Di sela
hari-hari “pengabdianku” yang kupaksa menarik, kembali ku menulis. Melupakan yang wajib, menjamah yang tak
penting. Aku musti banyak beradaptasi disini. Tentang air, dingin, komunikasi,
bahasa, tradisi, dan sederet hal baru lainnya. Dan teman-temanku, dengan segala
tingkah polahnya, senantiasa mencipta gurau yang menghangatkan. Aku sungguh
bersyukur bertemu orang-orang gila selayak
mereka. Kegilaanku tersalurkan.
Sebelum
keberangkatan, aku sempat membikin janji yang tak kunjung mampu kutepati. Janji
hadiahkan sebuah lukis jejak kebersamaan bersama mereka. Aku tak tahu harus
bagaimana menyebutnya. Anak? Aku bukanlah dewasa yang pandai ngemong. Murid? Pun kurasa belum banyak
lagi ilmu yang sanggup kubagi. Aku hanya mencoba memantaskan diri untuk
berkawan dengan mereka. Baiknya kusebut mereka teman muda. Ya, karna yang pasti
kami terpaut usia.
Mereka
adalah teman belajar selama aku menjalani tugas sebagai “pengajar”. Ya, sebelum
aku terdampar di desa dingin yang kebetulan sedang langka air ini, selama dua
bulan aku belajar menjadi “pengajar”, atas perintah, atas dasar pemenuhan
kewajiban. Di awal, aku tak benar-benar tulus, hingga yang kurasa hanya suram
dan jemu. Saat angan melukis kekusutan, mereka hadir membubuh warna, hingga
yang kusut menjadi lebih indah dirasa. Dan lagi-lagi aku merasa ini penting
untuk diabadikan karna aku tak yakin otakku yang lemah ini mampu mengingatnya.
Saat kali
pertama ku jejakkan kaki di rumah belajar mereka, kucoba pandangi satu-satu
wajah penghuninya. Coba pelajari tiap lekuk wajah, berharap temui sudut yang
mampu menghantar pada tanda khas sebagai pengingat dan pemahaman karakter. Nyatanya,
aku terlalu sombong. Aku tak mampu melakukan keduanya. Aku tak bisa membaca
wajah, pun tak pandai menghafal nama. 49 siswa terlalu massif bagiku. Dan
pertemuan pertama hanya menoreh secuil ingatan di sudut kotak memori. Hanya dua
nama yang kuingat, Nurul “Si Captain”
dan Nawang “pemalu nan cakap”.
Kali
kedua kami bersua, belum mampu aku membikin senang. Aku hanya mengajar sebagai
penggugur tanggungjawab. Kebetulan aku mendapat pamong yang tak banyak
menuntut. Pun mereka, seperti dapat merasa ketaktulusanku. Dari mereka, hanya sanggup
kujaring segelintir senyum. Selebihnya, tak merasa perlu mengindahkan. Aku belum
mampu membawa kelas berjalan bersama. Kurasa
bukan karna pengalaman, aku hanya cukup membawa hati legowo ke dalam kelas. Itu
saja.
Berbekal koreksi
diri, aku berpikir tak pantas memaksa mereka mengikuti hasratku, hasrat yang
belum lagi kukuh. Maka kuputuskan untuk mengajak mereka turut serta mengungkap
ingin, atau paling tidak membikin mereka nyaman oleh keberadaanku sebagai
pengganti lidah guru bahasa Inggrisnya.
Beragam
cara kurencanakan, aku menangkap sinyal baik untuk semua usahaku. Hingga, aku yang
kebetulan menjadi guru model diharuskan membikin metode pembelajaran yang menarik
untuk kemudian diamati oleh beberapa pengamat. Awalnya, aku merasa ini sedikit
membebani karna selain aku musti menyiapkan media yang menarik, pun aku harus
menetralkan suasana kelas karna akan kedatangan banyak “orang asing”. Tapi
berkat teman-teman dengan jurusan serumpun juga teman-temanku X ADM 2 yang
mulai dapat berbaur, aku mampu melewatinya. Dan kurasa, inilah puncak
kesuksesanku selama dua bulan bersama mereka. Yah, setidaknya menurutku. Momentum
itu kujadikan waktu untuk lebih dekat dengan mereka, lebih banyak mendengar dan
melihat. Egoku yang teramat besar sedikit terkikis.
Sampai
pada penghujung perjumpaan, aku sengaja memberi utuh kepada mereka serangkai pleasure time. Setelah mendapat
persetujuan kelas dan tentu saja guru pamong, ku putuskan untuk mengajak mereka
menonton. Menonton sebuah film yang lagunya telah kami coba nyanyikan bersama, “Frozen”. Bukan bermaksud tunjukkan
suara tak merdu, hanya ingin ajak mereka berlatih melafal.
Memandang
wajah mereka selama film diputar sungguh menggembirakan. Sesekali ternganga,
terbahak, hingga berteriak histeris. Di saat seperti ini, kurasa kegembiraan
bersama mereka.
Sudah
menjadi hal lumrah, bahwa ujung pertemuan adalah saat yang menyebalkan. Saat
menyesali dosa silam. Dosa yang hanya mampu dirasakan sesalnya di ujung.
Terbersit berkelumit asa yang tak mampu terwujud. Terbayang rindu saat tak lagi
dapat bersua.
Nyatanya
aku masih buta, tak mampu membaca bahwa sebetulnya mereka merasa kehilangan.
Selepas menonton, beberapa dari mereka beringsut mendekatiku, menyodor sebuah
bantal kepala hello kitty. Aku tak tahu pasti apa yang membuat mereka memberiku
bantal serupa itu. Aku yang keras kepala sama sekali tak layak disandingkan
dengan hello kitty. Kalau otakku tak salah mengingat, ini adalah boneka keduaku
selama aku hidup. Terima kasih. Sebetulnya, aku memang bukan perempuan dengan
gelimang boneka. Tak ada keinginan untuk itu.
Namun
satu yang yang kusadari, mereka ingin aku mengenangnya melalui perantara, tak
peduli apa bentuknya. Dan kini, aku membawanya turut ke “desa pengabdian”
menemani dinginku, nyenyakkan tidurku. Di akhir, aku hanya sanggup ucap maaf
dan terimakasih untuk semua yang tak mampu kulakukan dan segala yang telah
kalian berikan. Nurul, Nawang, Umi, monita, Nella, Nensy, Nina, Puput, Retno,
Nurlalila, Rosi, Safiara, the twins Sinde-Sindi, Titik, Yessica, Widiana, dan lainnya
yang tak mampu kusebut, sekali lagi ku ucap terima kasih yang tak terkira atas warna
yang telah kalian toreh. Cintailah apapun yang kalian kerjakan, niscaya akan kalian
peroleh apa yang menjadi ingin.
Masaran, 26/10/2014
21.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar