Dua puluh hari kulalui bersama Jumok
dengan segala tetek bengeknya. Soal
air, dingin, komunikasi, bahasa, tradisi. Perihal gerak guyon menjadi isu.
Kabar terbawa oleh angin puting beliung. Meremas kabar hingga tak berbentuk
layaknya semula. Ragam teman dengan tingkat ketidakwarasan yang mendekati akut
menemaniku kini. Dugaan bakal tak nyaman urung terbukti. Bukannya sembuh,
penyakit gilaku memburuk. Bergandeng para abdi
mbalelo, aku makin mbeling. Asik.
Dan di rumah pengabdian ini (meski aku tak
betul-betul sedang mengabdi), aku masih
jadi aku yang dulu. Perempuan dengan insomnia. Perempuan yang malas tidur.
Disini, waktu tidurku makin melimpah. Selepas maghrib tak ada lagi pintu
terbuka. Laku berkunjung telah usai. Selepas makan malam, kalau tak ada rapat, perempuan-perempuan
sibuk bertarik selimut, bantal, dan tikar. Ramai berdesak mengatur posisi. Aku,
Sula, dan Oppeb selalu datang terlambat. Mendapat posisi sisa. Itulah akibat
mengabaikan kantuk. Saat mata tak lagi sempurna membuka, posisi apapun tak lagi
dirasa.
Malam itu, sebagaimana biasa, kami tak
terbujuk oleh kantuk. Sebelumnya, semua kurcaci dan pandawa mandeg lebih lama, setelah prosesi makan
malam. Karna gitar. Ya, malam itu kami berkawan sebuah gitar hasil menjambret.
Kala berkunjung ke Sumurup siang tadi, aku melihat gitar tak bertuan. Ku
putuskan untuk meminjam paksa kepada pemiliknya via sms.
Tak banyak lagu mampu dimainkan. Nada membikin
gerak berputar. Iringannya terputus kala irama belum lagi mencapai puncak. Kami
maklum, pandawa tak pandai mengiring dendang. Aku tak lagi bisa menikmati
senandung. Kegembiraan berkumpul mengalahkan semua. Segala ketakwajaran
dianggap lumrah.
Lelah berputar pada nada statis, penduduk
berkurang. Para pemuja mimpi menjemput hangat selimut. Permainan beralih. Poker.
Tak banyak yang sanggup bermain. Permainan manusia nakal, katanya. Ah, apa
peduliku. Aku tidak ingin hidupku hanya bertoreh warna putih. Permainan
terkuasai oleh enam orang saja. Muji, Setip, Aris, Sula, dan Aku. Fadil sebagai
pendatang baru. Oppeb jadi penggembira. Kemenangan dan kekalahan bergilir,
kecuali Muji. Lahap betul ia malam itu. Memakan semua bagian lawan. Meski tak
selalu jadi yang pertama, tak pernah ia di posisi belakang.
Malam bertambah larut, laku bergerak menuju
pancaroba. Bosan. Menyisa lima manusia tangguh. Setip, Aris, Sula, Oppeb, dan
Aku. Muji dan Fadil mengaku kalah oleh kantuk. Berceloteh tak penting jadi
pilihan. Sula jadi korban speak,
meski ia tak sadar. Beribu kata tergelontor. Berikhtiar menyampai pesan. Mulut
malu merangkai kalimat. Berempat menjadi penangkap berita. Tutur bergulir membawa
pendengar ke dalam imajinasi. Menggambar kata dalam angan. Berlaku sebagai
pemancing, Setip. Aku, sesekali,
berlagak jadi penasehat. Meski terkadang tak penting didengar. Dalam
diamnya, Oppeb menjadi pembelajar. Ia
yang masih suci tak berani banyak bicara. Hanya beberapa kali mengamini. Dan
Aris, berpamitan menguras gudang makanan di perut setelah sebelumnya aktif
mencipta gas. Kurang ajar, ia membuangnya sembarangan.
Alam berkirim kabar bahwa malam makin tenggelam.
Dunia hewan tak kenal insomnia. Mereka bergerak oleh kerja shift. Binatang yang telah seharian bekerja kini lelap oleh buaian
alam. Berganti binatang bermata tajam yang mampu menembus pekat malam. Di dusun
Jumog ini, barangkali hanya kami yang masih terjaga.
Alam sedang labil malam ini. Langit cerah,
tiba-tiba datang segerombol awan hitam mengintai. Tatapnya jahat mengancam.
Ternyata hanya gertakan. Selepas membikin cemas, ia pergi begitu saja. Dan
datang kembali saat gembira kembali dirasa.
Berulang kali mata dua anak perempuanku, Sula
dan Oppeb turut membumbung bersama arak-arakan awan hitam. Sesaat kemudian
kembali merunduk saat satu-satunya penerangan kembali tersibak. Ada cemas tertangkap
dari gerak matanya. Takut sinarnya tertutup kelam. Terkalahkan oleh sang
penggoda. Sepertinya.
Aris datang berbekal nasi mawut di tangan. Berwadah baskom, bersendok
lima. Ternyata baru saja ia mencipta dusta. Berkata membuang kotoran, ia berbelok
menuju dapur. Membikin makanan. Nasi mawut. Satu-satunya jenis makanan yang
bisa ia bikin. Ah, kenapa tidak ada nego sebelumnya. Perutku terlalu penuh
untuk menerima asupan.
Nasi mawut terhidang, aksi saling pandang
dimulai. Ah, aku benci. Mata mereka kompak mencipta teka teki. Setelah beberapa
saat bercakap lewat tatap, Aris membuka mulut. Bahwa kerja yang ia bikin atas
dasar membikin kejutan. Ia mengingatkan bahwa usiaku hampir hinggap di angka
24. Ya, hampir. Ia terlalu cepat membuat langkah. Satu jam menuju pukul 12
maksud telah tersampaikan. Jam di handphonenya
berulah. Membikin angka tak tepat.
Aku menjelma tuna wicara. Mulut tak mampu
mencipta suara. Hanya sanggup keluarkan senyum macam orang gila. Mereka
menyebut speechless. Setip mampu
menebak. Ini kali pertama aku dibikin tak mampu berkata di momen bertambah
usia. Aku pernah mendapat kejutan serupa ini, tapi rasanya sedikit berbeda. Aku
tak tahu pasti apa yang membikin berbeda.
Mereka terus memaksaku mengeluarkan suara.
Sekedar ucapan terimakasih mungkin. Bingung. Aku tak mau atau tak mampu. Mereka
bilang semua yang kuterima hari ini oleh karena rencana membuat senang. Aku tak
bisa merasa karna selama ini apa yang ku mau, mereka menuruti. Manusia dingin
nan kaku.
Meski ada dua anak yang kubawa dari rumah, aku
yakin bukan mereka pemilik ide. Aku mengenal mereka sebagai yang tak saling
mengingat tanggal lahir. Ucapan selamat bukan ritual wajib. Sudah pasti, dua
orang pandawa itu yang membangun rencana. Masing-masing kupaksa mengungkap
alasan. Yang mampu ku tangkap, hasrat tergerak oleh kenyamanan berkawan.
Laku bergerak menuju polah alay. Aksi saling suap dan berfoto. Aku
sudah cukup tua untuk berlaku demikian. Tapi, demi membikin mereka marem, kuturut saja mau mereka. Toh,
mereka telah membikinku senang seharian tadi. Gesekan angin membuat satu simpul
untuk kemudian mengikat kami menjadi satu.
Usia, bagiku bukan hal yang penting diingat.
Itulah mengapa perpindahannya tak pernah benar-benar ku tunggu. Biasanya aku
teringat saat keluarga memberi hadiah. Itu ritual wajib, utamanya bagi adikku.
Dan aku manfaatkan sebagai ajang permohonan.
Kakak jahat.
Saat yang lain mengidentikkan pertambahan usia
dengan permohonan kepada Tuhan, tidak bagiku. Karena doa yang kupanjat tiap
hari, itulah big wishesku. Kenapa
pula harus menunggu pergantian usia?
Terlalu lama. Ada baiknya prosesi make a
wish berganti dengan penancapan target dalam diri. Sayangnya, aku manusia
instan yang tak pernah berjalan bersama target. Menghidupi hidup sebagaimana
arus membawa. Beberapa kali mencanang target, selalu gagal. Sepertinya aku bukan
tercipta untuk itu.
Di momen pertambahan usiaku ini, aku merasa
aura kekhawatiran menyergap orang-orang sekelilngku. Orang-orang yang
mencintaiku. Semoga. Kecemasan yang selaras. Sebab aku belum lagi bergandeng. Mereka mengira aku tak
bahagia. Dan mereka salah. Aku justru bahagia sebab aku merdeka. Aku bebas
bergerak, bebas berkawan. Cemas yang mereka rasa hanya sesekali muncul pada
diriku, tapi tidak ku anggap sebagai sesuatu yang musti dipikir. Tak baik
terlalu memaksa kehendak, itu keyakinanku.
Usia yang hanya kuhitung saat ada penanya,
malam itu membikinku ngeh bahwa aku
dikelilingi orang-orang yang menyayangiku. Gembiraku, warna dalam hariku, itu
sebab mereka pula. Untuk itu, baiknya ku ucap terimakasih yang tak terhingga
atas kesediaan menemani orang tak waras macamku. Seorang tua yang tak mengakui
ketuaannya.
Jumog, 4 Nopember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar