Sabtu, 14 November 2015

Jemu Bertoreh Warna

Di sela hari-hari “pengabdianku” yang kupaksa menarik, kembali ku menulis.  Melupakan yang wajib, menjamah yang tak penting. Aku musti banyak beradaptasi disini. Tentang air, dingin, komunikasi, bahasa, tradisi, dan sederet hal baru lainnya. Dan teman-temanku, dengan segala tingkah polahnya, senantiasa mencipta gurau yang menghangatkan. Aku sungguh bersyukur bertemu orang-orang gila selayak mereka. Kegilaanku tersalurkan.
Sebelum keberangkatan, aku sempat membikin janji yang tak kunjung mampu kutepati. Janji hadiahkan sebuah lukis jejak kebersamaan bersama mereka. Aku tak tahu harus bagaimana menyebutnya. Anak? Aku bukanlah dewasa yang pandai ngemong. Murid? Pun kurasa belum banyak lagi ilmu yang sanggup kubagi. Aku hanya mencoba memantaskan diri untuk berkawan dengan mereka. Baiknya kusebut mereka teman muda. Ya, karna yang pasti kami terpaut usia.
Mereka adalah teman belajar selama aku menjalani tugas sebagai “pengajar”. Ya, sebelum aku terdampar di desa dingin yang kebetulan sedang langka air ini, selama dua bulan aku belajar menjadi “pengajar”, atas perintah, atas dasar pemenuhan kewajiban. Di awal, aku tak benar-benar tulus, hingga yang kurasa hanya suram dan jemu. Saat angan melukis kekusutan, mereka hadir membubuh warna, hingga yang kusut menjadi lebih indah dirasa. Dan lagi-lagi aku merasa ini penting untuk diabadikan karna aku tak yakin otakku yang lemah ini mampu mengingatnya.
Saat kali pertama ku jejakkan kaki di rumah belajar mereka, kucoba pandangi satu-satu wajah penghuninya. Coba pelajari tiap lekuk wajah, berharap temui sudut yang mampu menghantar pada tanda khas sebagai pengingat dan pemahaman karakter. Nyatanya, aku terlalu sombong. Aku tak mampu melakukan keduanya. Aku tak bisa membaca wajah, pun tak pandai menghafal nama. 49 siswa terlalu massif bagiku. Dan pertemuan pertama hanya menoreh secuil ingatan di sudut kotak memori. Hanya dua nama yang kuingat, Nurul “Si Captain” dan Nawang “pemalu nan cakap”.
Kali kedua kami bersua, belum mampu aku membikin senang. Aku hanya mengajar sebagai penggugur tanggungjawab. Kebetulan aku mendapat pamong yang tak banyak menuntut. Pun mereka, seperti dapat merasa ketaktulusanku. Dari mereka, hanya sanggup kujaring segelintir senyum. Selebihnya, tak merasa perlu mengindahkan. Aku belum mampu membawa kelas berjalan  bersama. Kurasa bukan karna pengalaman, aku hanya cukup membawa hati legowo  ke dalam kelas. Itu saja.
Berbekal koreksi diri, aku berpikir tak pantas memaksa mereka mengikuti hasratku, hasrat yang belum lagi kukuh. Maka kuputuskan untuk mengajak mereka turut serta mengungkap ingin, atau paling tidak membikin mereka nyaman oleh keberadaanku sebagai pengganti lidah guru bahasa Inggrisnya.
Beragam cara kurencanakan, aku menangkap sinyal baik untuk semua usahaku. Hingga, aku yang kebetulan menjadi guru model diharuskan membikin metode pembelajaran yang menarik untuk kemudian diamati oleh beberapa pengamat. Awalnya, aku merasa ini sedikit membebani karna selain aku musti menyiapkan media yang menarik, pun aku harus menetralkan suasana kelas karna akan kedatangan banyak “orang asing”. Tapi berkat teman-teman dengan jurusan serumpun juga teman-temanku X ADM 2 yang mulai dapat berbaur, aku mampu melewatinya. Dan kurasa, inilah puncak kesuksesanku selama dua bulan bersama mereka. Yah, setidaknya menurutku. Momentum itu kujadikan waktu untuk lebih dekat dengan mereka, lebih banyak mendengar dan melihat. Egoku yang teramat besar sedikit terkikis.
Sampai pada penghujung perjumpaan, aku sengaja memberi utuh kepada mereka serangkai pleasure time. Setelah mendapat persetujuan kelas dan tentu saja guru pamong, ku putuskan untuk mengajak mereka menonton. Menonton sebuah film yang lagunya telah kami coba nyanyikan bersama, “Frozen”. Bukan bermaksud tunjukkan suara tak merdu, hanya ingin ajak mereka berlatih melafal.
Memandang wajah mereka selama film diputar sungguh menggembirakan. Sesekali ternganga, terbahak, hingga berteriak histeris. Di saat seperti ini, kurasa kegembiraan bersama mereka.
Sudah menjadi hal lumrah, bahwa ujung pertemuan adalah saat yang menyebalkan. Saat menyesali dosa silam. Dosa yang hanya mampu dirasakan sesalnya di ujung. Terbersit berkelumit asa yang tak mampu terwujud. Terbayang rindu saat tak lagi dapat bersua.
Nyatanya aku masih buta, tak mampu membaca bahwa sebetulnya mereka merasa kehilangan. Selepas menonton, beberapa dari mereka beringsut mendekatiku, menyodor sebuah bantal kepala hello kitty. Aku tak tahu pasti apa yang membuat mereka memberiku bantal serupa itu. Aku yang keras kepala sama sekali tak layak disandingkan dengan hello kitty. Kalau otakku tak salah mengingat, ini adalah boneka keduaku selama aku hidup. Terima kasih. Sebetulnya, aku memang bukan perempuan dengan gelimang boneka. Tak ada keinginan untuk itu.
Namun satu yang yang kusadari, mereka ingin aku mengenangnya melalui perantara, tak peduli apa bentuknya. Dan kini, aku membawanya turut ke “desa pengabdian” menemani dinginku, nyenyakkan tidurku. Di akhir, aku hanya sanggup ucap maaf dan terimakasih untuk semua yang tak mampu kulakukan dan segala yang telah kalian berikan. Nurul, Nawang, Umi, monita, Nella, Nensy, Nina, Puput, Retno, Nurlalila, Rosi, Safiara, the twins Sinde-Sindi, Titik, Yessica, Widiana, dan lainnya yang tak mampu kusebut, sekali lagi ku ucap terima kasih yang tak terkira atas warna yang telah kalian toreh. Cintailah apapun yang kalian kerjakan, niscaya akan kalian peroleh apa yang menjadi ingin.
Masaran, 26/10/2014

21.50

Tidak ada komentar:

Posting Komentar