Oleh: Nurul Istiqomah
Bandel, istilah yang umum disandangkan untuk
anak-anak. Bandel selalu dikonotasikan pada hal-hal negatif. Sebagai simbol perlawanan,
penolakan atas nasehat dan perintah. Si bandel sering disebut kepala batu,
pembangkang. Lalu, bagaimana jika bandel disandangkan pada orang dewasa? Dewasa
yang harusnya memberi nasehat justru melanggarnya. Mereka seolah ingin lepas
dari segala bentuk aturan. Padahal, peraturan, mereka sendiri yang buat. Mengekang
tapi tak mau dikekang.
Koran Tempo, Rabu, 12 Pebruari 2014 memunculkan
sebuah potret ruang sidang paripurna pengambilan keputusan terhadap Rancangan
Undang-Undang Perdagangan. Suasana yang terekam adalah kelengangan. Banyak
kursi kosong tak berpenghuni. Tak tahu apakah mereka datang terlambat, atau
malah dengan sengaja bolos. Inilah yang terjadi pada wakil kita di kursi dewan.
Selalu saja, mangkir dari tugas. Seolah mereka tak punya malu meski berulang kali
foto-foto serupa ini terpampang di berbagai media massa.
Mereka dibayar untuk berpikir. Berpikir untuk kita,
mendengar dan menimbang ingin kita. Begitulah seharusnya. Bukannya berbuat
aneh-aneh yang membuat dongkol rakyat. Mulai dari tidur saat sidang, telat,
bolos, beradu mulut, hingga saling timpuk. Terkadang malu sendiri menyaksikan
tingkah-tingkah konyol semacam itu. Mereka sang pembuat aturan, mestinya lebih
tahu bagaimana bertindak sepatutnya. Bagaimana kita bisa mengamanatkan harapan
dan tujuan di pundaknya jika mereka selalu berulah? Kerja tak maksimal tapi
gaji minta besar, itu selalu dikeluhkan rakyat. Bahkan, banyak diantara mereka
yang belum puas dengan rupiah yang ia dapat. Terus mencari-cari, tak peduli
yang ia lewati adalah jalan haram. Rakus betul wakil kita ini.
“Wakil rakyat
seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat. Wakil rakyat bukan
paduan suara, hanya tahu nyanyian lagu sendu.” Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan Iwan
Fals, musisi dengan lagu-lagu keras melawan pemerintah. Ia sengaja menulis satu
lirik khusus buat DPR badung ini. Ia pernah dicekal karena menyuarakan
kebenaran. Di tengah kebungkaman, ia berani muncul sebagai orang tua,
penasehat. Sementara yang lain, menganggap ulah para petinggi Senayan ini
sebuah kelumrahan. Bahwa orang tua berbuat salah itu karena khilaf, tidak perlu
diingatkan. Ini yang kemudian membuat geram Iwan Fals hingga mencetus lagu-lagu
sinis. Alasannya satu, ia ingin jadi alarm bagi para pejabat, pejabat yang
bandel.
Marilah sejenak pergi ke situasi lembaga pendidikan,
dimana kita temui anak-anak yang belajar bersama aturan-aturan. Mereka tidur di
kelas, telat, dan bolos sama dengan melanggar aturan. Mereka biasa disebut
bocah bandel. Bocah bandel mendapat hukuman. Sehabis dihukum, biasanya mereka
merajuk. Mogok sekolah, akhirnya bolos. Orang tua lah yang berhak mengingatkan.
Meluruskan kembali dan mengingatkan pada aturan-aturan itu.
Para petinggi DPR pun melakukan hal serupa.
Melanggar, dihukum, kemudian merajuk. Maka layaklah kita samakan mereka dengan
anak-anak. Melanggar aturan sudah jadi hal lumrah. Tidak patut mengingatkan
orang dewasa, begitu yang bisa aku tangkap dari mereka. Dulu, almarhum Gus Dur
menyebut ulah anggota DPR mirip ulah siswa Taman Kanak-kanak. Mereka marah
waktu itu. Menurutku, tak perlu marah untuk menjawab tudingan itu, cukuplah
dengan memberi bukti. Kalau memang tak sanggup menyangkal, terima saja.
Berbaiklah sangka, pandanglah itu sebagai pengingat. Peringatan orang tua
kepada anaknya yang bengal dan keras kepala, tak mau mendengar nasehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar