Oleh: Nurul Istiqomah
Memiliki rumah adalah cita-cita, apalagi bagi yang
tidak beruntung mewarisinya dari orangtua. Ini akan bertambah pelik saat
pengimpi rumah itu tinggal di perkotaan, yang
hanya menyisakan sawah dan tanah, yang memiliki posisi lebih rendah.
Sisanya adalah tanah bekas, tempat pembuangan sampah. Untuk mendirikan bangunan
di atasnya, pastilah butuh bertruk-truk tanah untuk menguruk. Itulah yang
terjadi di daerah saya, yang kemungkinan juga terjadi juga di semua kota besar.
Prosesi pengurukan tanah menjadi momok bagi
masyarakat. Bagaimana tidak, pada saat
harga material bangunan dan segala tetek-bengeknya
tengah meroket, mereka harus dipusingkan lagi untuk menguruk tanah demi
menghindari risiko banjir. Mendapatkan tanah penimbun, di daerah saya tentu sukar
sekali. Yang terkena imbasnya adalah nilai barang. Taktik pasar memegang
kendali. Ditambah lagi, mereka harus membayar upeti bagi geng-geng yang mereka lewati saat menggiring bertruk-truk
tanah menuju lokasi. Artinya, urusan memenuhi kebutuhan papan memang pelik.
Birokrasi tingkat bawah bermain dalam hal ini.
Pungutan bagi truk-truk pengusung tanah urukan ini dilakukan dalam skala rukun
tetangga (RT). Para ketua RT inilah yang menjadi tersangkanya. Mereka berdalih
uang ini akan kembali kepada masyarakat juga, untuk pembangunan. Namun, yang disesalkan adalah penetapan angka
rupiahnya berdasarkan kalkulasi pribadi. Maka, pungutan ini bisa dikatakan liar
dikarenakan tidak mengikutsertakan masyarakat dalam urun rembug. Lebih-lebih,
besar pungutan bergantung pada kelihaian si empu tanah bernego dengan ketua RT.
Kasus yang terjadi di daerah saya, misalnya, seorang
tetangga ingin membangun rumah dan ia harus menguruk tanah jeglong-nya dengan 24 truk tanah. Truk-truk pengangkut melalui
kawasan 3 RT. Artinya, ia harus membayar upeti untuk 3 orang. Masing-masing kepala mematok harga Rp 100.000 per truk.
Jika kita melakukan kalkulasi, satu truk tanah dihargai Rp 600.000 plus
pungutan tiga RT Rp 300.000. Maka, untuk mengangkut satu truk tanah uruk akan
menghabiskan biaya Rp 900.000. Kesimpulannya, tetangga saya akan menghabiskan
dana sebesar Rp 21.600.000. Sebuah harga yang cukup fantastik untuk prosesi
pengurukan.
Dana sebanyak Rp 2.400.000 untuk satu RT dan masih
ditambah lagi dengan izin membangun rumah dirasa terlalu masif untuk kas sebuah
RT. Padahal, saat ini, desa saya sedang gencar melakukan pembangunan. Bisa kita
bayangkan, berapa banyak uang kas yang terkumpul untuk satu macam aktivitas
saja. Jika yang didirikan adalah kompleks kos, pertokoan, atau bangunan apapun
yang berorientasi pada laba, mungkin tak apa. Mereka tak akan terlalu ribet memikirkan
seberapa dalam kocek musti dirogoh sebagai persuguhan awal. Berbeda jika mereka
membangun rumah.
Kasus di daerahku ini membuahkan celetukan menjuluki para ketua RT
sebagai “RT preman”. Lalu, apa bedanya RT-RT macam itu dengan preman pasar yang
menarik pungutan semaunya. Kini, petinggi-petinggi kelas rendahan pun telah
berani bermain-main dengan uang. Dengan dalih apapun, memasok pungutan dengan nominal
yang tak bersahabat di kantong masyarakat kiranya kurang bijak. Jadi, membangun
rumah pada masa sekarang, tidak lagi menyenangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar