Oleh: Nurul Istiqomah
Gaya hidup berorientasi pada materi adalah cermin
masyarakat konsumerisme. Wabah ini terus merebak, cekatan menularkan pada yang
lain. Ada kebergantungan pada benda-benda mewah, menganggap sebagai sebuah
kesenangan. Gaya hidup berbasis konsusmsi makin digemari. Persaingan sesama
kaum konsumis kian marak. Berusaha menunjukkan kelebihan demi kesan prestise. Berlomba mencapai titik puncak, namun tidak
ada batasan puncak yang pasti. Puncak bahagia yang tak paten membuat persaingan
tiada akhir.
Tayangan televisi dan iklan pada berbagai media
massa membuka lebar jalan para produsen tawarkan barang. Film-film pun turut
ambil bagian. Konsumis menyalurkan hobi. Hobi mengonsumsi mengesampingkan
urusan menghemat belanja. Tak ada bedanya kebutuhan dan keinginan. Semua
memaksa untuk dipenuhi. Kebiasaan konsumsi jelas meminta ongkos. Ongkos yang
tak semua dapat memenuhi. Kesenjangan niscaya akan terwujud.
Kebutuhan berkendara
turut terpengaruh gaya konsumerisme. Kendaraan bukan lagi sebagai kebutuhan. Ia
telah menjadi semacam gaya hidup. Semua berlomba tampil jadi yang terbaik. Sepeda
jarang tampak, sepeda motor berserakan, mobil penuh desak. Pemilik kendaraan
layak bukan lagi orang kaya. Yang membedakan adalah merk yang mereka pilih. Semua
benda itu meraka jadikan simbol status sosial dan daya tarik.
Mobil, misalnya, bagi sebagian orang menjadi barang mewah
pencitra reputasi. Mobil bukan lagi dilihat dari fungsinya. Mobil tidak lagi
sebagai penyatu keluarga. Padahal, kalau kita mau lebih dalam merasa dan
membuang semua pemikiran seorang konsumis, mobil lebih dari sekedar ajang
gengsi. Melalui mobil, keluarga melihat perjalanan sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Bercakap dan mendengar. Bergantian menyalurkan resah dan
pandangan. Mobil mengumpulkannya jadi satu. Menutup semua akses keluar demi
bertautnya semua kata. Mobil adalah ruang gerak ide. Ide boleh mengembara ke
segala penjuru, tapi mobil mengambil peran, sebaai wadah.
Lain yang terjadi hari ini. Manusia kini mendewakan
mobil. Melihat mobil bukan sebagai pemersatu. Para orangtua kaya memilih
menghadiahi anaknya dengan sebuah mobil. Orang tua serupa ini berpikir bahwa
dengan mobil, anaknya akan terlihat lebih di mata temannya. Lagi-lagi reputasi.
Kaum borjuis memandangnya sebagai kebutuhan. Mereka akan berusaha, meski
tertatih, melangkah tangga demi tangga demi memantaskan diri atas kepemilikan
mobil. Saat tiba pada tangga pantas atas kepemilikan mobil mereka tak akan
berhenti. Kalaupun berhenti, hanya untuk rehat, menghela nafas. Selanjutnya,
mereka akan berlari menaiki ribuan anak tangga tak berujung. Manusia memang tak
lagi punya tujuan akhir.
Para pemuja mobil serupa Raffi Ahmad dan Syahrini
akan rela berhutang untuk sekedar melengkapi koleksi. Mobil dijadikan koleksi. Satu
mobil tidak cukup untuk sekedar memenuhi hasrat berlaku menonjolkan keunggulan.
Para pengoleksi melihat mobil sebagai penanda nama. Nama besarnya akan mengajak
mereka terus berlaku lebih. Nama besar berongkos besar. Begitulah yang
terlihat. Berpose bersama mobil-mobil mewahnya adalah ia pakai sebagai pembesar
nama besar. Ia tidak cukup hanya dengan menjadi besar saja. Sudah banyak orang
besar, maka ia perlu menjadi lebih besar lagi. Mobil sebagai ajang pamer. Mobil
pelengkap fashion. Fashion bukan lagi terbatas pada baju, tas, perhiasan,
sepatu, dan segala yang melekat pada tubuh.
Mobil kini telah bergeser fungsinya. Bukan lagi
sebagai alat tranportasi. Fungsinya kini lebih pada cermin popularitas.
Terkadang terkesan mekso. Tapi
pemeran tak jua jengah, lebih pada menikmati meski tercekik. Begitulah
kira-kira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar