Oleh: Nurul Istiqomah
Hiruk-pikuk kurikulum 2013 belum sampai pada titik
jeda. Hingga kini pun persoalan terkait kompetensi profesi guru, pengadaan buku
pedoman guru, dan buku teks pelajaran belum lagi selesai dibahas. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembuat kebijakan terus memaksakan
pengimplementasian di seluruh sekolah tahun ini. Padahal, ia belum merampungkan
tugasnya untuk mensosialisasikan kepada pelaku kurikulum, guru. Tidak banyak
guru yang telah benar-benar paham bagaimana ia harus melangkah dan bertindak
bersama kurikulum baru.
Kurikulum baru yang terbilang terburu-buru dan mekso ini seharusnya melakukan
pendekatan berbasis sekolah agar pengimplementasiannya tidak samar lagi.
Nyatanya, sejauh ini, Kemendikbud hanya melakukan penyuluhan kepada kepala
sekolah, guru, dan pengawas secara kolektif. Caranya, dengan mencomot beberapa
dari mereka dan mengumpulkan secara homogen untuk kemudian dikenalkan lebih
dalam perihal kurikulum 2013. Akibatnya yang terjadi adalah kebingungan masal yang
berketerusan.
Dalam pembuatan kurikulum, para pakar pendidikan
justru menargetkan guru. Bagaimana tidak, dari waktu ke waktu mereka melulu
mengurusi kompetensi guru. Sedikit pun mereka tidak berpikir peserta didik, apakah
peserta didik, dengan kurikulum baru, akan mampu berjalan, lebih-lebih berlari.
Peserta didik memiliki kecakapan berbeda yang dipaksa menjadi sama. Ada ketidak
adilan disini. Demi pencapaian target, Mendikbud menggunakan kewenangannya ini
untuk menekan para praktisi pendidikan. Mereka, katanya, telah bersusah payah
membuat sebuah kebijakan dengan melibatkan banyak pakar pendidikan.
Koran Media Indonesia Senin, 10 Pebruari 2014.
Seorang pejabat pendidikan berbicara kurikulum 2013. Berkata Musliar Kasim,
wakil Mendikbud Bidang Pendidikan: “…guru
akan memahami buku yang dipilihnya. Ada keterbatasan guru dalam memahami semua
kandungan buku sehingga ada penyimpangan lagi disini.”. Di artikelnya
dengan panjang kisaran 6000 karakter, ia menyebut kata “penyimpangan” sekitar
18 kali dan “guru” 28 kali. Ada keunikan disini.
Kata “penyimpangan” mengindikasikan penelikungan,
permainan di belakang. Biasanya, penyimpangan dipakai untuk suatu tindakan yang
membutuhkan pertanggung jawaban moral. Berbeda jika penulis menggunakan
pelanggaran, misalnya. Maka yang akan terbayang adalah sebuah aturan yang
terlanggar. Begitulah yang coba disampaikan penulis. Ada indikasi, penulis
membuat tulisan dalam keadaan penuh curiga, takut dikhianati. Dan yang terjadi
kemudian adalah menutup mata untuk melihat diri dengan hanya memandang
kesalahan adalah milik orang lain.
Mereka, para pembuat kebijakan, menganggap bahwa apa
yang telah ia lakukan adalah suatu yang mulia bagi dunia pendidikan. Mereka
seakan hanya berorientasi pada produk. Bekerja dalam target. Terbebani oleh
pangkat dan kewenangan. Semua itu akan berimbas pada persaingan sesama pejabat
untuk menghasilkan produk-produk yang lebih tepat guna. Ya, kurikulum ini salah
satunya. Nyatanya, pemilu 2014 sudah di ambang pintu. Ada kemungkinan hadir
menteri pendidikan baru yang memiliki selera berbeda. Untuk mengantisipasi hal
itu, dan agar pergi dengan meninggalkan jejak, para pemilik kepentingan
menjejalkan produk ciptaannya meski suapan-suapan itu berisiko memunculkan rasa
mual.
Saat target mereka sukar atau bahkan urung tercapai,
mereka akan segera mencari tempat mengalihkan kesalahan. Kali ini, guru menjadi
kambing hitam. Ia mengatakan, segala bentuk penyimpangan beresiko tinggi
dilakukan oleh guru. Padahal, di kurikulum 2013 ini guru hanyalah robot yang
dikendalikan dari atas. Mereka tidak diberi kewenangan untuk mengeksplor siswanya
berdasarkan kemampuan masing-masing. Meski para petinggi pendidikan berdalih
telah mengajak perwakilan guru ahli dalam pembuatan kurikulum ini, apakah
mereka, para perwakilan ini, betul-betul melihat kondisi sesungguhnya?
Dalam artikelnya, Musliar terkesan ingin memperbaiki
citra di mata masyarakat bahwa apa yang ia suguhkan dalam dunia pendidikan
adalah sajian terbaik. Bahwa masyarakat musti mengiyakan kurikulum 2013. Kalaupun
ada kekurangan disana-sini, ini bukanlah kesalahan mereka karena mereka bekerja
bersama banyak pakar yang mustahil berbuat salah. Seperti ia tuliskan: “Untuk sampai kepada peserta didik,
kurikulum harus melalui rantai pasok yang cukup panjang dan pada tiap tahap
berpeluang terjadi penyimpangan, apabila tidak dikendalikan dengan ketat.” Melalui
tulisannya, penulis ingin berbicara bahwa sesungguhnya ia telah melakukan
kewajibannya, membuat produk dan mengawasi pemasarannya.
Kehadiran kurikulum adalah hal wajib dalam lingkaran
pendidikan. Bagaimanapun, kurikulum 2013 dengan segala keterbatasannya seharusnya
datang sebagai penyempurna pendidikan di
Indonesia, menjadi acuan yang patut dianut. Segala rupa kebijakan terkait
penyusunan kurikulum hendaknya betul-betul dikaji agar kurikulum baru tak
bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar