Sabtu, 14 November 2015

Ketuhanan dan Stigmatisasi Pelacur

Oleh: Nurul Istiqomah

Selayak menatap halus kulit kedondong yang penuh duri di dalam, atau buah durian berduri namun legit saat dibelah. Begitu pula kehidupan. Rupa luar tak selalu menggambarkan bentuk isi. Memandang permukaan, bergerak pada penetapan simbol. Manusia suka bermain tanda. Lewat kata mufakat, simbol hadir sebagai objek representasi sosial. Simbol memungkinkan manusia menghadapi dunia materiil dan dunia sosial dengan membiarkan mereka menyatakan, menggolongkan, dan mengingat objek yang dijumpai.
Tanda-menandai melahirkan kaum tersisih. Kaum yang mendapat label negatif oleh karena konstruksi sosial. Pelacur adalah salah satu golongan manusia kurang beruntung itu. Tak jarang pengklaiman atas diri pelacur sebagai manusia sampah masyarakat, manusia lembah hitam, manusia perusak moral, dan manusia penuh dosa terlontar dari mulut-mulut manusia yang merasa diri lebih suci. Kaum pinggiran identik dengan wong cilik, tanpa daya, dan bisa ditendang kesana-kemari tanpa ada yang membela. Ah! Selalu menarik berbincang perihal macam ini.
Nur Syam lewat bukunya, Agama Pelacur; Dramaturgi Transendental (LKiS, 2011) lantang berseru, “pelacur juga manusia!” Sebagaimana manusia lain membutuhkan dunia sakral-kerohanian, pun mereka sama. Di dunia ini tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kebutuhan berketuhanan. Kendati demikian, pelbagai image buruk serentak dilekatkan pada tubuh seorang pelacur. Mereka (para penghakim) memandang seakan tak ada lagi titik putih di hidupnya (pelacur). Beranggapan tak ada lagi sisi religius dalam diri.
Pelacuran
Pilihan menjadi pelacur sebenarnya ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya tekanan ekonomi. Menjadi pelacur bisa disebabkan oleh struktur sosial yang timpang. Berdasarkan analisa Marxian, pendapatan yang terlalu tak berimbang antara si kaya dan si miskin atau antara majikan dan pekerja melahirkan sebuah tuntutan. Ketika beban tak memperoleh jalan keluar, maka menjadi pelacur bisa jadi jalan pintas. Sebuah pekerjaan yang tak menuntut keterampilan khusus namun menjanjikan upah memadai. Setiap tempat pelacuran atau lokalisasi akan menarik usaha yang lain turut beradu nasib, seperti tukang becak, pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan kegiatan ekonomi lainnya.
Hampir tak ada Negara yang betul-betul bersih dari pelacuran. Pelacuran telah menjelma institusi yang selalu dibutuhkan. Pelacuran akan terus berkembang dan lestari selama masih memiliki penikmat. Ada penjual maka ada pembeli. Sebagaimana seksualitas yang lahir bersama manusia hadir di dunia, pelacuran boleh jadi akan lenyap juga bersamaan berakhirnya kehidupan dunia.
Agama Pelacur; Perspektif Dramaturgi Transendental
Nur Syam dengan memakai gagasan Erving Goffman coba menilik sisi religiusitas para pelacur dengan teori Dramaturgi sebagai pisau analisa. Dalam teori dramaturgi terdapat konsep front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Dalam front stage, Goffman membedakan antara setting dan front personal. Setting mengacu pada pemandangan fisik yang biasanya harus ada saat di panggung, sedangkan front personal adalah atribut berciri, meliputi penampilan dan gaya. Back stage atau panggung belakang merupakan penyembunyian fakta yang sesungguhnya dari sang aktor. Ruang ganti dan ruang pemain selalu disterilkan dari penonton. Seorang aktor akan melakukan kerja yang memang harus ia lakukan, bukan berlaku berdasarkan mau.
Di balik seabreg pandangan minir tehadap pelacur, muncul sebuah temuan bahwa mereka (pelacur) memiliki ruang agama yang berciri khas di belakang panggung. Bahwa mereka sama dengan manusia lainnya yang memiliki “rasa” beragama, berpengharapan terhadap Tuhan tentang hidup yang layak sebagai manusia. Ritual shalat, meski tak ajeg, masih dilakukan. Pun zakat dan sedekah, tak pernah ditinggal. Di beberapa lokalisasi, pengajian menjadi agenda rutin. Lebih-lebih di bulan Ramadhan, mereka bebas dari kerja dan kembali ke kampung untuk turut melakukan ibadah sebagaimana yang lain. Mereka menyebut bulan Ramadhan adalah bulan penebusan dosa.
Agama bagi para pelacur, tak layak dilihat hanya dari simbol. Penampilan yang terkesan glamor dan erotis tak lantas berbanding lurus dengan kejiwaan dan kerohaniannya. Mereka senantiasa berharap dan berdoa untuk dapat lepas dari belenggu dunianya itu. Sehingga, tidak mengherankan jika sajadah, mukena, kitab suci, dan lantunan ayat suci berkumandang berdampingan dengan aktivitasnya sebagai seorang “pelayan”. Dengan segala tetek-bengek liku laku hidupnya, mereka memiliki dunia di belakang panggung yang hening, sunyi, dan tersendiri. Di situlah pelacur berkomunikasi dengan dirinya sendiri, dengan dunia sepinya, juga dengan Tuhannya.

Pada akhirnya, menjadi pelacur bukanlah cita-cita setiap insan, termasuk bagi pelacur itu sendiri. Pelbagai faktor serupa tekanan ekonomi, sosial, dan rumah tangga menjadi dasar mereka memilih jalan macam ini. Dibalik klaim negatif yang dituduhkan masyarakat kepada pelacur, mereka pada hakikatnya tak berbeda dengan manusia lain. Di samping pemenuhan kebutuhan fisik, kebutuhan sosial dan kerohanian juga mendapat porsi khusus. Rasa ketuhanan terwujud dalam pelbagai pengakuan dan tindakan meliputi keimanan, ritual, doa, dan harapan. Satu prinsip yang terus mereka pegang, bahwa Tuhan Maha Tahu dan Maha Adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar