Oleh: Nurul Istiqomah
Lagi-lagi aku kalah. Aku terpontang-panting
mengikuti obrolan semalam. Bi bilik ini, terus-menerus aku dimanjakan
kejutan-kejutan, selain makan dan tidur tak berbayar. Aku semakin menikmati
hari-hariku. Ada rangsangan untuk terus berliterasi. Untuk aku yang masih
hijau, metode macam ini sangat bisa aku terima. Satu yang aku benci adalah saat
aku mesti menulis perkara yang tak banyak aku mengerti. Aku menghadapi beragam
kebingungan, kekacauan menuangkan ide. Kepalaku seakan kosong tak berisi. Tak
ada memori-memori yang bisa ku panggil. Selalu saja aku mulai dengan kekalahan.
Bermula sejak obrolan diusung.
Seorang tamu dari Jakarta bernarasi panjang perihal
Rendra. Ia kentara begitu mengagumi sosok Rendra. Fasih ia berkisah Rendra. Dari
setiap tuturnya, tampak banyak melewati harinya bersama sang pujangga. Lelaki
itu Edi Haryono. Aku yang awam ini baru saja berjumpa manusia hebat. Malam itu,
aku untuk pertama kalinya berkenalan dengan namanya, sekaligus wujudnya. Ia datang
menyambangi kami dan Mas Bandung. Datang bersamanya seorang lelaki muda yang
sejak awal hingga akhir tak sejenak pun membuka mata. Berulang beralih posisi
demi meneruskan mimpi. Melipat tubuhnya sedemikian rupa. Terbayang olehku
bagaimana rasa tubuhnya saat bangun nanti. Kesemutan pastinya, pikirku. Sepertinya
ia betul lelah, begitu kata Edi.
Aku jatuh bangun memungut kata-kata yang tercecer.
Menyatukan abjad demi abjad agar menjadi utuh. Susah payah aku tautkan ceceran
itu demi tercipta koneksi. Aku sadar ingatanku lemah. Tanpa ku lakukan ini,
mustahil aku mampu mewartakan kembali. Mas Bandung mengajariku perihal memotret
waktu tanpa kilatan kamera. Ialah dengan menulis. Hari ini Mas Bandung
menantang kami menggarap dua esai. Ia
pun lakukan itu.
Edi memulai obrolan dengan sekedar beramah-tamah.
Berkisah masa kecilnya, mengabarkan semangat heroiknya. Bahwa ia terlahir dari
keluarga sastrawan. Ayahnya seorang PNS paling jujur di dunia, begitu katanya.
Ibunya menurunkan jiwa sastra padanya. Digenggaman wanita itu, menurut Edi, tak
pernah lepas sebuah Al-qur’an kecil berterjemah. Bentuknya lusuh, banyak
coretan di dalamnya. Ibunya memang gemar menandai bagian-bagian penting.
S. Ratmana adalah paman Edi. Seorang pujangga era
Taufik Ismail. Dari pamannya ini ia warisi kehendak bersastra selain satu lemari
penuh majalah sastra. Hasratnya begitu kuat untuk bersastra dan berliterasi.
Edi muda, setiap hari, menyempatkan diri membaca Koran kompas meski harus
meminjam dari tetangga. Di tembok kamarnya ia pasang sebuah tulisan besar
berbunyi “Oposisi itu sumpek. Oposisi itu
onani.” Tampak betul jiwa muda yang bergelora, yang mangkel akan kewenangan
pemerintah saat itu. Hobinya mengkliping dan ketertarikannya pada dunia sastra
sempat menuai konflik dengan ayah. Menurut ayahnya, perkara sastra adalah wagu.
Tapi Edi muda senantiasa membawa pemikiran Rendra dalam kehidupannya. Rendra
berucap: “Masa depan kita (seniman
teater) tidak ada, masa depan itu kita tentukan sendiri.” Sejak itu Edi
semakin berkeyakinan bahwa hidup sebagai seniman tak akan selalu sengsara. Satu
lagi ujaran Rendra yang selamanya erat ia pegang, anda akan berhasil apabila mengikuti minat anda. Begitulah
kira-kira.
Rendra di mata Edi adalah suri tauladan. Bahwa bagi
seorang penyair, perkara membikin puisi tidak melulu kata-kata indah. Rendra
memungut begitu saja kata yang berserak. Menurutnya, karya harus mengandung
akal sehat agar dapat dikomunikasikan. Dua hukum wajib lainnya adalah hukum
masyarakat dan hukum alam. Penulis, menurut Edi musti mampu mengolah akal,
batin, dan pikiran. Pun mereka wajib memiliki naluri komunal, yakni selalu
datang pada rangsangan.
Edi juga
berkisah peristiwa 8 April 1978 di teater terbuka Taman Ismail Marjuki.
Bersemangat ia menggambarkan bagaimana aksi-aksi heroik Rendra saat itu.
Sebelum pagelaran dimulai, Rendra mendapat berbagai teror mengancam keluarga.
Sama sekali Rendra tak gentar. Sajak pertama berhasil dengan indah ia
lantunkan, puisi berjudul Pertemuan
Mahasiswa. Puisi ini, menurut Edi menahan gerak para pengulah hingga ia
lupa akan tugasnya menghancurkan pertunjukan. Di perjalanan sajak kedua
dibacakan, suara bom tiba-tiba
menggelegar, memercikkan serpihan-serpihan.
Situasi kisruh. Semua berlarian. Rendra tetap
tenang. Segera ia cek mikrofon. Beruntung, mikrofon terselamatkan. Lantang ia
berteriak: “Saudara-saudara, saya tidak
akan mundur. Apakah saudara-saudara akan mundur?” Serentak mereka menolak,
tidak luput Muhammad hatta yang turut hadir disitu. Spontanitas Rendra
benar-benar terlatih. Di saat genting sekalipun ia sanggup mengambil keputusan mencengangkan. Edi bercerita bahwa
Rendra kecil telah dibiasakan tradisi “nembang spontan” saat berkumpul bersama
keluarga. Keluarga turut mencetak jiwa gigih Rendra.
Rendra adalah sastrawan yang pantang berbuat epigon.
Tak pernah ia menduplikasi karyanya sendiri, lebih-lebih milik orang lain. Ia
berprinsip harus melupakan jejak yang telah ia kerjakan. Hingga pernah suatu
hari saat ia akan pergi ke luar negeri, ia meminta satu puisi lamanya pada Edi.
Edi si tukang kliping dan Rendra penghilang jejak. Sebuah kolaborasi apik. Rendra
adalah seniman penuh kejutan. Pernah suatu kali ia dituduh terlibat PKI
lantaran puisi berjudul Balada
Orang-orang Tercinta”. Meski sangkaan itu keliru, ia tak berusaha
menyangkal. Ia justru bergabung bersama Lekra. Ini yang akhirnya membawa ia
berkeliling Negara-negara timur. Tak hanya itu, Rendra juga pernah berdiam di
bui karena puisi-puisi garangnya.
Sepotong kisah Rendra aku dapat dari bibir Edi. Edi yang
begitu mengagungkan Rendra. Edi dan Rendra, dua sosok ambisius malam itu.
Mengalirkan sedikit pada tubuhku. Itulah perjumpaan panas Rabu malam, 12
Pebruari 2014. Sepotong kisah ini, menendangku lebih dekat pada Rendra.
Mengantarku pada kepemilikan karyanya. Sajak-sajak
Sepatu Tua, Mas Bandung memberikan padaku sebagai hadiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar