Oleh: Nurul Istiqomah
Banjir dan longsor menjadi topik yang
tengah hangat dibicarakan belakangan ini. Air yang menggenang hingga
menenggelamkan rumah-rumah warga ditambah pula dengan ambrolnya konstruksi tanah yang tidak kuasa menyangga kuatnya
gerusan air hujan turut mewarnai pemandangan alam. Tetapi, yang sesungguhnya
terjadi adalah banjir dan longsor yang terjadi bukan semata-mata yang tampak
oleh mata telanjang, di ranah kebahasaan pun musibah ini sedang melanda.
Yaitu banjir bahasa dan bahasa longsor, malapetaka
yang luput dari kesadaran namun sesungguhnya telah lama mengintai lalu
menggerogoti kehidupan manusia. Tanpa kita sadari, bahasa dengan seperangkat
kalimat serta untaian kata-kata kini bukanlah bahasa yang orang tua atau nenek
moyang kita gunakan dulu. Bahasa kekinian telah mengalami degradasi
kemurniannya.
Saat kita berbicara perihal banjir, satu hal yang
tak boleh luput adalah bagaimana banjir itu bisa terjadi dan siapakah yang
berperan sebagai pengulah. Jika banjir dalam konsep alam diartikan sebagai
suratan ilahi yang disebabkan oleh tangan nakal manusia, maka banjir bahasa merupakan kesalahan manusia
yang mendapat restu Tuhan. Sebagaimana banjir dalam konsepsi air yang
memperlihatkan manusia sebagai pembuat ulah; yakni membuang sampah tidak pada
tempatnya juga melakukan penebangan liar, pun demikian halnya pada banjir
bahasa.
Manusia membuang dengan seenak udelnya segala rupa kata-kata tak lazim di sana-sini, terutama pada
sungai yang alirannya dipercaya mampu dengan mulus menggiring sekumpulan
kata-kata tersebut hingga larut dan lenyap di hulu. Kemustahilan yang
sebenarnya tersadari namun sukar dihilangkan.
Mereka tahu betul bahwa sampah kata-kata yang mereka alirkan hingga hulu
sungai akan mengakibatkan bencana karena tumpukannya yang menghalau aliran air.
Membuatnya macet, mandeg, kemudian meluap.
Tidak hanya berhenti pada banjir saja, malapetaka
akibat kelalaian manusia dalam mengumbar kata-kata berbau busuk yang tak layak
pakai dapat mengantar manusia pada bencana bahasa longsor. Longsor diakibatkan
oleh kurang kuatnya pondasi kebahasaan yang dengan mudah tergerus oleh luapan
kata-kata di era modernisasi yang secepat kilat mampu menimbun tanpa ampun
segala apapun di sekelilingnya, termasuk manusia-manusia di sekitar area
longsor.
Banjir bahasa dan bahasa longsor telah menyeret
manusia sebagai pelaku, baik yang mengenai maupun yang dikenai. Dalam hal ini,
manusia terbagi menjadi produsen, konsumen, kaum apatis; yakni sang pencipta banjir
bahasa dan bahasa longsor, si penikmat malapetaka itu sendiri, serta manusia
yang tak mengindahkan keadaan sekeliling. Ketiganya memegang peranan
masing-masing yang tanpa disadari merekalah sang pengacau, penebang pohon-pohon
abjad, pengikis lapisan tanah.
Pertama, manusia sebagai produsen. Manusia dengan
merek demikian ini justru membuat kacau dan mengobrak-abrik kemapanan sebuah
bahasa. Dengan dalih membangun sebuah terobosan, para pencipta ini bukannya
menyuguhkan keelokan horizon kebahasaan namun menebarkan sampah-sampah kata
anyir yang akan terkumpul pada muara sungai atau bahkan ujung tanggul-tanggul
penyangga. Manusia-manusia macam inilah yang membuat panorama kebahasaan makin
bebas dan tak terkendali. Genangan-genangan ujaran yang kian meluas menutupi
lubang menganga di jalur kebahasaan, membentuk kubangan yang memerosokkan
siapapun yang melewatinya karena yang tampak adalah permukaan yang rata.
Jebakan Batman. Dan yang terjadi kemudian adalah mereka berbangga akan musibah
banjir bahasa yang mereka cipta oleh karena temuannya yang meski merupakan
sebuah musibah, justru banyak digandrungi.
Kedua, mereka yang berlabelkan konsumen menikmati
banjir bahasa dan bahasa longsor bukan sebagai musibah. Kaum ini tidak
sedikitpun menyadari bahkan enggan mencari tahu sebab musabab banjir bahasa
yang tengah melanda, mencari posisi aman agar tak dipaksa bertanggung jawab
atas apa yang telah terjadi. Namun, tanpa mereka sadari sebuah titik yang
mereka sangka sebagai spot yang bebas
dari bahaya justru meletakkan mereka sebagai korban. Korban atas amuk produsen
yang memangkas, lebih-lebih menggunduli ranting-ranting abjad tuntas hingga ke
akarnya. Si korban menganggap kesengsaraan yang terjadi adalah suatu hal yang
lumrah dan sebagai sebuah kontinuitas yang pasti terjadi.
Ketiga, ialah golongan apatis yang sadar betul apa
yang tengah berlaku namun tak jua bertindak. Sekumpulan orang semacam ini tak
mengacuhkan bunyi berdebam bahasa yang longsor menimpa segala apapun di sekelilingnya.
Mereka cenderung melepaskan diri dari realitas yang kian menenggelamkan bahasa
yang sebagaimana mestinya.
Di dalam realita pertelevisian misalnya, saat
konsumen menonton sebuah guyonan yang dibikin oleh empat orang produsen yang
tak jelas fokusnya hingga terjadi saling tumpang tindih, serta merta membuat
para penonton muntah dalam wujud tawa. Dalam hal ini, tawa yang terbentuk
membuat mereka menjadi pasif tanpa mengetahui apakah input yang mereka dapatkan
layak konsumsi atau tidak. Sedangkan kaum apatis, mereka hanya berdiri sebagai
penyaksi dan memakai kebenaran tidak lebih untuk dirinya sendiri tanpa berupaya
menjadi pengingat untuk yang lain.
Mengingat bahasa yang kini rawan banjir dan longsor,
seyogyanya kita mampu memosisikan diri sebagai konsumen yang cerdas. Cerdas
dalam arti cakap dalam menyaring sampah kata-kata yang tergelontor dari hilir
sungai agar banjir bahasa bukan lagi menjadi rutinitas dan bahasa longsor tidak
kembali terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar