Oleh:
Nurul Istiqomah
Inilah episode
perdanaku berkisah buku pasca berpulang dari Bilik Literasi, Solo. Ada rindu
menulis. Ada buncahan hasrat bertutur. Patut diakui, tanpa paksaan aku jadi mbalelo, lupa kewajiban beraksara saban
hari. Sekedar mengeluarkan kotoran yang telah menumpuk. Bahkan yang lebih
terpuji, bersedekah. Teringat kata Mas Bandung, kita pantang jadi manusia medhit, musti bersedekah tiap hari.
Sedekah tak melulu soal duit, sedekah boleh dalam bentuk untaian kata.
Dari Solo, aku
boyong sekardus buku. Tentu aku tak cukup berduit untuk memindah milikkan semua.
Beberapa aku dapat cuma-cuma. Ada sebuah sebagai hadiah. Sebagian hasil belanja
di Nggladak. Yang lain, aku pilih-pilih dari tumpukan buku-buku Mas Bandung. Dan,
demi penuhi inginku ini, aku mesti berhutang. Pada temanku dan Mas Bandung. Aku
tak bawa cukup bekal. Saat aku berkisah perihal hutangku ini, temanku berucap
hutangnya pada Mas Bandung bahkan jauh lebih besar dariku. Oke, tak apa
pikirku. Perjumpaan awal ku tutup dengan berhutang. Lho!
Saat prosesi
kemas-mengemas, aku sisipkan satu buku di tas sementara yang lain aku kunci
rapat dalam kardus. Aku ambil asal. Tapi ukuran buku jadi pertimbangan. Tasku
sudah penuh sesak. Terpilihlah Ibu
Sinder. Novel terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, 1991. Novel lawas. Tampak
dari rupanya kusam. Tapi masih layak dibaca. Aku justru terbawa arus berhulu
zaman itu, menjadi manusia 90-an.
Ibu Sinder, sebuah novel apik seorang
mayor jenderal purnawirawan berjuluk Pandir Kelana. Sengaja ia pakai sebagai
nama samaran di setiap karyanya. Nama lengkapnya RM Slamet Danusudirdjo. Di
halaman akhir, Slamet bertekad melengkapi rencana tulis 13 episodenya pada
ulang tahun ke-75 tepat 4 April 2000. Menyoal janji lelaki tua ini perlu
ditelusuri demi bukti.
Pandir Kelana
menampilkan sosok perempuan tegar. Perempuan Jawa ramah, andhap asor namun sorot matanya, laku santunnya mempertontonkan
wibawa. Pembawaan perempuan keraton tetap kentara meski kuat ia tutup
asal-usulnya. Suguhan kerja nyata lebih baik ketimbang mengumbar keturunan.
Begitu perempuan itu berpendirian.
Sapaan Ibu
Sinder bukan karena ia pemilik nama Sinder, melainkan lantaran ia bersuami Pak
Sinder. Sinder ialah sebutan untuk pengawas perkebunan di zaman Belanda.
Sebutan buat suaminya ini kemudian turut melabeli sang istri. Sinder Suprapto,
mengiring pergantian Ibu Prapto menjadi Ibu Sinder. Perempuan Jawa akan serta
merta berubah sapaan saat ia menikah. Namanya akan menghilang dengan
sendirinya. Berganti dengan nama suami. Bahkan nama suami akan terus melekat
meski suami telah berpulang. Serupa gambaran Pandir Kelana dalam novel ini.
Saat pindah rumah setelah ditinggal mati suami, dalam perkenalan, ia memakai
nama mendiang suami. Bukan nama diri, Winarti. Saat berkunjung ke rumah Ketua
RT, ia berucap: “Memperkenalkan diri, Bu.
Suprapto nama mendiang suamiku.” Pemandangan serupa ini masih sering kita
jumpai. Dalam acara-acara kaum ibu macam arisan, sering mereka tak mengenal
nama asli masing-masing karena selalu memakai nama suami untuk semua urusan.
Ia terlahir
sebagai putri ningrat terkungkung dalam kurungan Dalem Kusumojaten. Berayah
pria bangsawan yang menjadi buah bibir wanita-wanita kerabat keraton. Pria ini
sadar betul akan ketampanannya. Meski telah beristri empat, ia tak jua puas. Di
luar dinding Kusumojaten, kekasihnya silih berganti. Tak jadi persoalan bagi
masyarakat. Sudah menjadi hal yang lumrah seorang bangsawan beristri banyak dan
memiliki “simpanan” dimana-mana.
Sebagai istri,
Ibu Sinder adalah istri penurut, manut, pasrah pada suami. Menerima utuh kodrat
sebagai istri. Suami Winarti bukan pria pemadu, tapi bukan pula pria setia. Ia
begitu cinta pada istri, tapi ia tak kuasa menahan godaan di luaran. Ibu Sinder
lumrah. Dunianya adalah dunia laki-laki. Wanita wajib tundukpada aturan-aturan
yang ditentukan oleh kaum pria. Sedikitnya, pemikiran macam ini lantaran
bibinya, Dumilah, garwa ampil bapaknya.
Bibinya berpesan: “Di rumah ia sepenuhnya
suamimu, tetapi begitu keluar pintu, kau harus bisa mengikhlaskannya. ” Teguh
ia pegang ajaran ini hingga ia bisa menerima segala.
Suatu ketika
suaminya “bermain” dengan seorang Belanda-Indo, istri atasannya. Ia pandai
memendam rasa, pandai bersikap demi menutupi . pada suami ia berujar: “…Pak, seandainya dia itu wanita Jawa dan
masih bebas, aku tak akan keberatan dia jadi maruku.” Jiwa legowo seorang
istri ia tunjukkan. Bahwa pria tampan serupa suaminya layak mendapat haknya
beristri lebih. Kepasrahan seorang istri Jawa justru mampu menampar suami.
Hingga akhir hayat sang suami, Ibu sinder berhasil menjadi istri bebas wayuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar