang tak boleh dipisah. Sebuah ritual mustahil bergulir beberapa waktu saja. Ia mesti berjalan dalam mata rantai sebagai sebuah kerja kontinuitas. Penulis pemula wajib bekerja dalam target. Bermula dari paksaan akan berlanjut pada kebiasaan. Menulis bukan bakat, bukan pula warisan. Menulis karena mau. Menulis sebab terbiasa. Cukuplah makanan saja yang disajikan secara instan. Kita jangan!

Minggu dan Anak

Oleh: Nurul Istiqomah

Minggu; sebuah nama yang begitu diagungkan oleh semua, lebih-lebih bagi anak-anak. Mereka seolah menemukan sebongkah es kebebasan di tengah dahaga berkepanjangan setelah di enam hari yang lain difardhukan melakukan pelbagai kewajiban sebagai murid. Baginya, hari minggu ialah hari raya bagi umat beragama dan hari kemerdekaan sebagai rakyat yang bernegara. Anak-anak berpengharapan penuh untuk dapat melakukan semua hal yang menyenangkan hati di hari wajibnya sebagai siswa, namun kebanyakan mendapat tentangan dari orang tua. Pada rentangan waktu itu, para orang tua berperan sebagai satpam, mengawasi tiap gerak. Seolah tak berkenan menangkap bunyi kecuali gema tetes keringat di atas buku. Dan Minggu sebagai pelampiasan.
Demikianlah, anak-anak memaknai hari Minggu sebagai hari terlepasnya belenggu. Dan hal ini turut  diamini oleh para orangtua. Di hari tersebut, mereka diberikan kebebasan penuh untuk memanggil semua kesenangan dan menghadirkannya tanpa usikan. Persepsi anak-anak sebagai murid terhadap hari Minggu tidak begitu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mereka tetap memaknai Minggu sebagai hari bebas dari kungkungan sekolah.

Minggu dalam Catatan
Minggu dan anak pernah disinggung dalam lagu anak gubahan Pak Kasur, Naik Delman. Dalam lagu ini, tergambar suasana hari Minggu seorang anak. Pak Kasur merangkai dendang: “Pada hari Minggu ku turut Ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya.” Pak Kasur mencoba mengunggah cerita suka cita hari Minggu. Ini adalah wujud kecintaaan seorang pengabdi anak. Ia mencoba menyelami “a-b-c”nya dunia anak. Coba menggali dan memahami makna Minggu bagi mereka. Memandang hari Minggu lewat kacamata seorang anak.
Selain Pak Kasur yang amat mencintai anak, pelbagai jenis buku pelajaran turut membahas hari Minggu untuk murid. Tak terkecuali buku Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat (1951) karangan Sitti Nur Zainuddin-Morro dan S. Zainuddin gl. Png Batuah. Di salah satu halamannya tergurat secara khusus tentang Minggu. Di bacaan berjudul  Hari Minggu tertulis: “Hari Minggu bapak di rumah Anak-anak senang, boleh bermain dengan dia. Boleh berdjalan djuga.’Nonton kita, Pak, kata Id. Masa, kata bapak. Minggu yang lalu, sudah ‘nonton. Kita duduk-duduk sekarang di kebun. Ambil tongkat bapak, tjari topi. Minta rokok, Pik! Jus bolak-balik, ia mentjari bolanja. Upik membawa kotak-kotaknja. Ada batu ketjil-ketjil, ada potongan-potongan kertas. Dalam kotak ada lidi, botol, apa jang tidak. Masak-masakan, Id, serunja. ‘mbikin dodol, juh! Dodol ndak dojan, Pik, kolak sadja. Ia melihat kambing dekat pohon. Us main bola bersama bapak. Awas, Pak, katanja.”
Jelas bahwa pada masa itu, betapa hari Minggu menjadi hari istimewa buat anak-anak. Setelah enam hari tak dapat menikmatinya, di hari  itu mereka dapat bermanja dengan bapak, bercengkrama dengan saudara, juga diperkenankan pergi menemui dunia luar. Mereka amat menikmati masa-masa kumpul keluarga. Minggu adalah harinya keluarga.

Piranti Pintar
Lain halnya dengan keadaan anak-anak kini. Meski pemaknaan hari Minggu masih berkutat pada hari libur, esensinya telah mengalami pergeseran. Di hari Minggu, anak-anak masa kini cenderung berkutat pada dunianya sendiri demi kepuasan pribadi. Mereka lebih suka menghabiskan hari dengan bertarung lewat playstation, plesiran bersama teman, atau bahkan bercinta dengan televisi. Keluarga bukan lagi menjadi tempat menarik berbagi sukacita hari Minggu.
Arus teknologi yang semakin tampil ke muka ikut ambil bagian dalam persoalan ini. Teknologi bergerak luwes beriring ragam tawaran kemudahan. Gadget salah atunya. Akan tetapi, kehadiran beragam gadget lengkap dengan segala fasilitasnya tak lantas dipandang oleh para orangtua sebagai masalah serius. Dengan dalih mengikuti kemajuan teknologi, para orangtua berlomba memanjakan anak dengan segala rupa piranti pintar dengan fitur terbaru. Tanpa disadari, kecanggihan teknologi justru berperan sebagai pemicu putusnya komunikasi. Seorang anak akan lebih girang memeluk gadget ketimbang berkeluh di pangkuan bunda. Ia merasa telah memiliki segala lewat sebatang benda pintar.
Kontradiksi  Minggu bagi anak tempo dulu dan anak saat ini berpeluang memperlancar terkikisnya relasi anak-orangtua. Hari Minggu yang dahulu dipakai sebagai ajang “jumpa kangen” keluarga, kini justru terlahir sebagai hari milik pribadi. Ini yang kemudian menjadikan hubungan orangtua dan anak menjadi terganggu oleh karena Minggu yang telah beralih fungsi. Intensitas pertemuan  orangtua-anak yang minim tak lantas dibarengi upaya membangun kedekatan di hari Minggu. Maka menjadi hal yang lazim jika anak lebih memilih kawan ketimbang rumah. Menunjuk sahabat sebagai teman berbagi ketimbang berkeluh pada orangtua. Para orangtua dirasa perlu mengubah pola pikir dalam mendidik anak. Bahwa relasi dalam keluarga adalah jauh lebih penting ketimbang kasih sayang materiil.



KORUPSI; TAK CUKUP DUA TANGAN UNTUK MELIBAS


Korupsi di Indonesia tampaknya telah mengurat daging. Telah menjadi semacam dosa yang dijadikan budaya turun-temurun. Bagaimana tidak, korupsi terjadi secara sistematik, dimana kini korupsi telah menginfeksi hampir ke seluruh tataran sistem pemerintahan mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah sekalipun. Korupsi bukan lagi menjadi santapan para pejabat tinggi, namun pegawai biasapun sudah  mulai terbiasa dengan hal semacam ini, yang bisa menjadi candu bagi siapapun yang coba menjamahnya. Jika tidak ada sanksi tegas yang memunculkan efek jera pada pelaku, maka dapat dipastikan wabah ini akan semakin merebak.
Kasus korupsi yang dilakukan para pejabat penyelenggara Negara, merupakan suatu penghianatan kepercayaan yang telah dimandatkan kepadanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan lunturnya kepercayaan rakyat terhadap wakilnya di kursi pemerintahan. Terlebih lagi, banyak pelaku korupsi yang justru lolos dari jerat hukum sambil menggondol hak-hak rakyat. Ironis memang, mereka yang digadang-gadang mampu membawa rakyat Indonesia sedikit melangkah menuju kehidupan yang lebih sejahtera, justru melemparnya pada jurang kesengsaraan.
Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan satu langkah berani pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK sendiri merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi yang dalam prakteknya berjalan secara independen tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Lembaga ini terlahir ke dunia disebabkan oleh aparat penegak hukum konvensional (kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik dalam hal tindak pidana korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa KPK muncul sebagai jawaban dari kerja aparat penegak hukum konvensional yang buruk. Untuk membarantas kasus korupsi yang merupakan kasus luar biasa dibutuhkan manusia-manusia yang luar biasa pula. Ini kemudian menjadi sebuah gebrakan yang sangat membantu aparat penegak hukum (kepolisian, hakim, pengacara) dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu diharapkan KPK dan aparat penegak hukum berjalan bersama menegakkan hukum demi terciptanya Indonesia yang bebas korupsi. Namun faktanya adalah selama ini KPK masih berkutat pada pemberantasan korupsi di permukaan namun  belum mampu menyentuh apa yang sebenarnya menjadi akar penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia. Seperti halnya praktek uang pelicin yang marak terjadi di kalangan aparat penegak hukum dengan tujuan memutar lidah.
Dalam pemberantasan korupsi, dua hal yang perlu disorot adalah pelaku dan hukum. Oknum pelaku korupsi adalah pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak buruk terhadap sistem perekonomian negara. Oknum-oknum semacam ini sudah selayaknya ditindak secara tegas, sehingga hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku pun wajib ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara kita adalah negara hukum, sehingga tak satupun warganya yang kebal hukum; baik itu pejabat tinggi maupun rakyat biasa. Seorang yang memiliki kekuasaan jabatan dan ekonomi tidak membuat aparat penegak hukum mengendurkan jeratan hukum dengan alasan sungkan atau bahkan setelah disuapkan sesuatu ke dalam mulutnya, karena dengan alasan apapun dia telah memakan yang bukan haknya. Di lain sisi, rakyat biasa tak lantas patut untuk dikasihani jika memang terbukti melakukan kesalahan yang sama walaupun dengan alasan keterbatasan ekonomi.
Mengingat korupsi yang kini telah menjalar hingga ke akar, maka akan sulit kiranya jika pemberantasannya hanya dibebankan pada satu pihak saja. Karena jika kita merujuk pada teori yang dikemukakan prof Neil C. Chamelin tentang keterpaduan sistem peradilan pidana (intregated criminal justice system), yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Permasyarakatan, dan Advokat, dikenal dengan terminologi Panca Wangsa penegak hukum, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat. Namun tak cukup juga hanya dengan memiliki keinginan untuk membasminya, namun juga harus dipastikan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran penegak hukum di Indonesia juga bersih dari segala bentuk praktek yang mendukung terjaganya kasus semacam ini. Karena bukan tak mungkin aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari mereka, pemakan hak rakyat. Atau bisa jadi mereka membantu melicinkan jalan bagi mereka si pelaku atau bahkan yang paling parah adalah menghilangkan jejak para koruptor.
Jadi, yang mula-mula harus mendapatkan perhatian khusus, harus dibersihkan ialah para aparat penegak hukum. Bersihkan segala bentuk praktek yang tidak patut. Karena untuk menegakkan hukum, dibutuhkan para penegak hukum yang betul-betul menjunjung tinggi nilai hukum. Semboyan “meskipun langit runtuh hukum harus tetap dijalankan” seyogyanya bukan hanya dipakai sebagai yel-yel pembakar semangat. Namun pada prakteknya, tidak sedikit aparat penegak hukum Indonesia justru kerapkali menelikung  dari aturan-aturan kemudian membuangnya ke tong sampah dan menutupnya rapat-rapat, padahal langit kita belumlah runtuh.
Hal lain yang perlu mendapatkan sorotan adalah mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Selama ini para koruptor seolah tidak dibebani rasa takut ketika menjalankan praktek keji ini karena memang tidak ada hukuman yang menakutkan bagi para koruptor terdahulu. Hukum yang seolah dibuat remang sering memunculkan beberapa penafsiran sehingga tak jarang memicu perdebatan. Saat-saat seperti inilah yang kemudian dijadikan para koruptor untuk mencari cara agar terbebas dari jeratan hukum, seperti menyewa pengacara kondang misalnya. Sehingga tak jarang ending dari sebuah kasus korupsi adalah pelaku kembali dapat bebas menghirup udara segar dan mungkin saja kembali meneruskan aktifitas busuknya.
Demi memunculkan efek jera bagi pada pelaku, wacana hukuman mati yang sempat digaungkan oleh berbagai pihak rasanya perlu mendapat pertimbangan khusus. Terlebih lagi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar telah menyetujui hal ini, dengan demikian membuat hakim Tipikor berani untuk mengimplementasikannya. Selama ini, UU yang mengatur masih membatasi hukuman mati bagi pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Peraturan seperti ini dapat memudahkan tersangka korupsi melenggang dengan mencari berbagai alasan yang membawanya pergi dari jeratan hukuman mati.
Jika kita mau berkaca pada negara lain, Cina  misalnya, merupakan salah satu contoh negara yang telah melegalkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan korupsi dan ekonomi. Bermula pada tahun 1998, pemerintah Cina melakukan pemutihan terhadap semua tersangka korupsi. Baru setelah seluruh pejabat dipastikan bersih dari korupsi, hukuman mati akan berlaku bagi pejabat yang kedapatan melakukan praktek korupsi sehari setelah proses pemutihan.
Ketegasan sanksi bagi para koruptor yang dipegang teguh oleh Cina ini memang memunculkan efek jera bagi pelaku, namun hukuman mati saja tak cukup rasanya mengingat jejak kerugian yang ditinggalkan. Dalam hal ini tidak ada salahnya jika kita menengok pada Hongkong, sebuah kota istimewa di Cina yang memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Di hongkong, terdapat lembaga setara KPK yang diberi nama Independent Commision Againt Corruption (ICAC) yang dapat menangkap, menggeledah, serta menyita tanpa memiliki surat perintah. Lembaga ini memebekukan harta tersangka, kemudian menyita dokumen dan passpor sehingga tersangka tidak bisa melarikan diri ke luar negeri. Ini membuat mereka akan terhukum secara ekonomi, sehingga akan membutuhkan pemikiran berulang kali sebelum melakukan praktek jahat ini.
Setelah berkaca pada dua negara yang memiliki hukum tegas dalam memberantas korupsi, kita tidak lantas menelan mentah-mentah kedua hukum tersebut, melainkan dengan menggabungkan keduanya dengan menyertakan syarat-syarat tertentu. Misalkan saja, hukuman mati hanya berlaku pada pelaku tindak kejahatan korupsi yang merugikan keuangan negara. Dan untuk kasus korupsi lainnya, dapat dijerat dengan hukuman pidana ditambah dengan hukuman ekonomi. Namun yang terpenting dari kesemuanya ini adalah kesadaran bahwa korupsi adalah dosa besar karena telah merampas hak orang lain dan ini wajib dihindari. Kita bisa memulai dari diri sendiri, karena untuk menjadi perubah, terlebih dahulu kau harus berubah.
Nurul Istiqomah, mahasiswa TBI semester 4

Kebijakan Diskriminatif Kaum Difabel

Oleh: Nurul Istiqomah

Kaum difabel telah terbiasa mendekam dalam ruang sempit berdamping bisikan-bisikan menyakitkan. Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat hasrat dan cita menziarahi samudra intelektualitas. Keinginan terbentur aturan. Kehendak tak berbayar sarana.

Istilah difabel, akronim dari different ability atau different ability people, menghantar kita pada sebuah sekat pembeda, penghakiman tanpa pertanggungjawaban. Memampangkan sebuah lukisan tak lazim untuk kemudian menjelma gambar tak layak sentuh. Difabel muncul dengan segala rupa keterbatasan tanpa pemakluman. Dipandang dina yang minim kuasa.
Para penyandang difabel adalah mereka pemegang kepercayaan Tuhan sebagai insan yang terlahir dengan keterbatasan fisik. Keterbatassan ini sering pula dipandang sebagai kekurangan dan penghalang. Kenyataannya, sudah banyak cerita bahwa kalangan difabel justru lebih sukses ketimbang kita, pemilik tubuh normal. Sayangnya, untuk mencapai pintu sukses, mereka diharuskan berlaku mandiri. Ini lantaran tak ada fasilitas atau sarana penunjang gerak. Mereka musti membiasakan diri hidup bersama segala media yang sama digunakan oleh manusia umum. Tak ayal kepayahan akan dirasa.
Kaum difabel telah terbiasa mendekam dalam ruang sempit berdamping bisikan-bisikan menyakitkan. Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat hasrat dan cita menziarahi samudra intelektualitas. Keinginan terbentur aturan. Kehendak tak berbayar sarana.

Minoritas yang Terabaikan

Difabel memang minoritas, namun mereka juga warga Negara yang memiliki hak persis dengan kita. Pemerintah telah menjamin itu. Dalam UUD 1945 Pasal 28 C(1) dijelaskan:“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Setiap orang bermakna semua orang tanpa pengecualian. Artinya, kaum difabel adalah salah satu yang dijamin haknya untuk mengembangkan diri dan melakukan kerja memenuhi kebutuhan. Sungguh disayangkan ketika peraturan yang telah dibikin tak berjalan beriring tindakan. Fasilitas khusus kaum difabel adalah sesuatu yang sangat sukar ditemui. Bukankah keadaan serupa ini adalah cermin pelanggaran Undang-Undang? Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa kaum difabel mendapat akses yang sama.
Dalam lembar lain perundang-undangan Indonesia, dijelaskan secara khusus penjaminan hak kaum difabel.  Dalam UU No 19 Tahun 2011, tertulis bahwa hak penyandang disabilitas adalah “memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain”. Lebih lanjut dimaktubkan pula bahwa kewajiban negara adalah: “merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi”. 
Nyatanya, keterbatasan fasilitas bagi kaum difabel masih ditemui di banyak ruang publik. Keterbatasan itu terlihat, misal pada akses publik semacam trotoar, transportasi, dan fasilitas publik lainnya. Pun dalam lini komunikasi informasi. Kaum difabel mengalami keterbatasan dalam hal akses buku, internet, televisi. Lain dari itu, perihal ketenagakerjaan, memampangkan syarat sehat jasmani dan rohani. Kaum disabilitas dianggap tak sehat dan tak layak kerja. Sementara mereka musti menanggung hidup diri, akses pemenuhan terhalangi. Ini merupakan sekat pembatas menuju kesetaraan kesejahteraan.
Menyoal fasilitas, kaum difabel tak lantas boleh disamakan dengan individu normal. Sebagaimana fisik yang tak serupa orang kebanyakan, mereka butuh perlakuan khusus. Sebagai contoh, akses informasi untuk tunanetra sangatlah minim. Saat ini, tak satu pun buku berabjad braille mejeng bersama deretan buku-buku di perpustakaan manapun di kotaku, termasuk di kampusku. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus agar mereka juga dapat mengakses selayak kita. Tak cukup fasilitas yang tak berpihak padanya, ketidaknormalan fisik masih dianggap sebagai aib. Pandangan tak bersahabat dari sekeliling masih sering mampir seolah menghakimi. Kelainan badaniah tak lantas membuat mereka iba, justru mencibir atau bahkan berlaku sebagai manusia apatis yang tak mau peduli. Kalaupun hati tak mampu menggerakkan tangan untuk membantu, tak perlu sekiranya cemooh keluar dari mulut.
Pernah suatu ketika seorang teman berkisah. Sepulang dari kampus, ia melihat sebuah adegan kurang mengenakkan. Seorang difabel yang kepayahan saat hendak turun dari bus, justru mendapat bentakan dan celaan dari kernet. Yang lain, menikmati perannya sebagai penonton. Menyaksikan sebuah pertunjukan langka, sebuah pemandangan yang tak sepatutnya terjadi. Cukuplah ia dianggap sebagai pesakitan, jangan pula ditambah dengan pandangan cibir serta ucapan nyinyir. Perih hati pasti dirasa. Dimanapun ia hadir pandangan merendahkan tak jarang ia terima. Pun celaan, telah ia anggap sebagai hal lumrah. Di saat keadaannya dipandang sebagai sesuatu yang beda, ia menjadi makin terpojok, tersingkir dalam kerumunan. Hanya diri dan keluarga yang mampu menjadikan jiwa lebih tegar. Satu hal yang perlu diingat, terlahir sebagai manusia berbeda bukan harapan.
Ketimpangan pun terjadi pada lembaga penyedia layanan pendidikan. Di kampus dan sekolah menengah Tulungagung misalnya, memang tidak banyak dijumpai individu penyandang difabel. Namun, individu penyandang disabilitas tak boleh dikatakan nihil. Sayangnya, fasilitas khusus penyandang difabel sama sekali tak dapat ditemui. Lembaga pendidikan berdiri tak memandang individu payah. Pun di tingkat kota, meski sudah barang tentu kuantitasnya lebih besar, belum lagi dijumpai fasilitas khusus penyandang disabilitas. Karena merasa diri sebagai minoritas, mereka, kaum difabel memilih hening dan turut pada keadaan. Menggunakan begitu saja semua fasilitas yang ada. Mencoba menjadikan segala sarana pelancar pelaksanaan fungsi, cocok untuknya. Lagi-lagi, kurangnya fasilitas memaksa mereka nyaman dengan keadaan.

Difabel dalam Pendidikan

Wacana yang belakangan hangat menjadi perbincangan adalah prasyarat mengikuti ujian serentak masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN. Syarat SNMPTN 2014 dianggap mendiskriminasi kaum difabel. Diantara syarat tercantum larangan bagi penyandang disabilitas mengikuti ujian ini. Syarat tersebut menulis bahwa mahasiswa baru tidak boleh tunanetra, tunarungu, tuna lainnya, juga buta warna. Ini berarti, secara tak langsung pemerintah telah memutus hak berpendidikan mereka. Pendidikan tak seharusnya membeda-beda. SNMPTN selayaknya menjadi jalur tes murni yang hanya mempertimbangkan kemampuan otak. Tak perlulah fisik turut dipandang. Biarlah jalur ini menjadi jalan buat mereka. Karena melalui jalur ini, para penyandang disabilitas dapat bersaing untuk mendapat kesempatan belajar di semua jurusan.
Meski setelah mendapat kecaman dari pelbagai kalangan pelarangan mengendur di beberapa Perguruan Tinggi, pelarangan bagi penyandang disabilitas di beberapa jurusan masih berlaku. Jurusan kedokteran misalnya, dengan keras menyatakan steril buta warna. Perihal melarang lantaran jurusan ini mewajibkan mahasiswa mampu membedakan warna. Kembali mereka terputus akses menggapai cita oleh karna aturan.
Di tingkat sekolah dasar, pemerintah telah mewajibkan tiap daerah memiliki sekurang-kurangnya 4 sekolah inklusi yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Yakni sekolah umum yang membolehkan kaum difabel turut serta. Sayangnya, di Tulungagung, baru ada satu sekolah dasar inklusi selagi anak dengan kebutuhan khusus kian bertambah kuantitasnya. Dalam hal ini, yang menjadi catatan adalah peran pemerintah dalam menjalankan UU yang telah sempurna dibuat. Pemerintah dirasa perlu meluruskan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Rakyat tanpa pembeda.
Menjadi difabel ditengah masyarakat yang menganut madzhab normalisasi, paham pemuja kenormalan, dimana segala sarana publik didesain dan disesuaikan dengan kebutuhan “orang normal” memanglah sulit. Betul bahwa kaum difabel tak cukup mampu menjalani kerja fisik sebagaimana manusia normal. Tapi, mereka tetaplah manusia yang membawa potensi dalam diri masing-masing. Untuk itu, sudah sepatutnya meraka mendapat segala sarana dan fasilitas, termasuk hak memperoleh pendidikan dan pemenuhan sarana publik. Kalau kita bisa dengan leluasa memenuhi ingin demi mengembangkan potensi, pun mereka punya hak yang sama. Mereka memiliki kewenangan untuk mendapat apa yang seharusnya mereka dapat. Perlindungan bukan dalam rupa sumbangan, melainkan kesetaraan hak. Mereka sama seperti individu normal.

Mobil

Oleh: Nurul Istiqomah
Gaya hidup berorientasi pada materi adalah cermin masyarakat konsumerisme. Wabah ini terus merebak, cekatan menularkan pada yang lain. Ada kebergantungan pada benda-benda mewah, menganggap sebagai sebuah kesenangan. Gaya hidup berbasis konsusmsi makin digemari. Persaingan sesama kaum konsumis kian marak. Berusaha menunjukkan kelebihan demi kesan prestise.  Berlomba mencapai titik puncak, namun tidak ada batasan puncak yang pasti. Puncak bahagia yang tak paten membuat persaingan tiada akhir.
Tayangan televisi dan iklan pada berbagai media massa membuka lebar jalan para produsen tawarkan barang. Film-film pun turut ambil bagian. Konsumis menyalurkan hobi. Hobi mengonsumsi mengesampingkan urusan menghemat belanja. Tak ada bedanya kebutuhan dan keinginan. Semua memaksa untuk dipenuhi. Kebiasaan konsumsi jelas meminta ongkos. Ongkos yang tak semua dapat memenuhi. Kesenjangan niscaya akan terwujud.
Kebutuhan berkendara turut terpengaruh gaya konsumerisme. Kendaraan bukan lagi sebagai kebutuhan. Ia telah menjadi semacam gaya hidup. Semua berlomba tampil jadi yang terbaik. Sepeda jarang tampak, sepeda motor berserakan, mobil penuh desak. Pemilik kendaraan layak bukan lagi orang kaya. Yang membedakan adalah merk yang mereka pilih. Semua benda itu meraka jadikan simbol status sosial dan daya tarik.
Mobil, misalnya,  bagi sebagian orang menjadi barang mewah pencitra reputasi. Mobil bukan lagi dilihat dari fungsinya. Mobil tidak lagi sebagai penyatu keluarga. Padahal, kalau kita mau lebih dalam merasa dan membuang semua pemikiran seorang konsumis, mobil lebih dari sekedar ajang gengsi. Melalui mobil, keluarga melihat perjalanan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bercakap dan mendengar. Bergantian menyalurkan resah dan pandangan. Mobil mengumpulkannya jadi satu. Menutup semua akses keluar demi bertautnya semua kata. Mobil adalah ruang gerak ide. Ide boleh mengembara ke segala penjuru, tapi mobil mengambil peran, sebaai wadah.
Lain yang terjadi hari ini. Manusia kini mendewakan mobil. Melihat mobil bukan sebagai pemersatu. Para orangtua kaya memilih menghadiahi anaknya dengan sebuah mobil. Orang tua serupa ini berpikir bahwa dengan mobil, anaknya akan terlihat lebih di mata temannya. Lagi-lagi reputasi. Kaum borjuis memandangnya sebagai kebutuhan. Mereka akan berusaha, meski tertatih, melangkah tangga demi tangga demi memantaskan diri atas kepemilikan mobil. Saat tiba pada tangga pantas atas kepemilikan mobil mereka tak akan berhenti. Kalaupun berhenti, hanya untuk rehat, menghela nafas. Selanjutnya, mereka akan berlari menaiki ribuan anak tangga tak berujung. Manusia memang tak lagi punya tujuan akhir.
Para pemuja mobil serupa Raffi Ahmad dan Syahrini akan rela berhutang untuk sekedar melengkapi koleksi. Mobil dijadikan koleksi. Satu mobil tidak cukup untuk sekedar memenuhi hasrat berlaku menonjolkan keunggulan. Para pengoleksi melihat mobil sebagai penanda nama. Nama besarnya akan mengajak mereka terus berlaku lebih. Nama besar berongkos besar. Begitulah yang terlihat. Berpose bersama mobil-mobil mewahnya adalah ia pakai sebagai pembesar nama besar. Ia tidak cukup hanya dengan menjadi besar saja. Sudah banyak orang besar, maka ia perlu menjadi lebih besar lagi. Mobil sebagai ajang pamer. Mobil pelengkap fashion. Fashion bukan lagi terbatas pada baju, tas, perhiasan, sepatu, dan segala yang melekat pada tubuh.

Mobil kini telah bergeser fungsinya. Bukan lagi sebagai alat tranportasi. Fungsinya kini lebih pada cermin popularitas. Terkadang terkesan mekso. Tapi pemeran tak jua jengah, lebih pada menikmati meski tercekik. Begitulah kira-kira. 

Perempuan Centhini

Oleh: Nurul Istiqomah
Elizabeth D. Inandiak adalah manusia sakral, seorang Perancis kurang waras yang nekat bergumul dengan 4000 halaman kitab bahasa Jawa kuno. Ia adalah penerjemah karya agung Jawa, serat Centhini. Ia mentransfer serat indah itu ke dalam dua bahasa, Perancis dan Indonesia. Tembang Centhini ia gubah menjadi prosa. Agar lebih dapat dinikmati oleh semua kalangan, begitu katanya. Tentu semua hadir tak tiba-tiba. Bukan hasil bertapa atau wahyu. Takdir mengantarnya pada Sunaryati, seorang guru Bahasa Indonesia fasih membaca dan mendendang kawi. Ketertarikannya lantaran ia menangkap keindahan yang luar biasa dalam serat Centhini. Bermula dari suara, Eli berniat mengirim peasan itu lewat guratan abjad. Demi memperindah karyanya, ia mencomot berbagai kisah semacam 1001 malam, babad Jawa, pewayangan, dan lainnya.
Centhini harus ditulis dan dipentaskan, begitu tekadnya. Inginnya ini yang kemudian membawa ia pada sutradara kondang Garin Nugroho. Eli menulis 12 tembang terjemahan untuk dijadikan pertunjukan. Betul-betul istimewa bule ini, pikirku. Tekadnya bulat pelajari Jawa. Niat menemukan sastra buat Perancis, ia suguhkan karyanya buat Indonesia. Kami, orang Jawa tak punya niatan serupa ia. Membaca pun kami tak mampu, dan memang tak ada usaha peroleh ilmu. Harusnya kami malu pada bule ini.
Keputusannya menetap di tanah Jawa bukan tanpa alasan. Datang ke Indonesia sebagai wartawan, mengenalkan ia pada dunia baru. Disini ia temukan oase. Ia temukan kesakralan dalam sastra Jawa. Ia betul terkesiap akan bunyinya. Tembang Centhini serupa magnet baginya. Sastra Perancis, menurut Eli, adalah sastra dari otak. Ada unsur intelektualitas disana. Tapi di Jawa tidak. Sastra itu sakral. Suaranya, guratannya. Elizabeth terpelet pesona sastra Jawa. Ia merasa betul kosmologi peralihan Eropa-Jawa. Ia ingin persembahkan karya untuk Perancis. Centhini inilah rupanya.
Elizabeth dalam merasuk pada budaya Jawa saat ia melahirkan putrinya di tanah Jawa. Seorang turis melahirkan anak di negara orang adalah sebuah putusan konyol. Dan Eli melakukannya.  Sudah barang tentu, dengan alasan ini itu, ibunya yang seorang dokter di Perancis melarang. Eli kukuh. Bagi Eli, melahirkan di Jawa, ia merasa kesakralan merambati tubuh. Ari-ari bayinya ia tanam di tanah. Persis seperti laku orang Jawa. Ia merasa bayinya adalah bayi Jawa. Ia adalah seorang ibu Jawa. Begitu pun sastra. Sastra dan perilaku melahirkan adalah sama. Keduanya berproses dengan penuh cinta dan kesabaran.
Sore itu, Elizabeth datang berkunjung beriring bingung. Mbah Prapto tak mengabar jelas kondisi kami. Mbah menyebut kami tengah berlaku workshop. Mbah Prapto memang gak jelas, itu gambaran Mas bandung. Kami yang sedang sinau dikata workshop. Mana mungkin ada workshop di bilik serupa ini. Disini, kami tak kenal aturan-aturan semacam itu. Kami terbahak. Eli celingukan, bingung. Pelan, Mas Bandung coba mengurai gamblang. Bahwa kami disini sinau, bukan workshop lebih-lebih seminar. Bahwa rumah ini dibangun sebagai rumah bersama. Siapapun boleh singgah. Siapapun diperkenankan bermukim di bilik ini. Sinau bareng. Itulah niat Mas Bandung membangun bilik ini. Lelaki ini ingin, belajar kembali di rumah. Ia telah bosan melihat sekolah, kampus, juga lembaga bimbingan belajar. Mereka semua mengekang. Kaku terasa.
Pun menyoal perpustakaan. Mas Bandung mengungkap perihal nyata. Jawa sebetulnya tak punya perpustakaan dengan segala rupa aturannya. Perpustakaan adalah tubuh, rumah,dan desa. Sekeliling kita adalah perpustakaan. Itu konsepsi Jawa. Eli menemukan ruh yang telah hilang di Barat. Mereka, bangsa barat, meletakkan material pada posisi paling tingi. Itulah mengapa perpustakaan di Negara-negara barat indah rupanya. Tertata apik. Mereka memanjakan pembaca dengan beragam fasilitas dan aturan. Kaku.
Mas Bandung amat tertarik pada obrolan ini. Ia sampai meminta izin pada Eli, suatu saat nanti menuliskan kisah sore ini di blognya atau di media massa. Belum pernah Mas Bandung sebegitu terpikat pada tamu kami. Indranya tersentuh, terangsang memanggil memori masa silam. Memaksimalkan imaji. Mas Bandung menyingkap kisah. Bahwa ia dihantar Bahasa Indonesia pada imajinasi, padahal ia seorang Jawa. Hanya baru-baru ini saja ia siuman. Ia musti tahu banyak hal terkait Jawa. Imajinasi yang ditelurkan akan berbeda, bergantung pada jenis bahasa pemantik.
Eli berkabar kesenangannya menulis. Menurutnya, menulis itu perlu kejujuran. Jujur itu ada di batin. Dan semua itu musti melalui proses belajar. Ia terus belajar. Tubuhnya telah merasuk pada dunia Jawa. Setelah merampungkan prosa serat centhini dengan judul “Kekasih yang Tersembunyi”, ia kembali berproses mengisahkan gempa dan letusan Merapi dalam aksara. Ia menulis atas nama tugas dan tanggung jawab. Ia mengampu harapan warga Kinarjo. Ia melukis Kinarjo dalam aksara. Ia menulis dari dalam, bukan meletakkan korban sebagai objek. Ia berada di antara mereka.

Centhini  juga babad gempa dan letusan Merapi adalah wujud cinta kasihnya pada Jawa. Jawa ialah hidupnya. Dalam hujan yang merasuk pada tembang-tembang, ia terpanggil oleh seorang kekasih yang tersembunyi. Ia adalah sang pengabdi zaman. Ia lah sang penenur warta.

Rendra Lewat Bibir Edi Haryono

Oleh: Nurul Istiqomah
Lagi-lagi aku kalah. Aku terpontang-panting mengikuti obrolan semalam. Bi bilik ini, terus-menerus aku dimanjakan kejutan-kejutan, selain makan dan tidur tak berbayar. Aku semakin menikmati hari-hariku. Ada rangsangan untuk terus berliterasi. Untuk aku yang masih hijau, metode macam ini sangat bisa aku terima. Satu yang aku benci adalah saat aku mesti menulis perkara yang tak banyak aku mengerti. Aku menghadapi beragam kebingungan, kekacauan menuangkan ide. Kepalaku seakan kosong tak berisi. Tak ada memori-memori yang bisa ku panggil. Selalu saja aku mulai dengan kekalahan. Bermula sejak obrolan diusung.
Seorang tamu dari Jakarta bernarasi panjang perihal Rendra. Ia kentara begitu mengagumi sosok Rendra. Fasih ia berkisah Rendra. Dari setiap tuturnya, tampak banyak melewati harinya bersama sang pujangga. Lelaki itu Edi Haryono. Aku yang awam ini baru saja berjumpa manusia hebat. Malam itu, aku untuk pertama kalinya berkenalan dengan namanya, sekaligus wujudnya. Ia datang menyambangi kami dan Mas Bandung. Datang bersamanya seorang lelaki muda yang sejak awal hingga akhir tak sejenak pun membuka mata. Berulang beralih posisi demi meneruskan mimpi. Melipat tubuhnya sedemikian rupa. Terbayang olehku bagaimana rasa tubuhnya saat bangun nanti. Kesemutan pastinya, pikirku. Sepertinya ia betul lelah, begitu kata Edi.
Aku jatuh bangun memungut kata-kata yang tercecer. Menyatukan abjad demi abjad agar menjadi utuh. Susah payah aku tautkan ceceran itu demi tercipta koneksi. Aku sadar ingatanku lemah. Tanpa ku lakukan ini, mustahil aku mampu mewartakan kembali. Mas Bandung mengajariku perihal memotret waktu tanpa kilatan kamera. Ialah dengan menulis. Hari ini Mas Bandung menantang kami  menggarap dua esai. Ia pun lakukan itu.
Edi memulai obrolan dengan sekedar beramah-tamah. Berkisah masa kecilnya, mengabarkan semangat heroiknya. Bahwa ia terlahir dari keluarga sastrawan. Ayahnya seorang PNS paling jujur di dunia, begitu katanya. Ibunya menurunkan jiwa sastra padanya. Digenggaman wanita itu, menurut Edi, tak pernah lepas sebuah Al-qur’an kecil berterjemah. Bentuknya lusuh, banyak coretan di dalamnya. Ibunya memang gemar menandai bagian-bagian penting.
S. Ratmana adalah paman Edi. Seorang pujangga era Taufik Ismail. Dari pamannya ini ia warisi kehendak bersastra selain satu lemari penuh majalah sastra. Hasratnya begitu kuat untuk bersastra dan berliterasi. Edi muda, setiap hari, menyempatkan diri membaca Koran kompas meski harus meminjam dari tetangga. Di tembok kamarnya ia pasang sebuah tulisan besar berbunyi “Oposisi itu sumpek. Oposisi itu onani.” Tampak betul jiwa muda yang bergelora, yang mangkel akan kewenangan pemerintah saat itu. Hobinya mengkliping dan ketertarikannya pada dunia sastra sempat menuai konflik dengan ayah. Menurut ayahnya, perkara sastra adalah wagu. Tapi Edi muda senantiasa membawa pemikiran Rendra dalam kehidupannya. Rendra berucap: “Masa depan kita (seniman teater) tidak ada, masa depan itu kita tentukan sendiri.” Sejak itu Edi semakin berkeyakinan bahwa hidup sebagai seniman tak akan selalu sengsara. Satu lagi ujaran Rendra yang selamanya erat ia pegang, anda akan berhasil apabila mengikuti minat anda. Begitulah kira-kira.
Rendra di mata Edi adalah suri tauladan. Bahwa bagi seorang penyair, perkara membikin puisi tidak melulu kata-kata indah. Rendra memungut begitu saja kata yang berserak. Menurutnya, karya harus mengandung akal sehat agar dapat dikomunikasikan. Dua hukum wajib lainnya adalah hukum masyarakat dan hukum alam. Penulis, menurut Edi musti mampu mengolah akal, batin, dan pikiran. Pun mereka wajib memiliki naluri komunal, yakni selalu datang pada rangsangan.
Edi juga  berkisah peristiwa 8 April 1978 di teater terbuka Taman Ismail Marjuki. Bersemangat ia menggambarkan bagaimana aksi-aksi heroik Rendra saat itu. Sebelum pagelaran dimulai, Rendra mendapat berbagai teror mengancam keluarga. Sama sekali Rendra tak gentar. Sajak pertama berhasil dengan indah ia lantunkan, puisi berjudul Pertemuan Mahasiswa. Puisi ini, menurut Edi menahan gerak para pengulah hingga ia lupa akan tugasnya menghancurkan pertunjukan. Di perjalanan sajak kedua dibacakan, suara  bom tiba-tiba menggelegar, memercikkan serpihan-serpihan.
Situasi kisruh. Semua berlarian. Rendra tetap tenang. Segera ia cek mikrofon. Beruntung, mikrofon terselamatkan. Lantang ia berteriak: “Saudara-saudara, saya tidak akan mundur. Apakah saudara-saudara akan mundur?” Serentak mereka menolak, tidak luput Muhammad hatta yang turut hadir disitu. Spontanitas Rendra benar-benar terlatih. Di saat genting sekalipun ia sanggup mengambil  keputusan mencengangkan. Edi bercerita bahwa Rendra kecil telah dibiasakan tradisi “nembang spontan” saat berkumpul bersama keluarga. Keluarga turut mencetak jiwa gigih Rendra.
Rendra adalah sastrawan yang pantang berbuat epigon. Tak pernah ia menduplikasi karyanya sendiri, lebih-lebih milik orang lain. Ia berprinsip harus melupakan jejak yang telah ia kerjakan. Hingga pernah suatu hari saat ia akan pergi ke luar negeri, ia meminta satu puisi lamanya pada Edi. Edi si tukang kliping dan Rendra penghilang jejak. Sebuah kolaborasi apik. Rendra adalah seniman penuh kejutan. Pernah suatu kali ia dituduh terlibat PKI lantaran puisi berjudul Balada Orang-orang Tercinta”. Meski sangkaan itu keliru, ia tak berusaha menyangkal. Ia justru bergabung bersama Lekra. Ini yang akhirnya membawa ia berkeliling Negara-negara timur. Tak hanya itu, Rendra juga pernah berdiam di bui karena puisi-puisi garangnya.

Sepotong kisah Rendra aku dapat dari bibir Edi. Edi yang begitu mengagungkan Rendra. Edi dan Rendra, dua sosok ambisius malam itu. Mengalirkan sedikit pada tubuhku. Itulah perjumpaan panas Rabu malam, 12 Pebruari 2014. Sepotong kisah ini, menendangku lebih dekat pada Rendra. Mengantarku pada kepemilikan karyanya.  Sajak-sajak Sepatu Tua,   Mas Bandung memberikan padaku sebagai hadiah.

DPR Bandel

Oleh: Nurul Istiqomah
Bandel, istilah yang umum disandangkan untuk anak-anak. Bandel selalu dikonotasikan pada hal-hal negatif. Sebagai simbol perlawanan, penolakan atas nasehat dan perintah. Si bandel sering disebut kepala batu, pembangkang. Lalu, bagaimana jika bandel disandangkan pada orang dewasa? Dewasa yang harusnya memberi nasehat justru melanggarnya. Mereka seolah ingin lepas dari segala bentuk aturan. Padahal, peraturan, mereka sendiri yang buat. Mengekang tapi tak mau dikekang.
Koran Tempo, Rabu, 12 Pebruari 2014 memunculkan sebuah potret ruang sidang paripurna pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Perdagangan. Suasana yang terekam adalah kelengangan. Banyak kursi kosong tak berpenghuni. Tak tahu apakah mereka datang terlambat, atau malah dengan sengaja bolos. Inilah yang terjadi pada wakil kita di kursi dewan. Selalu saja, mangkir dari tugas. Seolah mereka tak punya malu meski berulang kali foto-foto serupa ini terpampang di berbagai media massa.
Mereka dibayar untuk berpikir. Berpikir untuk kita, mendengar dan menimbang ingin kita. Begitulah seharusnya. Bukannya berbuat aneh-aneh yang membuat dongkol rakyat. Mulai dari tidur saat sidang, telat, bolos, beradu mulut, hingga saling timpuk. Terkadang malu sendiri menyaksikan tingkah-tingkah konyol semacam itu. Mereka sang pembuat aturan, mestinya lebih tahu bagaimana bertindak sepatutnya. Bagaimana kita bisa mengamanatkan harapan dan tujuan di pundaknya jika mereka selalu berulah? Kerja tak maksimal tapi gaji minta besar, itu selalu dikeluhkan rakyat. Bahkan, banyak diantara mereka yang belum puas dengan rupiah yang ia dapat. Terus mencari-cari, tak peduli yang ia lewati adalah jalan haram. Rakus betul wakil kita ini.
“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu sendu.” Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan  Iwan Fals, musisi dengan lagu-lagu keras melawan pemerintah. Ia sengaja menulis satu lirik khusus buat DPR badung ini. Ia pernah dicekal karena menyuarakan kebenaran. Di tengah kebungkaman, ia berani muncul sebagai orang tua, penasehat. Sementara yang lain, menganggap ulah para petinggi Senayan ini sebuah kelumrahan. Bahwa orang tua berbuat salah itu karena khilaf, tidak perlu diingatkan. Ini yang kemudian membuat geram Iwan Fals hingga mencetus lagu-lagu sinis. Alasannya satu, ia ingin jadi alarm bagi para pejabat, pejabat yang bandel.
Marilah sejenak pergi ke situasi lembaga pendidikan, dimana kita temui anak-anak yang belajar bersama aturan-aturan. Mereka tidur di kelas, telat, dan bolos sama dengan melanggar aturan. Mereka biasa disebut bocah bandel. Bocah bandel mendapat hukuman. Sehabis dihukum, biasanya mereka merajuk. Mogok sekolah, akhirnya bolos. Orang tua lah yang berhak mengingatkan. Meluruskan kembali dan mengingatkan pada aturan-aturan itu.
Para petinggi DPR pun melakukan hal serupa. Melanggar, dihukum, kemudian merajuk. Maka layaklah kita samakan mereka dengan anak-anak. Melanggar aturan sudah jadi hal lumrah. Tidak patut mengingatkan orang dewasa, begitu yang bisa aku tangkap dari mereka. Dulu, almarhum Gus Dur menyebut ulah anggota DPR mirip ulah siswa Taman Kanak-kanak. Mereka marah waktu itu. Menurutku, tak perlu marah untuk menjawab tudingan itu, cukuplah dengan memberi bukti. Kalau memang tak sanggup menyangkal, terima saja. Berbaiklah sangka, pandanglah itu sebagai pengingat. Peringatan orang tua kepada anaknya yang bengal dan keras kepala, tak mau mendengar nasehat.