Oleh: Nurul Istiqomah
Pekiknya lantang mengoyak hening. Melesat bersama udara,
menembus celah fentilasi. Mendobrak pintu yang masih terkunci. Keras menghantam
tubuhku yang masih tergolek berantakan. Membekapku hingga tersengal demi
terbuka picingan mata. Sial, ia hentikan paksa tidurku yang penuh bunga. Ah, seperti
ratusan pagi yang lain, aku benci pekikmu pagi ini. Tak tahukah kau, ini adalah
mimpi pertamaku satu tahun terakhir. Mimpi perdanaku di tanah orang, kota
cethe, Tulungagung. Dan kau, telah sukses merusaknya. Selamat.
“Vocab!” kembali teriakan itu membumbung. Perempuan pemilik
suara itu, mahasiswi di kampus yang sama denganku, IAIN Tulungagung. Ya, kami
berbagi kampus. Hanya saja ia jejakkan kaki dua tahun lebih awal dariku. Kini,
ia memainkan peran sebagai pengurus asrama kampus. Kami memanggilnya ukhti
Rahma. Tubuh mungilnya mengecoh. Nyatanya, ia simpan gelegar suara yang mampu
menggetarkan seisi asrama. Ia menjelma alarm. Utuh seisi asrama menanti
pekiknya, kecuali aku.
Aku masih berusaha melanjutkan mimpi. Kuat picingkan mata
demi merajut mimpi yang terputus. Selama ini, aku terbukti mampu merangkai
patahan mimpi. Tak peduli ocehan teman yang anggap aku sinting. Mimpiku
bukanlah remahan roti. Ia serupa serial televisi. Aku lah sang sutradara. Aku
pemilik wewenang. Mimpiku boleh berlanjut sebagaimana kendaliku. Hingga sebuah
teriakan membuatku mendelik sekaligus merinding.
“Sabda! Bosan aku bangunkanmu tiap pagi. Kasihan temanmu
menunggu,” Ukhti Rahma telah berdiri berkacak pinggang di samping ranjang.
Sekali hentakan saja, mata kucingnya pasti keluar dari wadahnya.
Sejurus kemudian, ku lontar senyum nakal berharap balasan
darinya. Belakangan ku tahu itu mustahil adanya. Segera ku tata ulang lengkung
tepian mulut, menggembalikan pada posisi semula. Sadar gerakku memancing emosi,
ku sambar sekenanya sarung, jaket, dan jilbab. Berlari ke luar kamar. Tanpa
pedulikan penghakiman belasan pasang mata, aku duduk di barisan depan. Satu-satunya
tempat yang tersisa. Mereka, santri asrama yang lain telah selesai menulis enam
mufrodat yang tertera di papan tulis
kecil. Semakin banyak waktu mereka miliki demi memperhatikanku. Mengolokku
dalam diam.
Aku sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Segala apa yang
ku perbuat mereka labeli sebagai ulah. Ah, apa peduliku. Ini duniaku yang harus
ku nikmati. Apa enaknya hidup dalam aturan, pikirku. Mereka mengikat, mendikte.
Aku tak suka.
“Sabda, kamu sudah shalat subuh?” ukhti Rahma sudah berdiri
di hadapku. Ah, kenapa perempuan ini suka sekali menguntitku?
“Ndak shalat,
mbak,” jawabku sekenanya tanpa menatap wajahnya. Sengaja tak ingin melihat mata
kucingnya yang berusaha menerkam, juga untuk membungkam mulutnya.
Merasa tak mendapat tanggapan, ia melanjutkan tugasnya,
mengajarkan kosakata bahasa Arab. Membosankan. Pernah aku layangkan protes
untuk berhenti menjajejali kami dengan kata-kata yang sebenarnya sudah kami tahu.
Ku rasa, memaksa kami menghafal sekumpulan potongan kata adalah kerja membuang
waktu. Ritual yang sudah seharusnya digeser. Jika memang tujuannya adalah
membudayakan bahasa Inggris dan bahasa Arab sebagai bahasa keseharian, mengapa
tak mengajak kami bercakap menggunakan kedua bahasa milik orang asing itu saja?
Terkadang aku meragukan kemampuan mereka berbahasa asing.
Sesekali ku lancarkan aksi isengku, menggoda mereka dengan bercakap menggunakan
bahasa manusia-manusia bumi di belahan barat. Beberapa ukhti terbukti tergagap
meladeniku. Tak jauh berupa, tak ada berbeda. Layaknya santri asrama, pun
mereka perlu mendapat sentuhan demi penguasaan bahasa. Dan cara yang paling
tepat menurutku, memakai bahasa Arab dan Inggris bergantian dalam keseharian,
bukannya laku menghafal serupa siswa TK. Sayang, mereka tak jua mendengar
suaraku sebagai yang perlu dipertimbangkan. Usulku di mentahkan. Dianggap
terlalu asal.
Di asrama yang lebih dikenal dengan sebutan Ma’had
Al-Jami’ah ini, aku dikenal sebagai santri mbeling,
gemar memberontak. Kalau saja mereka mau sedikit memahami, aku hanya bosan
oleh sistem. Aku benci keteraturan. Membikin hati sakit, sama sekali tak
terbersit dalam pikiran.
Sekali waktu yang lain, kembali tingkahku menyita perhatian.
Sebagaimana Minggu-Minggu yang telah berlalu, kami bergumul dalam satu
kesibukan. Sebuah aksi serentak melenyapkan noda dan najis yang kami sebut ro’an. Kami beradu sodokan sapu. Jemari
berebut meremas kain pel. Berganti berlarian mengisi ember dengan air kran.
Keruh airnya tak menampakkan rupa asli ember. Riuh, ricuh. Beberapa santri
berdiri menempel dinding sembari melipat tangan di depan perut. Beberapa yang
lain duduk mengangkat kaki di kursi kamar. Mereka tak mendapat perkakas yang
bisa membawa mereka bergerak. Hasrat kerja terbentur sarana.
Demi melihat ketimpangan, aku memilih menyingkir bersama
sobekan kertas dan pensil. Belum terpikir akan aku apakan kedua benda ini. Aku
hanya ingin sedikit berlari dari hiruk-pikuk.
Balkon lantai dua kujadikan tempat singgah. Tak lupa ku
tutup pintu penghubung, hindari gangguan sebelum akhirnya memutuskan terduduk
di pojok. Melamun seraya menggenggam dua benda yang telah kupilih sebagai
teman, kertas dan pensil.
Kusobek ujung kertas untuk kemudian kubagi menjadi dua
bagian. Telapak kanan-kiriku serentak meremas. Selanjutnya, menyumpalkannya
pada kedua telinga. Menyulap riuh menjadi hening. Sepuluh menit awal kuhabiskan
dalam diam. Diam dalam hening yang nyata. Menit berikutnya, menoreh guratan
garis serupa pagar demi menghitung motor berwarna hitam yang lalu lalang di
jalanan depan asrama. Aku memang suka membuat laku tak penting serasa istimewa.
Aku rela membuang satu jam lebih lantaran kerja konyol macam ini. Terhitung 26
garis yang berhasil ku toreh. Sisa waktu ku gunakan memandang jernih langit.
Hanya memandangnya.
Pintu dibuka paksa. Ukhti Rahma. Aku terkaget, sontak
berdiri. Ku lihat mulutnya komat-kamit galak namun tak jelas apa yang ia ucap.
Oh, aku lupa melepas sumpalan kertas di telingaku. Baru kemudian ku dengar merdu
ocehannya.
“Sabda! Belum bosan kamu minta perhatian? Apa maumu?”
Sama sekali tak berharap perhatian, batinku. Aku hanya ingin
turuti mau. Tapi, tak ada yang kulakukan selain tundukkan kepala demi hindari
tatapan mata kucingnya.
“Ndak dengar kamu,
Sabda?” Ia coba menarik perhatianku.
“Dengar, mbak.” Jawaban yang tak penting.
“Terus, ngapain kamu disini? Biar ndak disuruh ro’an?” Nada
bicaranya masih meninggi.
“Ndak kebagian
sapu, mbak. Daripada kayak sampean cuma
liatin orang kerja, mending pergi,” ku lontarkan begitu saja kalimat dari
mulut. Beberapa detik berlalu, kusadari kalimatku sebagai kesalahan fatal. Aku
tak bisa lagi menganulirnya. Tak cukup cerdas ku pilih kata sebelum tragedi
buruk menimpaku. Kebiasaan ceplas-ceplosku membunuhku.
“Kamu ndak lihat
aku juga nyapu tadi? Ikut aku!” Mata biru kucingnya berganti merah darah.
Kami berjalan beriring tanpa kata menuju kamarnya.
Disuruhnya aku duduk sementara ia memanggil
musrifah yang lain. Jadilah aku dihadapkan pada sebuah persidangan
menegangkan. Ngeri aku menatap wajah mereka. Aku menjelma pesakitan dalam
rehabilitasi. Bergantian mereka mengomel tanpa menyisakan jeda untukku membela
diri. Aku datang tanpa membawa pengacara, tak ada pembela. Aku mutlak keliru.
Bilik itu terasa pengap menghimpit.
Ujung persidangan menghantarku sebagai tersangka. Tersangka berganjar
sanksi. Membersihkan setiap bagian di lantai dua asrama, tempatku berdiam,
selama seminggu. Seorang diri tanpa bantuan. Jadilah aku cleaning service dadakan. Tragedi lari dari ro’an berujung pada semakin melebarnya konstruksi. Aku semakin
tersohor. Seantero asrama mengenalku sebagai santri mbeling. Melihatku berbuat dosa, lalu dihukum adalah lumrah.
Konstruksi stigma sempurna terbangun.
Hari-hariku lainnya di asrama tak luput dari kejutan dan
sanksi. Semua sebagai upah atas kerja tak wajarku. Aku semakin tak menikmati
hariku. Menghitung angka-angka di almanak menjadi ritual. Berapa hari lagi
menuju akhir tahun? Semakin kuhitung, waktu merangkaklah yang ku rasa.
Sentuhan ekor kucing tetangga sudahi lamunanku. Ah, aku
benci bulunya. Ia adalah tamu rutin kontrakanku. Dan di sebuah kontrakan mungil
inilah aku berakhir. Bersama enam orang yang juga mengidap penyakit gila
sepertiku. Menghidupi hidup sebagaimana mau. Bersama mereka, kerja tak lumrah
bukanlah kesalahan yang perlu dipidanakan. Beberapa kali kami coba mengingat
ritual sebagai santri asrama, serupa hari ini. Nostalgia kehidupan asrama
melempar pada hasrat bergerak menuju masa lalu. Rindu. Aku rindu pekik penanda,
ritus menghafal, upah sanksi atas ulah, dan yang terpenting aku rindu
kebersamaan. Bersua denganmu, mbak Rahma, aku rindu.
26/05/2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar