Sabtu, 14 November 2015

Mobil

Oleh: Nurul Istiqomah
Gaya hidup berorientasi pada materi adalah cermin masyarakat konsumerisme. Wabah ini terus merebak, cekatan menularkan pada yang lain. Ada kebergantungan pada benda-benda mewah, menganggap sebagai sebuah kesenangan. Gaya hidup berbasis konsusmsi makin digemari. Persaingan sesama kaum konsumis kian marak. Berusaha menunjukkan kelebihan demi kesan prestise.  Berlomba mencapai titik puncak, namun tidak ada batasan puncak yang pasti. Puncak bahagia yang tak paten membuat persaingan tiada akhir.
Tayangan televisi dan iklan pada berbagai media massa membuka lebar jalan para produsen tawarkan barang. Film-film pun turut ambil bagian. Konsumis menyalurkan hobi. Hobi mengonsumsi mengesampingkan urusan menghemat belanja. Tak ada bedanya kebutuhan dan keinginan. Semua memaksa untuk dipenuhi. Kebiasaan konsumsi jelas meminta ongkos. Ongkos yang tak semua dapat memenuhi. Kesenjangan niscaya akan terwujud.
Kebutuhan berkendara turut terpengaruh gaya konsumerisme. Kendaraan bukan lagi sebagai kebutuhan. Ia telah menjadi semacam gaya hidup. Semua berlomba tampil jadi yang terbaik. Sepeda jarang tampak, sepeda motor berserakan, mobil penuh desak. Pemilik kendaraan layak bukan lagi orang kaya. Yang membedakan adalah merk yang mereka pilih. Semua benda itu meraka jadikan simbol status sosial dan daya tarik.
Mobil, misalnya,  bagi sebagian orang menjadi barang mewah pencitra reputasi. Mobil bukan lagi dilihat dari fungsinya. Mobil tidak lagi sebagai penyatu keluarga. Padahal, kalau kita mau lebih dalam merasa dan membuang semua pemikiran seorang konsumis, mobil lebih dari sekedar ajang gengsi. Melalui mobil, keluarga melihat perjalanan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Bercakap dan mendengar. Bergantian menyalurkan resah dan pandangan. Mobil mengumpulkannya jadi satu. Menutup semua akses keluar demi bertautnya semua kata. Mobil adalah ruang gerak ide. Ide boleh mengembara ke segala penjuru, tapi mobil mengambil peran, sebaai wadah.
Lain yang terjadi hari ini. Manusia kini mendewakan mobil. Melihat mobil bukan sebagai pemersatu. Para orangtua kaya memilih menghadiahi anaknya dengan sebuah mobil. Orang tua serupa ini berpikir bahwa dengan mobil, anaknya akan terlihat lebih di mata temannya. Lagi-lagi reputasi. Kaum borjuis memandangnya sebagai kebutuhan. Mereka akan berusaha, meski tertatih, melangkah tangga demi tangga demi memantaskan diri atas kepemilikan mobil. Saat tiba pada tangga pantas atas kepemilikan mobil mereka tak akan berhenti. Kalaupun berhenti, hanya untuk rehat, menghela nafas. Selanjutnya, mereka akan berlari menaiki ribuan anak tangga tak berujung. Manusia memang tak lagi punya tujuan akhir.
Para pemuja mobil serupa Raffi Ahmad dan Syahrini akan rela berhutang untuk sekedar melengkapi koleksi. Mobil dijadikan koleksi. Satu mobil tidak cukup untuk sekedar memenuhi hasrat berlaku menonjolkan keunggulan. Para pengoleksi melihat mobil sebagai penanda nama. Nama besarnya akan mengajak mereka terus berlaku lebih. Nama besar berongkos besar. Begitulah yang terlihat. Berpose bersama mobil-mobil mewahnya adalah ia pakai sebagai pembesar nama besar. Ia tidak cukup hanya dengan menjadi besar saja. Sudah banyak orang besar, maka ia perlu menjadi lebih besar lagi. Mobil sebagai ajang pamer. Mobil pelengkap fashion. Fashion bukan lagi terbatas pada baju, tas, perhiasan, sepatu, dan segala yang melekat pada tubuh.

Mobil kini telah bergeser fungsinya. Bukan lagi sebagai alat tranportasi. Fungsinya kini lebih pada cermin popularitas. Terkadang terkesan mekso. Tapi pemeran tak jua jengah, lebih pada menikmati meski tercekik. Begitulah kira-kira. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar