Sabtu, 14 November 2015

RT Preman

Oleh: Nurul Istiqomah
Memiliki rumah adalah cita-cita, apalagi bagi yang tidak beruntung mewarisinya dari orangtua. Ini akan bertambah pelik saat pengimpi rumah itu tinggal di perkotaan, yang  hanya menyisakan sawah dan tanah, yang memiliki posisi lebih rendah. Sisanya adalah tanah bekas, tempat pembuangan sampah. Untuk mendirikan bangunan di atasnya, pastilah butuh bertruk-truk tanah untuk menguruk. Itulah yang terjadi di daerah saya, yang kemungkinan juga terjadi juga di semua kota besar.
Prosesi pengurukan tanah menjadi momok bagi masyarakat. Bagaimana tidak, pada  saat harga material bangunan dan segala tetek-bengeknya tengah meroket, mereka harus dipusingkan lagi untuk menguruk tanah demi menghindari risiko banjir. Mendapatkan tanah penimbun, di daerah saya tentu sukar sekali. Yang terkena imbasnya adalah nilai barang. Taktik pasar memegang kendali. Ditambah lagi, mereka harus membayar upeti bagi geng-geng yang mereka lewati saat menggiring bertruk-truk tanah menuju lokasi. Artinya, urusan memenuhi kebutuhan papan memang pelik.
Birokrasi tingkat bawah bermain dalam hal ini. Pungutan bagi truk-truk pengusung tanah urukan ini dilakukan dalam skala rukun tetangga (RT). Para ketua RT inilah yang menjadi tersangkanya. Mereka berdalih uang ini akan kembali kepada masyarakat juga, untuk pembangunan.  Namun, yang disesalkan adalah penetapan angka rupiahnya berdasarkan kalkulasi pribadi. Maka, pungutan ini bisa dikatakan liar dikarenakan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam urun rembug. Lebih-lebih, besar pungutan bergantung pada kelihaian si empu tanah bernego dengan ketua RT.
Kasus yang terjadi di daerah saya, misalnya, seorang tetangga ingin membangun rumah dan ia harus menguruk tanah jeglong-nya dengan 24 truk tanah. Truk-truk pengangkut melalui kawasan 3 RT. Artinya, ia harus membayar upeti untuk 3 orang. Masing-masing kepala mematok harga Rp 100.000 per truk. Jika kita melakukan kalkulasi, satu truk tanah dihargai Rp 600.000 plus pungutan tiga RT Rp 300.000. Maka, untuk mengangkut satu truk tanah uruk akan menghabiskan biaya Rp 900.000. Kesimpulannya, tetangga saya akan menghabiskan dana sebesar Rp 21.600.000. Sebuah harga yang cukup fantastik untuk prosesi pengurukan.
Dana sebanyak Rp 2.400.000 untuk satu RT dan masih ditambah lagi dengan izin membangun rumah dirasa terlalu masif untuk kas sebuah RT. Padahal, saat ini, desa saya sedang gencar melakukan pembangunan. Bisa kita bayangkan, berapa banyak uang kas yang terkumpul untuk satu macam aktivitas saja. Jika yang didirikan adalah kompleks kos, pertokoan, atau bangunan apapun yang berorientasi pada laba, mungkin tak apa. Mereka tak akan terlalu ribet memikirkan seberapa dalam kocek musti dirogoh sebagai persuguhan awal. Berbeda jika mereka membangun rumah.
Kasus di daerahku ini membuahkan celetukan menjuluki para ketua RT sebagai “RT preman”. Lalu, apa bedanya RT-RT macam itu dengan preman pasar yang menarik pungutan semaunya. Kini, petinggi-petinggi kelas rendahan pun telah berani bermain-main dengan uang. Dengan dalih apapun, memasok pungutan dengan nominal yang tak bersahabat di kantong masyarakat kiranya kurang bijak. Jadi, membangun rumah pada masa sekarang, tidak lagi menyenangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar