Oleh: Nurul Istiqomah
Kaum difabel telah terbiasa mendekam dalam ruang sempit
berdamping bisikan-bisikan menyakitkan. Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat
hasrat dan cita menziarahi samudra intelektualitas. Keinginan terbentur aturan.
Kehendak tak berbayar sarana.
Istilah difabel,
akronim dari different ability atau different
ability people, menghantar kita pada sebuah sekat pembeda, penghakiman
tanpa pertanggungjawaban. Memampangkan sebuah lukisan tak lazim untuk kemudian
menjelma gambar tak layak sentuh. Difabel muncul dengan segala rupa
keterbatasan tanpa pemakluman. Dipandang dina yang minim kuasa.
Para penyandang
difabel adalah mereka pemegang kepercayaan Tuhan sebagai insan yang terlahir
dengan keterbatasan fisik. Keterbatassan ini sering pula dipandang sebagai
kekurangan dan penghalang. Kenyataannya, sudah banyak cerita bahwa kalangan
difabel justru lebih sukses ketimbang kita, pemilik tubuh normal. Sayangnya, untuk mencapai pintu sukses,
mereka diharuskan berlaku mandiri. Ini lantaran tak ada fasilitas atau sarana
penunjang gerak. Mereka musti membiasakan diri hidup bersama segala media yang
sama digunakan oleh manusia umum. Tak ayal kepayahan akan dirasa.
Kaum difabel telah
terbiasa mendekam dalam ruang sempit berdamping bisikan-bisikan menyakitkan.
Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat hasrat dan cita menziarahi samudra
intelektualitas. Keinginan terbentur aturan. Kehendak tak berbayar sarana.
Minoritas yang Terabaikan
Difabel memang
minoritas, namun mereka juga warga Negara yang memiliki hak persis dengan kita.
Pemerintah telah menjamin itu. Dalam UUD 1945 Pasal 28 C(1) dijelaskan:“Setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi,
seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan
umat manusia”. Setiap orang bermakna semua orang tanpa pengecualian.
Artinya, kaum difabel adalah salah satu yang dijamin haknya untuk mengembangkan
diri dan melakukan kerja memenuhi kebutuhan. Sungguh disayangkan ketika
peraturan yang telah dibikin tak berjalan beriring tindakan. Fasilitas khusus
kaum difabel adalah sesuatu yang sangat sukar ditemui. Bukankah keadaan serupa
ini adalah cermin pelanggaran Undang-Undang? Sudah menjadi sebuah keharusan
bahwa kaum difabel mendapat akses yang sama.
Dalam lembar lain perundang-undangan
Indonesia, dijelaskan secara khusus penjaminan hak kaum difabel. Dalam UU No 19 Tahun 2011,
tertulis bahwa hak penyandang disabilitas adalah “memiliki hak untuk
mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan
kesamaan dengan orang lain”. Lebih lanjut dimaktubkan pula bahwa kewajiban
negara adalah: “merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui
penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap
negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan
praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik
perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala
aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga,
seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi”.
Nyatanya, keterbatasan
fasilitas bagi kaum difabel masih ditemui di banyak ruang publik. Keterbatasan
itu terlihat, misal pada akses publik semacam trotoar, transportasi, dan
fasilitas publik lainnya. Pun dalam lini komunikasi informasi. Kaum difabel
mengalami keterbatasan dalam hal akses buku, internet, televisi. Lain dari itu,
perihal ketenagakerjaan, memampangkan syarat sehat jasmani dan rohani. Kaum
disabilitas dianggap tak sehat dan tak layak kerja. Sementara mereka musti
menanggung hidup diri, akses pemenuhan terhalangi. Ini merupakan sekat pembatas
menuju kesetaraan kesejahteraan.
Menyoal fasilitas,
kaum difabel tak lantas boleh disamakan dengan individu normal. Sebagaimana
fisik yang tak serupa orang kebanyakan, mereka butuh perlakuan khusus. Sebagai
contoh, akses informasi untuk tunanetra sangatlah minim. Saat ini, tak satu pun
buku berabjad braille mejeng bersama
deretan buku-buku di perpustakaan manapun di kotaku, termasuk di kampusku. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus agar mereka juga dapat
mengakses selayak kita. Tak cukup fasilitas yang tak berpihak padanya, ketidaknormalan
fisik masih dianggap sebagai aib. Pandangan tak bersahabat dari sekeliling
masih sering mampir seolah menghakimi. Kelainan badaniah tak lantas membuat
mereka iba, justru mencibir atau bahkan berlaku sebagai manusia apatis yang tak
mau peduli. Kalaupun hati tak mampu menggerakkan tangan untuk membantu, tak
perlu sekiranya cemooh keluar dari mulut.
Pernah suatu ketika seorang
teman berkisah. Sepulang dari kampus, ia melihat sebuah adegan kurang
mengenakkan. Seorang difabel yang kepayahan saat hendak turun dari bus, justru
mendapat bentakan dan celaan dari kernet. Yang lain, menikmati perannya sebagai
penonton. Menyaksikan sebuah pertunjukan langka, sebuah pemandangan yang tak
sepatutnya terjadi. Cukuplah ia dianggap sebagai pesakitan, jangan pula
ditambah dengan pandangan cibir serta ucapan nyinyir. Perih hati
pasti dirasa. Dimanapun ia hadir pandangan merendahkan tak jarang ia terima.
Pun celaan, telah ia anggap sebagai hal lumrah. Di saat keadaannya dipandang
sebagai sesuatu yang beda, ia menjadi makin terpojok, tersingkir dalam
kerumunan. Hanya diri dan keluarga yang mampu menjadikan jiwa lebih tegar. Satu
hal yang perlu diingat, terlahir sebagai manusia berbeda bukan harapan.
Ketimpangan pun
terjadi pada lembaga penyedia layanan pendidikan. Di kampus dan sekolah
menengah Tulungagung misalnya, memang tidak banyak dijumpai individu penyandang
difabel. Namun, individu penyandang disabilitas tak boleh dikatakan nihil.
Sayangnya, fasilitas khusus penyandang difabel sama sekali tak dapat ditemui. Lembaga
pendidikan berdiri tak memandang individu payah. Pun di tingkat kota, meski
sudah barang tentu kuantitasnya lebih besar, belum lagi dijumpai fasilitas
khusus penyandang disabilitas. Karena merasa diri sebagai minoritas, mereka,
kaum difabel memilih hening dan turut pada keadaan. Menggunakan begitu saja
semua fasilitas yang ada. Mencoba menjadikan segala sarana pelancar pelaksanaan
fungsi, cocok untuknya. Lagi-lagi, kurangnya fasilitas memaksa mereka nyaman
dengan keadaan.
Difabel dalam Pendidikan
Wacana yang belakangan
hangat menjadi perbincangan adalah prasyarat mengikuti ujian serentak masuk
Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN. Syarat SNMPTN 2014 dianggap
mendiskriminasi kaum difabel. Diantara syarat tercantum larangan bagi
penyandang disabilitas mengikuti ujian ini. Syarat tersebut menulis bahwa
mahasiswa baru tidak boleh tunanetra, tunarungu, tuna lainnya, juga buta warna.
Ini berarti, secara tak langsung pemerintah telah memutus hak berpendidikan
mereka. Pendidikan tak seharusnya membeda-beda. SNMPTN selayaknya menjadi jalur
tes murni yang hanya mempertimbangkan kemampuan otak. Tak perlulah fisik turut
dipandang. Biarlah jalur ini menjadi jalan buat mereka. Karena melalui jalur ini,
para penyandang disabilitas dapat bersaing untuk mendapat kesempatan belajar di
semua jurusan.
Meski setelah mendapat
kecaman dari pelbagai kalangan pelarangan mengendur di beberapa Perguruan
Tinggi, pelarangan bagi penyandang disabilitas di beberapa jurusan masih
berlaku. Jurusan kedokteran misalnya, dengan keras menyatakan steril buta
warna. Perihal melarang lantaran jurusan ini mewajibkan mahasiswa mampu
membedakan warna. Kembali mereka terputus akses menggapai cita oleh karna
aturan.
Di tingkat sekolah
dasar, pemerintah telah mewajibkan tiap daerah memiliki sekurang-kurangnya 4 sekolah
inklusi yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Yakni sekolah umum yang
membolehkan kaum difabel turut serta. Sayangnya, di Tulungagung, baru
ada satu sekolah dasar inklusi selagi anak dengan kebutuhan khusus kian bertambah kuantitasnya. Dalam hal ini, yang menjadi catatan
adalah peran pemerintah dalam menjalankan UU yang telah sempurna dibuat. Pemerintah dirasa perlu meluruskan
tugasnya sebagai pelayan rakyat. Rakyat tanpa pembeda.
Menjadi difabel
ditengah masyarakat yang menganut madzhab normalisasi, paham pemuja kenormalan,
dimana segala sarana publik didesain dan disesuaikan dengan kebutuhan “orang
normal” memanglah sulit. Betul bahwa kaum difabel tak cukup mampu menjalani
kerja fisik sebagaimana manusia normal. Tapi, mereka tetaplah manusia yang
membawa potensi dalam diri masing-masing. Untuk itu, sudah sepatutnya meraka
mendapat segala sarana dan fasilitas, termasuk hak memperoleh pendidikan dan
pemenuhan sarana publik. Kalau kita bisa dengan leluasa memenuhi ingin demi
mengembangkan potensi, pun mereka punya hak yang sama. Mereka memiliki
kewenangan untuk mendapat apa yang seharusnya mereka dapat. Perlindungan bukan
dalam rupa sumbangan, melainkan kesetaraan hak. Mereka sama seperti individu
normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar