Sabtu, 14 November 2015

Minggu dan Anak

Oleh: Nurul Istiqomah

Minggu; sebuah nama yang begitu diagungkan oleh semua, lebih-lebih bagi anak-anak. Mereka seolah menemukan sebongkah es kebebasan di tengah dahaga berkepanjangan setelah di enam hari yang lain difardhukan melakukan pelbagai kewajiban sebagai murid. Baginya, hari minggu ialah hari raya bagi umat beragama dan hari kemerdekaan sebagai rakyat yang bernegara. Anak-anak berpengharapan penuh untuk dapat melakukan semua hal yang menyenangkan hati di hari wajibnya sebagai siswa, namun kebanyakan mendapat tentangan dari orang tua. Pada rentangan waktu itu, para orang tua berperan sebagai satpam, mengawasi tiap gerak. Seolah tak berkenan menangkap bunyi kecuali gema tetes keringat di atas buku. Dan Minggu sebagai pelampiasan.
Demikianlah, anak-anak memaknai hari Minggu sebagai hari terlepasnya belenggu. Dan hal ini turut  diamini oleh para orangtua. Di hari tersebut, mereka diberikan kebebasan penuh untuk memanggil semua kesenangan dan menghadirkannya tanpa usikan. Persepsi anak-anak sebagai murid terhadap hari Minggu tidak begitu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Mereka tetap memaknai Minggu sebagai hari bebas dari kungkungan sekolah.

Minggu dalam Catatan
Minggu dan anak pernah disinggung dalam lagu anak gubahan Pak Kasur, Naik Delman. Dalam lagu ini, tergambar suasana hari Minggu seorang anak. Pak Kasur merangkai dendang: “Pada hari Minggu ku turut Ayah ke kota. Naik delman istimewa ku duduk di muka. Ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja mengendali kuda supaya baik jalannya.” Pak Kasur mencoba mengunggah cerita suka cita hari Minggu. Ini adalah wujud kecintaaan seorang pengabdi anak. Ia mencoba menyelami “a-b-c”nya dunia anak. Coba menggali dan memahami makna Minggu bagi mereka. Memandang hari Minggu lewat kacamata seorang anak.
Selain Pak Kasur yang amat mencintai anak, pelbagai jenis buku pelajaran turut membahas hari Minggu untuk murid. Tak terkecuali buku Peladjaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah Rakjat (1951) karangan Sitti Nur Zainuddin-Morro dan S. Zainuddin gl. Png Batuah. Di salah satu halamannya tergurat secara khusus tentang Minggu. Di bacaan berjudul  Hari Minggu tertulis: “Hari Minggu bapak di rumah Anak-anak senang, boleh bermain dengan dia. Boleh berdjalan djuga.’Nonton kita, Pak, kata Id. Masa, kata bapak. Minggu yang lalu, sudah ‘nonton. Kita duduk-duduk sekarang di kebun. Ambil tongkat bapak, tjari topi. Minta rokok, Pik! Jus bolak-balik, ia mentjari bolanja. Upik membawa kotak-kotaknja. Ada batu ketjil-ketjil, ada potongan-potongan kertas. Dalam kotak ada lidi, botol, apa jang tidak. Masak-masakan, Id, serunja. ‘mbikin dodol, juh! Dodol ndak dojan, Pik, kolak sadja. Ia melihat kambing dekat pohon. Us main bola bersama bapak. Awas, Pak, katanja.”
Jelas bahwa pada masa itu, betapa hari Minggu menjadi hari istimewa buat anak-anak. Setelah enam hari tak dapat menikmatinya, di hari  itu mereka dapat bermanja dengan bapak, bercengkrama dengan saudara, juga diperkenankan pergi menemui dunia luar. Mereka amat menikmati masa-masa kumpul keluarga. Minggu adalah harinya keluarga.

Piranti Pintar
Lain halnya dengan keadaan anak-anak kini. Meski pemaknaan hari Minggu masih berkutat pada hari libur, esensinya telah mengalami pergeseran. Di hari Minggu, anak-anak masa kini cenderung berkutat pada dunianya sendiri demi kepuasan pribadi. Mereka lebih suka menghabiskan hari dengan bertarung lewat playstation, plesiran bersama teman, atau bahkan bercinta dengan televisi. Keluarga bukan lagi menjadi tempat menarik berbagi sukacita hari Minggu.
Arus teknologi yang semakin tampil ke muka ikut ambil bagian dalam persoalan ini. Teknologi bergerak luwes beriring ragam tawaran kemudahan. Gadget salah atunya. Akan tetapi, kehadiran beragam gadget lengkap dengan segala fasilitasnya tak lantas dipandang oleh para orangtua sebagai masalah serius. Dengan dalih mengikuti kemajuan teknologi, para orangtua berlomba memanjakan anak dengan segala rupa piranti pintar dengan fitur terbaru. Tanpa disadari, kecanggihan teknologi justru berperan sebagai pemicu putusnya komunikasi. Seorang anak akan lebih girang memeluk gadget ketimbang berkeluh di pangkuan bunda. Ia merasa telah memiliki segala lewat sebatang benda pintar.
Kontradiksi  Minggu bagi anak tempo dulu dan anak saat ini berpeluang memperlancar terkikisnya relasi anak-orangtua. Hari Minggu yang dahulu dipakai sebagai ajang “jumpa kangen” keluarga, kini justru terlahir sebagai hari milik pribadi. Ini yang kemudian menjadikan hubungan orangtua dan anak menjadi terganggu oleh karena Minggu yang telah beralih fungsi. Intensitas pertemuan  orangtua-anak yang minim tak lantas dibarengi upaya membangun kedekatan di hari Minggu. Maka menjadi hal yang lazim jika anak lebih memilih kawan ketimbang rumah. Menunjuk sahabat sebagai teman berbagi ketimbang berkeluh pada orangtua. Para orangtua dirasa perlu mengubah pola pikir dalam mendidik anak. Bahwa relasi dalam keluarga adalah jauh lebih penting ketimbang kasih sayang materiil.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar