Sabtu, 14 November 2015

Kurikulum 2013; Guru Adalah Alat

Oleh: Nurul Istiqomah
Hiruk-pikuk kurikulum 2013 belum sampai pada titik jeda. Hingga kini pun persoalan terkait kompetensi profesi guru, pengadaan buku pedoman guru, dan buku teks pelajaran belum lagi selesai dibahas. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai pembuat kebijakan terus memaksakan pengimplementasian di seluruh sekolah tahun ini. Padahal, ia belum merampungkan tugasnya untuk mensosialisasikan kepada pelaku kurikulum, guru. Tidak banyak guru yang telah benar-benar paham bagaimana ia harus melangkah dan bertindak bersama kurikulum baru.
Kurikulum baru yang terbilang terburu-buru dan mekso ini seharusnya melakukan pendekatan berbasis sekolah agar pengimplementasiannya tidak samar lagi. Nyatanya, sejauh ini, Kemendikbud hanya melakukan penyuluhan kepada kepala sekolah, guru, dan pengawas secara kolektif. Caranya, dengan mencomot beberapa dari mereka dan mengumpulkan secara homogen untuk kemudian dikenalkan lebih dalam perihal kurikulum 2013. Akibatnya yang terjadi adalah kebingungan masal yang berketerusan.
Dalam pembuatan kurikulum, para pakar pendidikan justru menargetkan guru. Bagaimana tidak, dari waktu ke waktu mereka melulu mengurusi kompetensi guru. Sedikit pun mereka tidak berpikir peserta didik, apakah peserta didik, dengan kurikulum baru, akan mampu berjalan, lebih-lebih berlari. Peserta didik memiliki kecakapan berbeda yang dipaksa menjadi sama. Ada ketidak adilan disini. Demi pencapaian target, Mendikbud menggunakan kewenangannya ini untuk menekan para praktisi pendidikan. Mereka, katanya, telah bersusah payah membuat sebuah kebijakan dengan melibatkan banyak pakar pendidikan.
Koran Media Indonesia Senin, 10 Pebruari 2014. Seorang pejabat pendidikan berbicara kurikulum 2013. Berkata Musliar Kasim, wakil Mendikbud Bidang Pendidikan: “…guru akan memahami buku yang dipilihnya. Ada keterbatasan guru dalam memahami semua kandungan buku sehingga ada penyimpangan lagi disini.”. Di artikelnya dengan panjang kisaran 6000 karakter, ia menyebut kata “penyimpangan” sekitar 18 kali dan “guru” 28 kali. Ada keunikan disini.
Kata “penyimpangan” mengindikasikan penelikungan, permainan di belakang. Biasanya, penyimpangan dipakai untuk suatu tindakan yang membutuhkan pertanggung jawaban moral. Berbeda jika penulis menggunakan pelanggaran, misalnya. Maka yang akan terbayang adalah sebuah aturan yang terlanggar. Begitulah yang coba disampaikan penulis. Ada indikasi, penulis membuat tulisan dalam keadaan penuh curiga, takut dikhianati. Dan yang terjadi kemudian adalah menutup mata untuk melihat diri dengan hanya memandang kesalahan adalah milik orang lain.
Mereka, para pembuat kebijakan, menganggap bahwa apa yang telah ia lakukan adalah suatu yang mulia bagi dunia pendidikan. Mereka seakan hanya berorientasi pada produk. Bekerja dalam target. Terbebani oleh pangkat dan kewenangan. Semua itu akan berimbas pada persaingan sesama pejabat untuk menghasilkan produk-produk yang lebih tepat guna. Ya, kurikulum ini salah satunya. Nyatanya, pemilu 2014 sudah di ambang pintu. Ada kemungkinan hadir menteri pendidikan baru yang memiliki selera berbeda. Untuk mengantisipasi hal itu, dan agar pergi dengan meninggalkan jejak, para pemilik kepentingan menjejalkan produk ciptaannya meski suapan-suapan itu berisiko memunculkan rasa mual.
Saat target mereka sukar atau bahkan urung tercapai, mereka akan segera mencari tempat mengalihkan kesalahan. Kali ini, guru menjadi kambing hitam. Ia mengatakan, segala bentuk penyimpangan beresiko tinggi dilakukan oleh guru. Padahal, di kurikulum 2013 ini guru hanyalah robot yang dikendalikan dari atas. Mereka tidak diberi kewenangan untuk mengeksplor siswanya berdasarkan kemampuan masing-masing. Meski para petinggi pendidikan berdalih telah mengajak perwakilan guru ahli dalam pembuatan kurikulum ini, apakah mereka, para perwakilan ini, betul-betul melihat kondisi sesungguhnya?
Dalam artikelnya, Musliar terkesan ingin memperbaiki citra di mata masyarakat bahwa apa yang ia suguhkan dalam dunia pendidikan adalah sajian terbaik. Bahwa masyarakat musti mengiyakan kurikulum 2013. Kalaupun ada kekurangan disana-sini, ini bukanlah kesalahan mereka karena mereka bekerja bersama banyak pakar yang mustahil berbuat salah. Seperti ia tuliskan: “Untuk sampai kepada peserta didik, kurikulum harus melalui rantai pasok yang cukup panjang dan pada tiap tahap berpeluang terjadi penyimpangan, apabila tidak dikendalikan dengan ketat.” Melalui tulisannya, penulis ingin berbicara bahwa sesungguhnya ia telah melakukan kewajibannya, membuat produk dan mengawasi pemasarannya.
Kehadiran kurikulum adalah hal wajib dalam lingkaran pendidikan. Bagaimanapun, kurikulum 2013 dengan segala keterbatasannya seharusnya datang sebagai  penyempurna pendidikan di Indonesia, menjadi acuan yang patut dianut. Segala rupa kebijakan terkait penyusunan kurikulum hendaknya betul-betul dikaji agar kurikulum baru tak bernasib sama dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar