Sabtu, 14 November 2015

Banjir Bahasa dalam Kehidupan

Oleh: Nurul Istiqomah
            Banjir dan longsor menjadi topik yang tengah hangat dibicarakan belakangan ini. Air yang menggenang hingga menenggelamkan rumah-rumah warga ditambah pula dengan ambrolnya konstruksi  tanah yang tidak kuasa menyangga kuatnya gerusan air hujan turut mewarnai pemandangan alam. Tetapi, yang sesungguhnya terjadi adalah banjir dan longsor yang terjadi bukan semata-mata yang tampak oleh mata telanjang, di ranah kebahasaan pun musibah ini sedang melanda.
Yaitu banjir bahasa dan bahasa longsor, malapetaka yang luput dari kesadaran namun sesungguhnya telah lama mengintai lalu menggerogoti kehidupan manusia. Tanpa kita sadari, bahasa dengan seperangkat kalimat serta untaian kata-kata kini bukanlah bahasa yang orang tua atau nenek moyang kita gunakan dulu. Bahasa kekinian telah mengalami degradasi kemurniannya.
Saat kita berbicara perihal banjir, satu hal yang tak boleh luput adalah bagaimana banjir itu bisa terjadi dan siapakah yang berperan sebagai pengulah. Jika banjir dalam konsep alam diartikan sebagai suratan ilahi yang disebabkan oleh tangan nakal manusia, maka  banjir bahasa merupakan kesalahan manusia yang mendapat restu Tuhan. Sebagaimana banjir dalam konsepsi air yang memperlihatkan manusia sebagai pembuat ulah; yakni membuang sampah tidak pada tempatnya juga melakukan penebangan liar, pun demikian halnya pada banjir bahasa.
Manusia membuang dengan seenak udelnya segala rupa kata-kata tak lazim di sana-sini, terutama pada sungai yang alirannya dipercaya mampu dengan mulus menggiring sekumpulan kata-kata tersebut hingga larut dan lenyap di hulu. Kemustahilan yang sebenarnya tersadari namun sukar dihilangkan.  Mereka tahu betul bahwa sampah kata-kata yang mereka alirkan hingga hulu sungai akan mengakibatkan bencana karena tumpukannya yang menghalau aliran air. Membuatnya macet, mandeg, kemudian meluap.
Tidak hanya berhenti pada banjir saja, malapetaka akibat kelalaian manusia dalam mengumbar kata-kata berbau busuk yang tak layak pakai dapat mengantar manusia pada bencana bahasa longsor. Longsor diakibatkan oleh kurang kuatnya pondasi kebahasaan yang dengan mudah tergerus oleh luapan kata-kata di era modernisasi yang secepat kilat mampu menimbun tanpa ampun segala apapun di sekelilingnya, termasuk manusia-manusia di sekitar area longsor.
Banjir bahasa dan bahasa longsor telah menyeret manusia sebagai pelaku, baik yang mengenai maupun yang dikenai. Dalam hal ini, manusia terbagi menjadi produsen, konsumen, kaum apatis; yakni sang pencipta banjir bahasa dan bahasa longsor, si penikmat malapetaka itu sendiri, serta manusia yang tak mengindahkan keadaan sekeliling. Ketiganya memegang peranan masing-masing yang tanpa disadari merekalah sang pengacau, penebang pohon-pohon abjad, pengikis lapisan tanah.
Pertama, manusia sebagai produsen. Manusia dengan merek demikian ini justru membuat kacau dan mengobrak-abrik kemapanan sebuah bahasa. Dengan dalih membangun sebuah terobosan, para pencipta ini bukannya menyuguhkan keelokan horizon kebahasaan namun menebarkan sampah-sampah kata anyir yang akan terkumpul pada muara sungai atau bahkan ujung tanggul-tanggul penyangga. Manusia-manusia macam inilah yang membuat panorama kebahasaan makin bebas dan tak terkendali. Genangan-genangan ujaran yang kian meluas menutupi lubang menganga di jalur kebahasaan, membentuk kubangan yang memerosokkan siapapun yang melewatinya karena yang tampak adalah permukaan yang rata. Jebakan Batman. Dan yang terjadi kemudian adalah mereka berbangga akan musibah banjir bahasa yang mereka cipta oleh karena temuannya yang meski merupakan sebuah musibah, justru banyak digandrungi.
Kedua, mereka yang berlabelkan konsumen menikmati banjir bahasa dan bahasa longsor bukan sebagai musibah. Kaum ini tidak sedikitpun menyadari bahkan enggan mencari tahu sebab musabab banjir bahasa yang tengah melanda, mencari posisi aman agar tak dipaksa bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi. Namun, tanpa mereka sadari sebuah titik yang mereka sangka sebagai spot yang bebas dari bahaya justru meletakkan mereka sebagai korban. Korban atas amuk produsen yang memangkas, lebih-lebih menggunduli ranting-ranting abjad tuntas hingga ke akarnya. Si korban menganggap kesengsaraan yang terjadi adalah suatu hal yang lumrah dan sebagai sebuah kontinuitas yang pasti terjadi.
Ketiga, ialah golongan apatis yang sadar betul apa yang tengah berlaku namun tak jua bertindak. Sekumpulan orang semacam ini tak mengacuhkan bunyi berdebam bahasa yang longsor menimpa segala apapun di sekelilingnya. Mereka cenderung melepaskan diri dari realitas yang kian menenggelamkan bahasa yang sebagaimana mestinya.
Di dalam realita pertelevisian misalnya, saat konsumen menonton sebuah guyonan yang dibikin oleh empat orang produsen yang tak jelas fokusnya hingga terjadi saling tumpang tindih, serta merta membuat para penonton muntah dalam wujud tawa. Dalam hal ini, tawa yang terbentuk membuat mereka menjadi pasif tanpa mengetahui apakah input yang mereka dapatkan layak konsumsi atau tidak. Sedangkan kaum apatis, mereka hanya berdiri sebagai penyaksi dan memakai kebenaran tidak lebih untuk dirinya sendiri tanpa berupaya menjadi pengingat  untuk yang lain.
Mengingat bahasa yang kini rawan banjir dan longsor, seyogyanya kita mampu memosisikan diri sebagai konsumen yang cerdas. Cerdas dalam arti cakap dalam menyaring sampah kata-kata yang tergelontor dari hilir sungai agar banjir bahasa bukan lagi menjadi rutinitas dan bahasa longsor tidak kembali terjadi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar