Sabtu, 14 November 2015

Rendra Lewat Bibir Edi Haryono

Oleh: Nurul Istiqomah
Lagi-lagi aku kalah. Aku terpontang-panting mengikuti obrolan semalam. Bi bilik ini, terus-menerus aku dimanjakan kejutan-kejutan, selain makan dan tidur tak berbayar. Aku semakin menikmati hari-hariku. Ada rangsangan untuk terus berliterasi. Untuk aku yang masih hijau, metode macam ini sangat bisa aku terima. Satu yang aku benci adalah saat aku mesti menulis perkara yang tak banyak aku mengerti. Aku menghadapi beragam kebingungan, kekacauan menuangkan ide. Kepalaku seakan kosong tak berisi. Tak ada memori-memori yang bisa ku panggil. Selalu saja aku mulai dengan kekalahan. Bermula sejak obrolan diusung.
Seorang tamu dari Jakarta bernarasi panjang perihal Rendra. Ia kentara begitu mengagumi sosok Rendra. Fasih ia berkisah Rendra. Dari setiap tuturnya, tampak banyak melewati harinya bersama sang pujangga. Lelaki itu Edi Haryono. Aku yang awam ini baru saja berjumpa manusia hebat. Malam itu, aku untuk pertama kalinya berkenalan dengan namanya, sekaligus wujudnya. Ia datang menyambangi kami dan Mas Bandung. Datang bersamanya seorang lelaki muda yang sejak awal hingga akhir tak sejenak pun membuka mata. Berulang beralih posisi demi meneruskan mimpi. Melipat tubuhnya sedemikian rupa. Terbayang olehku bagaimana rasa tubuhnya saat bangun nanti. Kesemutan pastinya, pikirku. Sepertinya ia betul lelah, begitu kata Edi.
Aku jatuh bangun memungut kata-kata yang tercecer. Menyatukan abjad demi abjad agar menjadi utuh. Susah payah aku tautkan ceceran itu demi tercipta koneksi. Aku sadar ingatanku lemah. Tanpa ku lakukan ini, mustahil aku mampu mewartakan kembali. Mas Bandung mengajariku perihal memotret waktu tanpa kilatan kamera. Ialah dengan menulis. Hari ini Mas Bandung menantang kami  menggarap dua esai. Ia pun lakukan itu.
Edi memulai obrolan dengan sekedar beramah-tamah. Berkisah masa kecilnya, mengabarkan semangat heroiknya. Bahwa ia terlahir dari keluarga sastrawan. Ayahnya seorang PNS paling jujur di dunia, begitu katanya. Ibunya menurunkan jiwa sastra padanya. Digenggaman wanita itu, menurut Edi, tak pernah lepas sebuah Al-qur’an kecil berterjemah. Bentuknya lusuh, banyak coretan di dalamnya. Ibunya memang gemar menandai bagian-bagian penting.
S. Ratmana adalah paman Edi. Seorang pujangga era Taufik Ismail. Dari pamannya ini ia warisi kehendak bersastra selain satu lemari penuh majalah sastra. Hasratnya begitu kuat untuk bersastra dan berliterasi. Edi muda, setiap hari, menyempatkan diri membaca Koran kompas meski harus meminjam dari tetangga. Di tembok kamarnya ia pasang sebuah tulisan besar berbunyi “Oposisi itu sumpek. Oposisi itu onani.” Tampak betul jiwa muda yang bergelora, yang mangkel akan kewenangan pemerintah saat itu. Hobinya mengkliping dan ketertarikannya pada dunia sastra sempat menuai konflik dengan ayah. Menurut ayahnya, perkara sastra adalah wagu. Tapi Edi muda senantiasa membawa pemikiran Rendra dalam kehidupannya. Rendra berucap: “Masa depan kita (seniman teater) tidak ada, masa depan itu kita tentukan sendiri.” Sejak itu Edi semakin berkeyakinan bahwa hidup sebagai seniman tak akan selalu sengsara. Satu lagi ujaran Rendra yang selamanya erat ia pegang, anda akan berhasil apabila mengikuti minat anda. Begitulah kira-kira.
Rendra di mata Edi adalah suri tauladan. Bahwa bagi seorang penyair, perkara membikin puisi tidak melulu kata-kata indah. Rendra memungut begitu saja kata yang berserak. Menurutnya, karya harus mengandung akal sehat agar dapat dikomunikasikan. Dua hukum wajib lainnya adalah hukum masyarakat dan hukum alam. Penulis, menurut Edi musti mampu mengolah akal, batin, dan pikiran. Pun mereka wajib memiliki naluri komunal, yakni selalu datang pada rangsangan.
Edi juga  berkisah peristiwa 8 April 1978 di teater terbuka Taman Ismail Marjuki. Bersemangat ia menggambarkan bagaimana aksi-aksi heroik Rendra saat itu. Sebelum pagelaran dimulai, Rendra mendapat berbagai teror mengancam keluarga. Sama sekali Rendra tak gentar. Sajak pertama berhasil dengan indah ia lantunkan, puisi berjudul Pertemuan Mahasiswa. Puisi ini, menurut Edi menahan gerak para pengulah hingga ia lupa akan tugasnya menghancurkan pertunjukan. Di perjalanan sajak kedua dibacakan, suara  bom tiba-tiba menggelegar, memercikkan serpihan-serpihan.
Situasi kisruh. Semua berlarian. Rendra tetap tenang. Segera ia cek mikrofon. Beruntung, mikrofon terselamatkan. Lantang ia berteriak: “Saudara-saudara, saya tidak akan mundur. Apakah saudara-saudara akan mundur?” Serentak mereka menolak, tidak luput Muhammad hatta yang turut hadir disitu. Spontanitas Rendra benar-benar terlatih. Di saat genting sekalipun ia sanggup mengambil  keputusan mencengangkan. Edi bercerita bahwa Rendra kecil telah dibiasakan tradisi “nembang spontan” saat berkumpul bersama keluarga. Keluarga turut mencetak jiwa gigih Rendra.
Rendra adalah sastrawan yang pantang berbuat epigon. Tak pernah ia menduplikasi karyanya sendiri, lebih-lebih milik orang lain. Ia berprinsip harus melupakan jejak yang telah ia kerjakan. Hingga pernah suatu hari saat ia akan pergi ke luar negeri, ia meminta satu puisi lamanya pada Edi. Edi si tukang kliping dan Rendra penghilang jejak. Sebuah kolaborasi apik. Rendra adalah seniman penuh kejutan. Pernah suatu kali ia dituduh terlibat PKI lantaran puisi berjudul Balada Orang-orang Tercinta”. Meski sangkaan itu keliru, ia tak berusaha menyangkal. Ia justru bergabung bersama Lekra. Ini yang akhirnya membawa ia berkeliling Negara-negara timur. Tak hanya itu, Rendra juga pernah berdiam di bui karena puisi-puisi garangnya.

Sepotong kisah Rendra aku dapat dari bibir Edi. Edi yang begitu mengagungkan Rendra. Edi dan Rendra, dua sosok ambisius malam itu. Mengalirkan sedikit pada tubuhku. Itulah perjumpaan panas Rabu malam, 12 Pebruari 2014. Sepotong kisah ini, menendangku lebih dekat pada Rendra. Mengantarku pada kepemilikan karyanya.  Sajak-sajak Sepatu Tua,   Mas Bandung memberikan padaku sebagai hadiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar