Sabtu, 14 November 2015

Kebijakan Diskriminatif Kaum Difabel

Oleh: Nurul Istiqomah

Kaum difabel telah terbiasa mendekam dalam ruang sempit berdamping bisikan-bisikan menyakitkan. Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat hasrat dan cita menziarahi samudra intelektualitas. Keinginan terbentur aturan. Kehendak tak berbayar sarana.

Istilah difabel, akronim dari different ability atau different ability people, menghantar kita pada sebuah sekat pembeda, penghakiman tanpa pertanggungjawaban. Memampangkan sebuah lukisan tak lazim untuk kemudian menjelma gambar tak layak sentuh. Difabel muncul dengan segala rupa keterbatasan tanpa pemakluman. Dipandang dina yang minim kuasa.
Para penyandang difabel adalah mereka pemegang kepercayaan Tuhan sebagai insan yang terlahir dengan keterbatasan fisik. Keterbatassan ini sering pula dipandang sebagai kekurangan dan penghalang. Kenyataannya, sudah banyak cerita bahwa kalangan difabel justru lebih sukses ketimbang kita, pemilik tubuh normal. Sayangnya, untuk mencapai pintu sukses, mereka diharuskan berlaku mandiri. Ini lantaran tak ada fasilitas atau sarana penunjang gerak. Mereka musti membiasakan diri hidup bersama segala media yang sama digunakan oleh manusia umum. Tak ayal kepayahan akan dirasa.
Kaum difabel telah terbiasa mendekam dalam ruang sempit berdamping bisikan-bisikan menyakitkan. Utuh pasrah oleh keadaan. Mendekap erat hasrat dan cita menziarahi samudra intelektualitas. Keinginan terbentur aturan. Kehendak tak berbayar sarana.

Minoritas yang Terabaikan

Difabel memang minoritas, namun mereka juga warga Negara yang memiliki hak persis dengan kita. Pemerintah telah menjamin itu. Dalam UUD 1945 Pasal 28 C(1) dijelaskan:“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Setiap orang bermakna semua orang tanpa pengecualian. Artinya, kaum difabel adalah salah satu yang dijamin haknya untuk mengembangkan diri dan melakukan kerja memenuhi kebutuhan. Sungguh disayangkan ketika peraturan yang telah dibikin tak berjalan beriring tindakan. Fasilitas khusus kaum difabel adalah sesuatu yang sangat sukar ditemui. Bukankah keadaan serupa ini adalah cermin pelanggaran Undang-Undang? Sudah menjadi sebuah keharusan bahwa kaum difabel mendapat akses yang sama.
Dalam lembar lain perundang-undangan Indonesia, dijelaskan secara khusus penjaminan hak kaum difabel.  Dalam UU No 19 Tahun 2011, tertulis bahwa hak penyandang disabilitas adalah “memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisiknya berdasarkan kesamaan dengan orang lain”. Lebih lanjut dimaktubkan pula bahwa kewajiban negara adalah: “merealisasikan hak yang termuat dalam Konvensi, melalui penyesuaian peraturan perundang-undangan, hukum dan administrasi dari setiap negara, termasuk mengubah peraturan perundang-undangan, kebiasaan dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap penyandang disabilitas, baik perempuan maupun anak, menjamin partisipasi penyandang disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, politik, olah raga, seni dan budaya, serta pemanfaatan teknologi, informasi dan komunikasi”. 
Nyatanya, keterbatasan fasilitas bagi kaum difabel masih ditemui di banyak ruang publik. Keterbatasan itu terlihat, misal pada akses publik semacam trotoar, transportasi, dan fasilitas publik lainnya. Pun dalam lini komunikasi informasi. Kaum difabel mengalami keterbatasan dalam hal akses buku, internet, televisi. Lain dari itu, perihal ketenagakerjaan, memampangkan syarat sehat jasmani dan rohani. Kaum disabilitas dianggap tak sehat dan tak layak kerja. Sementara mereka musti menanggung hidup diri, akses pemenuhan terhalangi. Ini merupakan sekat pembatas menuju kesetaraan kesejahteraan.
Menyoal fasilitas, kaum difabel tak lantas boleh disamakan dengan individu normal. Sebagaimana fisik yang tak serupa orang kebanyakan, mereka butuh perlakuan khusus. Sebagai contoh, akses informasi untuk tunanetra sangatlah minim. Saat ini, tak satu pun buku berabjad braille mejeng bersama deretan buku-buku di perpustakaan manapun di kotaku, termasuk di kampusku. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus agar mereka juga dapat mengakses selayak kita. Tak cukup fasilitas yang tak berpihak padanya, ketidaknormalan fisik masih dianggap sebagai aib. Pandangan tak bersahabat dari sekeliling masih sering mampir seolah menghakimi. Kelainan badaniah tak lantas membuat mereka iba, justru mencibir atau bahkan berlaku sebagai manusia apatis yang tak mau peduli. Kalaupun hati tak mampu menggerakkan tangan untuk membantu, tak perlu sekiranya cemooh keluar dari mulut.
Pernah suatu ketika seorang teman berkisah. Sepulang dari kampus, ia melihat sebuah adegan kurang mengenakkan. Seorang difabel yang kepayahan saat hendak turun dari bus, justru mendapat bentakan dan celaan dari kernet. Yang lain, menikmati perannya sebagai penonton. Menyaksikan sebuah pertunjukan langka, sebuah pemandangan yang tak sepatutnya terjadi. Cukuplah ia dianggap sebagai pesakitan, jangan pula ditambah dengan pandangan cibir serta ucapan nyinyir. Perih hati pasti dirasa. Dimanapun ia hadir pandangan merendahkan tak jarang ia terima. Pun celaan, telah ia anggap sebagai hal lumrah. Di saat keadaannya dipandang sebagai sesuatu yang beda, ia menjadi makin terpojok, tersingkir dalam kerumunan. Hanya diri dan keluarga yang mampu menjadikan jiwa lebih tegar. Satu hal yang perlu diingat, terlahir sebagai manusia berbeda bukan harapan.
Ketimpangan pun terjadi pada lembaga penyedia layanan pendidikan. Di kampus dan sekolah menengah Tulungagung misalnya, memang tidak banyak dijumpai individu penyandang difabel. Namun, individu penyandang disabilitas tak boleh dikatakan nihil. Sayangnya, fasilitas khusus penyandang difabel sama sekali tak dapat ditemui. Lembaga pendidikan berdiri tak memandang individu payah. Pun di tingkat kota, meski sudah barang tentu kuantitasnya lebih besar, belum lagi dijumpai fasilitas khusus penyandang disabilitas. Karena merasa diri sebagai minoritas, mereka, kaum difabel memilih hening dan turut pada keadaan. Menggunakan begitu saja semua fasilitas yang ada. Mencoba menjadikan segala sarana pelancar pelaksanaan fungsi, cocok untuknya. Lagi-lagi, kurangnya fasilitas memaksa mereka nyaman dengan keadaan.

Difabel dalam Pendidikan

Wacana yang belakangan hangat menjadi perbincangan adalah prasyarat mengikuti ujian serentak masuk Perguruan Tinggi Negeri atau SNMPTN. Syarat SNMPTN 2014 dianggap mendiskriminasi kaum difabel. Diantara syarat tercantum larangan bagi penyandang disabilitas mengikuti ujian ini. Syarat tersebut menulis bahwa mahasiswa baru tidak boleh tunanetra, tunarungu, tuna lainnya, juga buta warna. Ini berarti, secara tak langsung pemerintah telah memutus hak berpendidikan mereka. Pendidikan tak seharusnya membeda-beda. SNMPTN selayaknya menjadi jalur tes murni yang hanya mempertimbangkan kemampuan otak. Tak perlulah fisik turut dipandang. Biarlah jalur ini menjadi jalan buat mereka. Karena melalui jalur ini, para penyandang disabilitas dapat bersaing untuk mendapat kesempatan belajar di semua jurusan.
Meski setelah mendapat kecaman dari pelbagai kalangan pelarangan mengendur di beberapa Perguruan Tinggi, pelarangan bagi penyandang disabilitas di beberapa jurusan masih berlaku. Jurusan kedokteran misalnya, dengan keras menyatakan steril buta warna. Perihal melarang lantaran jurusan ini mewajibkan mahasiswa mampu membedakan warna. Kembali mereka terputus akses menggapai cita oleh karna aturan.
Di tingkat sekolah dasar, pemerintah telah mewajibkan tiap daerah memiliki sekurang-kurangnya 4 sekolah inklusi yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. Yakni sekolah umum yang membolehkan kaum difabel turut serta. Sayangnya, di Tulungagung, baru ada satu sekolah dasar inklusi selagi anak dengan kebutuhan khusus kian bertambah kuantitasnya. Dalam hal ini, yang menjadi catatan adalah peran pemerintah dalam menjalankan UU yang telah sempurna dibuat. Pemerintah dirasa perlu meluruskan tugasnya sebagai pelayan rakyat. Rakyat tanpa pembeda.
Menjadi difabel ditengah masyarakat yang menganut madzhab normalisasi, paham pemuja kenormalan, dimana segala sarana publik didesain dan disesuaikan dengan kebutuhan “orang normal” memanglah sulit. Betul bahwa kaum difabel tak cukup mampu menjalani kerja fisik sebagaimana manusia normal. Tapi, mereka tetaplah manusia yang membawa potensi dalam diri masing-masing. Untuk itu, sudah sepatutnya meraka mendapat segala sarana dan fasilitas, termasuk hak memperoleh pendidikan dan pemenuhan sarana publik. Kalau kita bisa dengan leluasa memenuhi ingin demi mengembangkan potensi, pun mereka punya hak yang sama. Mereka memiliki kewenangan untuk mendapat apa yang seharusnya mereka dapat. Perlindungan bukan dalam rupa sumbangan, melainkan kesetaraan hak. Mereka sama seperti individu normal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar