Sabtu, 14 November 2015

Pesona: Antara Mas Joss dan Gamelan

Oleh: Nurul Istiqomah
Sabtu sore, 8 Pebruari 2014. Di Bilik Literasi, seorang tamu istimewa menyambangi teman-teman Residensi 14 hari SINAU. Tubuhnya tinggai besar, tidak ada yang mampu menandinginya di bilik ini. Tidak juga seorang pun rombongan STAI Darussalam Banyuwangi. Mereka datang membawa seikat misi, merampok ilmu Mas Bandung,  sang maestro esai. Ah, lebih tepat aku sebut mereka penjambret. Mereka hanya merampas yang tampak saja. Tidak mungkin setengah hari mampu memboyong seisi rumah. Pun aku, di 14 hari yang telah lewat dan akan datang mungkin aku hanya akan sanggup membawa pulang pintu dan jendelanya saja. Akan kuganti pintu dan jendela rumahku agar ingatan tentang bilik selalu menghampiriku. Suatu hari nanti, aku harus kembali untuk berobat atau sekedar melaporkan ketololanku. Mas Bandung pasti mau mendengar. Harus.
Senja, hujan, rombongan dari Banyuwangi, dan Mas Joss menerobos bergantian. Menyelinap masuk. Berebut menarik perhatianku. Mas Joss memenangkan pertandingan ini. Joss Wibisono lengkapnya. Aku memang awam. Inilah edisi perdana kupingku mendengar kemasyhurannya. Pun mataku, sekalipun belum berkesempatan melirik namanya, lebih lebih keseluruhan jasadnya. Dia, lelaki tinggi besar berbungkus kaos oblong dan celana jeans. Menyembunyikan 20 tahun lebih usianya. Saat teman-teman memanggil Mas, terdengar masih layak di telinga.
Kehadiran Mas Joss membungkus ruang ini menjadi satu kesatuan. Kami saling bertautan. Cara ia bertutur, duduk, dan bersandar mengesankan seorang cendekia. Nampak betul ia, di dunia, tak hanya mampir ngombe. Tubuhnya ia singgahkan untuk membaca, membaca kehidupan. Terbukti oleh kelihaiannya mewartakan sejarah. Tak perlu banyak pikir, mengalirkan begitu saja berjuta kata bertuah. Semua kisah ia taruh 30 cm di depan matanya. Ia tinggal  membacanya untuk kemudian merangkak masuk ke telingaku.
Mas Joss adalah kerupuk dalam gado-gado. Membuat renyah suasana. Laku gemulai menyertai setiap tuturnya. Sebuah kolaborasi apik dalam kombinasi senja temaram. Tiba-tiba, Mas Bandung menyalakan lampu, gelap beringsut mencari tempat  berdiam. Tetap, cerah bohlam tak mampu mengalahkan pesona Mas Joss. Rela kutahan kentut hingga membuat besar perutku. Sekedar menghela nafas pun aku tak ikhlas. Takut gemanya melemahkan suara sang bintang sore itu. Kali ini, harus kuakui, aku tak suka hujan, gemericiknya mengganggu keterbatasanku menangkap suara.
Mas Joss memang mahir berkisah. Mulai dari warta singkat seputar persma dan radio hingga gamelan yang mendunia. 5 jam bersama Mas Joss tak terbilang rasanya. Ia membawaku pergi berselancar ke seluruh samudera. Menembus dimensi waktu. Mampir ke Paris abad 18. Menyaksikan bagaimana kolaborasi sempurna tandak Mangkunegara dan gamelan Sunda menggemparkan bumi Eropa. Bahwa nenek moyang kita hadir dalam peresmian menara Eiffel itu nyata. Dalam pameran bertajuk “Exposition Universelle”, mereka hadir sebagai pendobrak keajegan tradisi, menawarkan modernitas. Mereka sungguh membangkitkan hasrat berkesenian. Di saat wanita Eropa masih menutup rapat tubuhnya, penari kita hadir dalam balutan jarit cantik terbuka dada.  Ketika penari Eropa menyuguhkan gerakan tari melawan gravitasi, pelaku tari Jawa dan Bali justru melakukan penghormatan pada bumi, menyerahkan seluruh tubuh utuh. Luruh. Inilah yang dilihat oleh dunia seni Eropa sebagai simbol masuknya  modernitas.
Di tahun setua itu, gamelan Jawa telah mampu terbang ke Eropa untuk kemudian memengaruhi dunia musik barat. Ini sungguh jelas terasa saat Mas Joss membunyikan video di power point yang ia bagikan kepada kami. Betapa para komponis Eropa serupa Claude Debussy, Francis Poulence, Collin Mcphee, Benjamin Britten, Constant Van de Wall, dan Paul Seelig meramu musik dalam baluran tangga nada kromatis gamelan. Membuai lembut menghentak. Alunan musik gamelan tampil sebagai unsur pewarna. Sebuah komposisi mutakhir.
Dalam bukunya Saling Silang Indonesia-Eropa, Joss Wibisono mengatakan: “Sejarah Indonesia sesungguhnya tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan terlepas dari saling pengaruh-mempengaruhi dengan sejarah dunia. Joss menuduh EYD adalah pemutus sejarah. Maka itu, di blognya Joss tak pernah memakai ejaan itu dalam tiap guratan aksara. Tampaknya, ia sedikit banyak terpengaruh pemikiran Bennedict Anderson yang sempat membantai Orde Baru menyoal EYD. Berdua, mereka acap mengobrol di gubuk Om Ben di pelosok Amerika Serikat. Mas Joss memang laur biasa. Di Bilik ini, berulangkali aku mendapat kejutan. Aku dan temanku berbisik pelan, siapa sebetulnya yang hebat? Mas Joss atau Mas Bandung? Ah, mereka berdua sama saja. Orang hebat berkawan dengan orang hebat pula.

Sepanjang sore itu, mataku tak henti terbelalak. Takjubku tak kunjung pergi. Terus merasuk seiring tabuhan gamelan yang kian mendunia. Sebagaimana lelaki ini betul-betul membenci ejaan yang diagung-agungkan, EYD, aku pun membenci perceraian malam itu. Sore itu, Mas Joss membawaku turut serta dalam sebuah perjalanan sejarah. Sejarah yang tak seharusnya terlupakan, yang tak selayaknya  terputus oleh karena ejaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar