Sabtu, 14 November 2015

Jumok dan Usia


Dua puluh hari kulalui bersama Jumok dengan segala tetek bengeknya. Soal air, dingin, komunikasi, bahasa, tradisi. Perihal gerak guyon menjadi isu. Kabar terbawa oleh angin puting beliung. Meremas kabar hingga tak berbentuk layaknya semula. Ragam teman dengan tingkat ketidakwarasan yang mendekati akut menemaniku kini. Dugaan bakal tak nyaman urung terbukti. Bukannya sembuh, penyakit gilaku memburuk. Bergandeng para abdi mbalelo, aku makin mbeling. Asik.
Dan di rumah pengabdian ini (meski aku tak betul-betul  sedang mengabdi), aku masih jadi aku yang dulu. Perempuan dengan insomnia. Perempuan yang malas tidur. Disini, waktu tidurku makin melimpah. Selepas maghrib tak ada lagi pintu terbuka. Laku berkunjung telah usai. Selepas makan malam, kalau tak ada rapat, perempuan-perempuan sibuk bertarik selimut, bantal, dan tikar. Ramai berdesak mengatur posisi. Aku, Sula, dan Oppeb selalu datang terlambat. Mendapat posisi sisa. Itulah akibat mengabaikan kantuk. Saat mata tak lagi sempurna membuka, posisi apapun tak lagi dirasa.
Malam itu, sebagaimana biasa, kami tak terbujuk oleh kantuk. Sebelumnya, semua kurcaci dan pandawa mandeg lebih lama, setelah prosesi makan malam. Karna gitar. Ya, malam itu kami berkawan sebuah gitar hasil menjambret. Kala berkunjung ke Sumurup siang tadi, aku melihat gitar tak bertuan. Ku putuskan untuk meminjam paksa kepada pemiliknya via sms.
Tak banyak lagu mampu dimainkan. Nada membikin gerak berputar. Iringannya terputus kala irama belum lagi mencapai puncak. Kami maklum, pandawa tak pandai mengiring dendang. Aku tak lagi bisa menikmati senandung. Kegembiraan berkumpul mengalahkan semua. Segala ketakwajaran dianggap lumrah.
Lelah berputar pada nada statis, penduduk berkurang. Para pemuja mimpi menjemput hangat selimut. Permainan beralih. Poker. Tak banyak yang sanggup bermain. Permainan manusia nakal, katanya. Ah, apa peduliku. Aku tidak ingin hidupku hanya bertoreh warna putih. Permainan terkuasai oleh enam orang saja. Muji, Setip, Aris, Sula, dan Aku. Fadil sebagai pendatang baru. Oppeb jadi penggembira. Kemenangan dan kekalahan bergilir, kecuali Muji. Lahap betul ia malam itu. Memakan semua bagian lawan. Meski tak selalu jadi yang pertama, tak pernah ia di posisi belakang.
Malam bertambah larut, laku bergerak menuju pancaroba. Bosan. Menyisa lima manusia tangguh. Setip, Aris, Sula, Oppeb, dan Aku. Muji dan Fadil mengaku kalah oleh kantuk. Berceloteh tak penting jadi pilihan. Sula jadi korban speak, meski ia tak sadar. Beribu kata tergelontor. Berikhtiar menyampai pesan. Mulut malu merangkai kalimat. Berempat menjadi penangkap berita. Tutur bergulir membawa pendengar ke dalam imajinasi. Menggambar kata dalam angan. Berlaku sebagai pemancing, Setip. Aku, sesekali,  berlagak jadi penasehat. Meski terkadang tak penting didengar. Dalam diamnya, Oppeb menjadi pembelajar. Ia yang masih suci tak berani banyak bicara. Hanya beberapa kali mengamini. Dan Aris, berpamitan menguras gudang makanan di perut setelah sebelumnya aktif mencipta gas. Kurang ajar, ia membuangnya sembarangan.
Alam berkirim kabar bahwa malam makin tenggelam. Dunia hewan tak kenal insomnia. Mereka bergerak oleh kerja shift. Binatang yang telah seharian bekerja kini lelap oleh buaian alam. Berganti binatang bermata tajam yang mampu menembus pekat malam. Di dusun Jumog ini, barangkali hanya kami yang masih terjaga.
Alam sedang labil malam ini. Langit cerah, tiba-tiba datang segerombol awan hitam mengintai. Tatapnya jahat mengancam. Ternyata hanya gertakan. Selepas membikin cemas, ia pergi begitu saja. Dan datang kembali saat gembira kembali dirasa.
Berulang kali mata dua anak perempuanku, Sula dan Oppeb turut membumbung bersama arak-arakan awan hitam. Sesaat kemudian kembali merunduk saat satu-satunya penerangan kembali tersibak. Ada cemas tertangkap dari gerak matanya. Takut sinarnya tertutup kelam. Terkalahkan oleh sang penggoda. Sepertinya.
Aris datang berbekal nasi  mawut di tangan. Berwadah baskom, bersendok lima. Ternyata baru saja ia mencipta dusta. Berkata membuang kotoran, ia berbelok menuju dapur. Membikin makanan. Nasi mawut. Satu-satunya jenis makanan yang bisa ia bikin. Ah, kenapa tidak ada nego sebelumnya. Perutku terlalu penuh untuk menerima asupan.
Nasi mawut terhidang, aksi saling pandang dimulai. Ah, aku benci. Mata mereka kompak mencipta teka teki. Setelah beberapa saat bercakap lewat tatap, Aris membuka mulut. Bahwa kerja yang ia bikin atas dasar membikin kejutan. Ia mengingatkan bahwa usiaku hampir hinggap di angka 24. Ya, hampir. Ia terlalu cepat membuat langkah. Satu jam menuju pukul 12 maksud telah tersampaikan. Jam di handphonenya berulah. Membikin angka tak tepat.
Aku menjelma tuna wicara. Mulut tak mampu mencipta suara. Hanya sanggup keluarkan senyum macam orang gila. Mereka menyebut speechless. Setip mampu menebak. Ini kali pertama aku dibikin tak mampu berkata di momen bertambah usia. Aku pernah mendapat kejutan serupa ini, tapi rasanya sedikit berbeda. Aku tak tahu pasti apa yang membikin berbeda.
Mereka terus memaksaku mengeluarkan suara. Sekedar ucapan terimakasih mungkin. Bingung. Aku tak mau atau tak mampu. Mereka bilang semua yang kuterima hari ini oleh karena rencana membuat senang. Aku tak bisa merasa karna selama ini apa yang ku mau, mereka menuruti. Manusia dingin nan kaku.
Meski ada dua anak yang kubawa dari rumah, aku yakin bukan mereka pemilik ide. Aku mengenal mereka sebagai yang tak saling mengingat tanggal lahir. Ucapan selamat bukan ritual wajib. Sudah pasti, dua orang pandawa itu yang membangun rencana. Masing-masing kupaksa mengungkap alasan. Yang mampu ku tangkap, hasrat tergerak oleh kenyamanan berkawan.
Laku bergerak menuju polah alay. Aksi saling suap dan berfoto. Aku sudah cukup tua untuk berlaku demikian. Tapi, demi membikin mereka marem, kuturut saja mau mereka. Toh, mereka telah membikinku senang seharian tadi. Gesekan angin membuat satu simpul untuk kemudian mengikat kami menjadi satu.
Usia, bagiku bukan hal yang penting diingat. Itulah mengapa perpindahannya tak pernah benar-benar ku tunggu. Biasanya aku teringat saat keluarga memberi hadiah. Itu ritual wajib, utamanya bagi adikku. Dan aku manfaatkan sebagai ajang permohonan. Kakak jahat.
Saat yang lain mengidentikkan pertambahan usia dengan permohonan kepada Tuhan, tidak bagiku. Karena doa yang kupanjat tiap hari, itulah big wishesku. Kenapa pula harus  menunggu pergantian usia? Terlalu lama. Ada baiknya prosesi make a wish berganti dengan penancapan target dalam diri. Sayangnya, aku manusia instan yang tak pernah berjalan bersama target. Menghidupi hidup sebagaimana arus membawa. Beberapa kali mencanang target, selalu gagal. Sepertinya aku bukan tercipta untuk itu.
Di momen pertambahan usiaku ini, aku merasa aura kekhawatiran menyergap orang-orang sekelilngku. Orang-orang yang mencintaiku. Semoga. Kecemasan yang selaras. Sebab aku belum lagi bergandeng. Mereka mengira aku tak bahagia. Dan mereka salah. Aku justru bahagia sebab aku merdeka. Aku bebas bergerak, bebas berkawan. Cemas yang mereka rasa hanya sesekali muncul pada diriku, tapi tidak ku anggap sebagai sesuatu yang musti dipikir. Tak baik terlalu memaksa kehendak, itu keyakinanku.
Usia yang hanya kuhitung saat ada penanya, malam itu membikinku ngeh bahwa aku dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Gembiraku, warna dalam hariku, itu sebab mereka pula. Untuk itu, baiknya ku ucap terimakasih yang tak terhingga atas kesediaan menemani orang tak waras macamku. Seorang tua yang tak mengakui ketuaannya.

Jumog, 4 Nopember 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar