Sabtu, 14 November 2015

DPR Bandel

Oleh: Nurul Istiqomah
Bandel, istilah yang umum disandangkan untuk anak-anak. Bandel selalu dikonotasikan pada hal-hal negatif. Sebagai simbol perlawanan, penolakan atas nasehat dan perintah. Si bandel sering disebut kepala batu, pembangkang. Lalu, bagaimana jika bandel disandangkan pada orang dewasa? Dewasa yang harusnya memberi nasehat justru melanggarnya. Mereka seolah ingin lepas dari segala bentuk aturan. Padahal, peraturan, mereka sendiri yang buat. Mengekang tapi tak mau dikekang.
Koran Tempo, Rabu, 12 Pebruari 2014 memunculkan sebuah potret ruang sidang paripurna pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Perdagangan. Suasana yang terekam adalah kelengangan. Banyak kursi kosong tak berpenghuni. Tak tahu apakah mereka datang terlambat, atau malah dengan sengaja bolos. Inilah yang terjadi pada wakil kita di kursi dewan. Selalu saja, mangkir dari tugas. Seolah mereka tak punya malu meski berulang kali foto-foto serupa ini terpampang di berbagai media massa.
Mereka dibayar untuk berpikir. Berpikir untuk kita, mendengar dan menimbang ingin kita. Begitulah seharusnya. Bukannya berbuat aneh-aneh yang membuat dongkol rakyat. Mulai dari tidur saat sidang, telat, bolos, beradu mulut, hingga saling timpuk. Terkadang malu sendiri menyaksikan tingkah-tingkah konyol semacam itu. Mereka sang pembuat aturan, mestinya lebih tahu bagaimana bertindak sepatutnya. Bagaimana kita bisa mengamanatkan harapan dan tujuan di pundaknya jika mereka selalu berulah? Kerja tak maksimal tapi gaji minta besar, itu selalu dikeluhkan rakyat. Bahkan, banyak diantara mereka yang belum puas dengan rupiah yang ia dapat. Terus mencari-cari, tak peduli yang ia lewati adalah jalan haram. Rakus betul wakil kita ini.
“Wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu sendu.” Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan  Iwan Fals, musisi dengan lagu-lagu keras melawan pemerintah. Ia sengaja menulis satu lirik khusus buat DPR badung ini. Ia pernah dicekal karena menyuarakan kebenaran. Di tengah kebungkaman, ia berani muncul sebagai orang tua, penasehat. Sementara yang lain, menganggap ulah para petinggi Senayan ini sebuah kelumrahan. Bahwa orang tua berbuat salah itu karena khilaf, tidak perlu diingatkan. Ini yang kemudian membuat geram Iwan Fals hingga mencetus lagu-lagu sinis. Alasannya satu, ia ingin jadi alarm bagi para pejabat, pejabat yang bandel.
Marilah sejenak pergi ke situasi lembaga pendidikan, dimana kita temui anak-anak yang belajar bersama aturan-aturan. Mereka tidur di kelas, telat, dan bolos sama dengan melanggar aturan. Mereka biasa disebut bocah bandel. Bocah bandel mendapat hukuman. Sehabis dihukum, biasanya mereka merajuk. Mogok sekolah, akhirnya bolos. Orang tua lah yang berhak mengingatkan. Meluruskan kembali dan mengingatkan pada aturan-aturan itu.
Para petinggi DPR pun melakukan hal serupa. Melanggar, dihukum, kemudian merajuk. Maka layaklah kita samakan mereka dengan anak-anak. Melanggar aturan sudah jadi hal lumrah. Tidak patut mengingatkan orang dewasa, begitu yang bisa aku tangkap dari mereka. Dulu, almarhum Gus Dur menyebut ulah anggota DPR mirip ulah siswa Taman Kanak-kanak. Mereka marah waktu itu. Menurutku, tak perlu marah untuk menjawab tudingan itu, cukuplah dengan memberi bukti. Kalau memang tak sanggup menyangkal, terima saja. Berbaiklah sangka, pandanglah itu sebagai pengingat. Peringatan orang tua kepada anaknya yang bengal dan keras kepala, tak mau mendengar nasehat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar