Oleh: Nurul Istiqomah
Sabtu sore, 8 Pebruari
2014. Di Bilik Literasi, seorang tamu istimewa menyambangi teman-teman
Residensi 14 hari SINAU. Tubuhnya tinggai besar, tidak ada yang mampu
menandinginya di bilik ini. Tidak juga seorang pun rombongan STAI Darussalam
Banyuwangi. Mereka datang membawa seikat misi, merampok ilmu Mas Bandung, sang maestro esai. Ah, lebih tepat aku sebut
mereka penjambret. Mereka hanya merampas yang tampak saja. Tidak mungkin setengah
hari mampu memboyong seisi rumah. Pun aku, di 14 hari yang telah lewat dan akan
datang mungkin aku hanya akan sanggup membawa pulang pintu dan jendelanya saja.
Akan kuganti pintu dan jendela rumahku agar ingatan tentang bilik selalu menghampiriku.
Suatu hari nanti, aku harus kembali untuk berobat atau sekedar melaporkan
ketololanku. Mas Bandung pasti mau mendengar. Harus.
Senja, hujan, rombongan dari Banyuwangi, dan Mas
Joss menerobos bergantian. Menyelinap masuk. Berebut menarik perhatianku. Mas
Joss memenangkan pertandingan ini. Joss Wibisono lengkapnya. Aku memang awam. Inilah
edisi perdana kupingku mendengar kemasyhurannya. Pun mataku, sekalipun belum
berkesempatan melirik namanya, lebih lebih keseluruhan jasadnya. Dia, lelaki
tinggi besar berbungkus kaos oblong dan celana jeans. Menyembunyikan 20 tahun
lebih usianya. Saat teman-teman memanggil Mas, terdengar masih layak di
telinga.
Kehadiran Mas Joss membungkus ruang ini menjadi satu
kesatuan. Kami saling bertautan. Cara ia bertutur, duduk, dan bersandar mengesankan
seorang cendekia. Nampak betul ia, di dunia, tak hanya mampir ngombe. Tubuhnya ia singgahkan untuk membaca, membaca
kehidupan. Terbukti oleh kelihaiannya mewartakan sejarah. Tak perlu banyak
pikir, mengalirkan begitu saja berjuta kata bertuah. Semua kisah ia taruh 30 cm
di depan matanya. Ia tinggal membacanya
untuk kemudian merangkak masuk ke telingaku.
Mas Joss adalah kerupuk dalam gado-gado. Membuat renyah
suasana. Laku gemulai menyertai setiap tuturnya. Sebuah kolaborasi apik dalam
kombinasi senja temaram. Tiba-tiba, Mas Bandung menyalakan lampu, gelap beringsut
mencari tempat berdiam. Tetap, cerah
bohlam tak mampu mengalahkan pesona Mas Joss. Rela kutahan kentut hingga
membuat besar perutku. Sekedar menghela nafas pun aku tak ikhlas. Takut gemanya
melemahkan suara sang bintang sore itu. Kali ini, harus kuakui, aku tak suka
hujan, gemericiknya mengganggu keterbatasanku menangkap suara.
Mas Joss memang mahir berkisah. Mulai dari warta
singkat seputar persma dan radio hingga gamelan yang mendunia. 5 jam bersama
Mas Joss tak terbilang rasanya. Ia membawaku pergi berselancar ke seluruh
samudera. Menembus dimensi waktu. Mampir ke Paris abad 18. Menyaksikan
bagaimana kolaborasi sempurna tandak
Mangkunegara dan gamelan Sunda menggemparkan bumi Eropa. Bahwa nenek moyang
kita hadir dalam peresmian menara Eiffel itu nyata. Dalam pameran bertajuk “Exposition Universelle”, mereka hadir
sebagai pendobrak keajegan tradisi, menawarkan modernitas. Mereka sungguh
membangkitkan hasrat berkesenian. Di saat wanita Eropa masih menutup rapat
tubuhnya, penari kita hadir dalam balutan jarit cantik terbuka dada. Ketika penari Eropa menyuguhkan gerakan tari
melawan gravitasi, pelaku tari Jawa dan Bali justru melakukan penghormatan pada
bumi, menyerahkan seluruh tubuh utuh. Luruh. Inilah yang dilihat oleh dunia
seni Eropa sebagai simbol masuknya
modernitas.
Di tahun setua itu, gamelan Jawa telah mampu terbang
ke Eropa untuk kemudian memengaruhi dunia musik barat. Ini sungguh jelas terasa
saat Mas Joss membunyikan video di power point yang ia bagikan kepada kami.
Betapa para komponis Eropa serupa Claude Debussy, Francis Poulence, Collin
Mcphee, Benjamin Britten, Constant Van de Wall, dan Paul Seelig meramu musik
dalam baluran tangga nada kromatis gamelan. Membuai lembut menghentak. Alunan
musik gamelan tampil sebagai unsur pewarna. Sebuah komposisi mutakhir.
Dalam bukunya Saling
Silang Indonesia-Eropa, Joss Wibisono mengatakan: “Sejarah Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipandang sebagai sesuatu
yang berdiri sendiri dan terlepas dari saling pengaruh-mempengaruhi dengan
sejarah dunia. Joss menuduh EYD adalah pemutus sejarah. Maka itu, di
blognya Joss tak pernah memakai ejaan itu dalam tiap guratan aksara. Tampaknya,
ia sedikit banyak terpengaruh pemikiran Bennedict Anderson yang sempat
membantai Orde Baru menyoal EYD. Berdua, mereka acap mengobrol di gubuk Om Ben
di pelosok Amerika Serikat. Mas Joss memang laur biasa. Di Bilik ini,
berulangkali aku mendapat kejutan. Aku dan temanku berbisik pelan, siapa
sebetulnya yang hebat? Mas Joss atau Mas Bandung? Ah, mereka berdua sama saja.
Orang hebat berkawan dengan orang hebat pula.
Sepanjang sore itu, mataku tak henti terbelalak.
Takjubku tak kunjung pergi. Terus merasuk seiring tabuhan gamelan yang kian
mendunia. Sebagaimana lelaki ini betul-betul membenci ejaan yang
diagung-agungkan, EYD, aku pun membenci perceraian malam itu. Sore itu, Mas
Joss membawaku turut serta dalam sebuah perjalanan sejarah. Sejarah yang tak
seharusnya terlupakan, yang tak selayaknya
terputus oleh karena ejaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar