Oleh: Nurul Istiqomah
Selayak menatap halus kulit kedondong yang penuh
duri di dalam, atau buah durian berduri namun legit saat dibelah. Begitu pula
kehidupan. Rupa luar tak selalu menggambarkan bentuk isi. Memandang permukaan,
bergerak pada penetapan simbol. Manusia suka bermain tanda. Lewat kata mufakat,
simbol hadir sebagai objek representasi sosial. Simbol memungkinkan manusia
menghadapi dunia materiil dan dunia sosial dengan membiarkan mereka menyatakan,
menggolongkan, dan mengingat objek yang dijumpai.
Tanda-menandai melahirkan kaum tersisih. Kaum yang
mendapat label negatif oleh karena konstruksi sosial. Pelacur adalah salah satu
golongan manusia kurang beruntung itu. Tak jarang pengklaiman atas diri pelacur
sebagai manusia sampah masyarakat, manusia lembah hitam, manusia perusak moral,
dan manusia penuh dosa terlontar dari mulut-mulut manusia yang merasa diri
lebih suci. Kaum pinggiran identik dengan wong
cilik, tanpa daya, dan bisa ditendang kesana-kemari tanpa ada yang membela.
Ah! Selalu menarik berbincang perihal macam ini.
Nur Syam lewat bukunya, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental (LKiS, 2011) lantang
berseru, “pelacur juga manusia!” Sebagaimana manusia lain membutuhkan dunia
sakral-kerohanian, pun mereka sama. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang
tidak memiliki kebutuhan berketuhanan. Kendati demikian, pelbagai image buruk serentak dilekatkan pada
tubuh seorang pelacur. Mereka (para penghakim) memandang seakan tak ada lagi
titik putih di hidupnya (pelacur). Beranggapan tak ada lagi sisi religius dalam
diri.
Pelacuran
Pilihan menjadi pelacur sebenarnya ditentukan oleh
beberapa faktor, salah satunya tekanan ekonomi. Menjadi pelacur bisa disebabkan
oleh struktur sosial yang timpang. Berdasarkan analisa Marxian, pendapatan yang
terlalu tak berimbang antara si kaya dan si miskin atau antara majikan dan
pekerja melahirkan sebuah tuntutan. Ketika beban tak memperoleh jalan keluar,
maka menjadi pelacur bisa jadi jalan pintas. Sebuah pekerjaan yang tak menuntut
keterampilan khusus namun menjanjikan upah memadai. Setiap tempat pelacuran
atau lokalisasi akan menarik usaha yang lain turut beradu nasib, seperti tukang
becak, pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan kegiatan ekonomi lainnya.
Hampir tak ada Negara yang betul-betul bersih dari
pelacuran. Pelacuran telah menjelma institusi yang selalu dibutuhkan. Pelacuran
akan terus berkembang dan lestari selama masih memiliki penikmat. Ada penjual
maka ada pembeli. Sebagaimana seksualitas yang lahir bersama manusia hadir di
dunia, pelacuran boleh jadi akan lenyap juga bersamaan berakhirnya kehidupan
dunia.
Agama Pelacur;
Perspektif Dramaturgi Transendental
Nur Syam dengan memakai gagasan Erving Goffman coba
menilik sisi religiusitas para pelacur dengan teori Dramaturgi sebagai pisau
analisa. Dalam teori dramaturgi terdapat konsep front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan front personal.
Setting mengacu pada pemandangan
fisik yang biasanya harus ada saat di panggung, sedangkan front personal adalah atribut berciri, meliputi penampilan dan
gaya. Back stage atau panggung
belakang merupakan penyembunyian fakta yang sesungguhnya dari sang aktor. Ruang
ganti dan ruang pemain selalu disterilkan dari penonton. Seorang aktor akan
melakukan kerja yang memang harus ia lakukan, bukan berlaku berdasarkan mau.
Di balik seabreg pandangan minir tehadap pelacur, muncul
sebuah temuan bahwa mereka (pelacur) memiliki ruang agama yang berciri khas di
belakang panggung. Bahwa mereka sama
dengan manusia lainnya yang memiliki “rasa” beragama, berpengharapan terhadap
Tuhan tentang hidup yang layak sebagai manusia. Ritual shalat, meski tak ajeg, masih dilakukan. Pun zakat dan
sedekah, tak pernah ditinggal. Di beberapa lokalisasi, pengajian menjadi agenda
rutin. Lebih-lebih di bulan Ramadhan, mereka bebas dari kerja dan kembali ke
kampung untuk turut melakukan ibadah sebagaimana yang lain. Mereka menyebut
bulan Ramadhan adalah bulan penebusan dosa.
Agama bagi para pelacur, tak layak dilihat hanya
dari simbol. Penampilan yang terkesan glamor dan erotis tak lantas berbanding
lurus dengan kejiwaan dan kerohaniannya. Mereka senantiasa berharap dan berdoa
untuk dapat lepas dari belenggu dunianya itu. Sehingga, tidak mengherankan jika
sajadah, mukena, kitab suci, dan lantunan ayat suci berkumandang berdampingan
dengan aktivitasnya sebagai seorang “pelayan”. Dengan segala tetek-bengek liku laku hidupnya, mereka
memiliki dunia di belakang panggung yang hening, sunyi, dan tersendiri. Di
situlah pelacur berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dengan dunia sepinya,
juga dengan Tuhannya.
Pada akhirnya, menjadi pelacur bukanlah cita-cita
setiap insan, termasuk bagi pelacur itu sendiri. Pelbagai faktor serupa tekanan
ekonomi, sosial, dan rumah tangga menjadi dasar mereka memilih jalan macam ini.
Dibalik klaim negatif yang dituduhkan masyarakat kepada pelacur, mereka pada
hakikatnya tak berbeda dengan manusia lain. Di samping pemenuhan kebutuhan
fisik, kebutuhan sosial dan kerohanian juga mendapat porsi khusus. Rasa
ketuhanan terwujud dalam pelbagai pengakuan dan tindakan meliputi keimanan,
ritual, doa, dan harapan. Satu prinsip yang terus mereka pegang, bahwa Tuhan
Maha Tahu dan Maha Adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar