Sabtu, 14 November 2015

Perempuan Centhini

Oleh: Nurul Istiqomah
Elizabeth D. Inandiak adalah manusia sakral, seorang Perancis kurang waras yang nekat bergumul dengan 4000 halaman kitab bahasa Jawa kuno. Ia adalah penerjemah karya agung Jawa, serat Centhini. Ia mentransfer serat indah itu ke dalam dua bahasa, Perancis dan Indonesia. Tembang Centhini ia gubah menjadi prosa. Agar lebih dapat dinikmati oleh semua kalangan, begitu katanya. Tentu semua hadir tak tiba-tiba. Bukan hasil bertapa atau wahyu. Takdir mengantarnya pada Sunaryati, seorang guru Bahasa Indonesia fasih membaca dan mendendang kawi. Ketertarikannya lantaran ia menangkap keindahan yang luar biasa dalam serat Centhini. Bermula dari suara, Eli berniat mengirim peasan itu lewat guratan abjad. Demi memperindah karyanya, ia mencomot berbagai kisah semacam 1001 malam, babad Jawa, pewayangan, dan lainnya.
Centhini harus ditulis dan dipentaskan, begitu tekadnya. Inginnya ini yang kemudian membawa ia pada sutradara kondang Garin Nugroho. Eli menulis 12 tembang terjemahan untuk dijadikan pertunjukan. Betul-betul istimewa bule ini, pikirku. Tekadnya bulat pelajari Jawa. Niat menemukan sastra buat Perancis, ia suguhkan karyanya buat Indonesia. Kami, orang Jawa tak punya niatan serupa ia. Membaca pun kami tak mampu, dan memang tak ada usaha peroleh ilmu. Harusnya kami malu pada bule ini.
Keputusannya menetap di tanah Jawa bukan tanpa alasan. Datang ke Indonesia sebagai wartawan, mengenalkan ia pada dunia baru. Disini ia temukan oase. Ia temukan kesakralan dalam sastra Jawa. Ia betul terkesiap akan bunyinya. Tembang Centhini serupa magnet baginya. Sastra Perancis, menurut Eli, adalah sastra dari otak. Ada unsur intelektualitas disana. Tapi di Jawa tidak. Sastra itu sakral. Suaranya, guratannya. Elizabeth terpelet pesona sastra Jawa. Ia merasa betul kosmologi peralihan Eropa-Jawa. Ia ingin persembahkan karya untuk Perancis. Centhini inilah rupanya.
Elizabeth dalam merasuk pada budaya Jawa saat ia melahirkan putrinya di tanah Jawa. Seorang turis melahirkan anak di negara orang adalah sebuah putusan konyol. Dan Eli melakukannya.  Sudah barang tentu, dengan alasan ini itu, ibunya yang seorang dokter di Perancis melarang. Eli kukuh. Bagi Eli, melahirkan di Jawa, ia merasa kesakralan merambati tubuh. Ari-ari bayinya ia tanam di tanah. Persis seperti laku orang Jawa. Ia merasa bayinya adalah bayi Jawa. Ia adalah seorang ibu Jawa. Begitu pun sastra. Sastra dan perilaku melahirkan adalah sama. Keduanya berproses dengan penuh cinta dan kesabaran.
Sore itu, Elizabeth datang berkunjung beriring bingung. Mbah Prapto tak mengabar jelas kondisi kami. Mbah menyebut kami tengah berlaku workshop. Mbah Prapto memang gak jelas, itu gambaran Mas bandung. Kami yang sedang sinau dikata workshop. Mana mungkin ada workshop di bilik serupa ini. Disini, kami tak kenal aturan-aturan semacam itu. Kami terbahak. Eli celingukan, bingung. Pelan, Mas Bandung coba mengurai gamblang. Bahwa kami disini sinau, bukan workshop lebih-lebih seminar. Bahwa rumah ini dibangun sebagai rumah bersama. Siapapun boleh singgah. Siapapun diperkenankan bermukim di bilik ini. Sinau bareng. Itulah niat Mas Bandung membangun bilik ini. Lelaki ini ingin, belajar kembali di rumah. Ia telah bosan melihat sekolah, kampus, juga lembaga bimbingan belajar. Mereka semua mengekang. Kaku terasa.
Pun menyoal perpustakaan. Mas Bandung mengungkap perihal nyata. Jawa sebetulnya tak punya perpustakaan dengan segala rupa aturannya. Perpustakaan adalah tubuh, rumah,dan desa. Sekeliling kita adalah perpustakaan. Itu konsepsi Jawa. Eli menemukan ruh yang telah hilang di Barat. Mereka, bangsa barat, meletakkan material pada posisi paling tingi. Itulah mengapa perpustakaan di Negara-negara barat indah rupanya. Tertata apik. Mereka memanjakan pembaca dengan beragam fasilitas dan aturan. Kaku.
Mas Bandung amat tertarik pada obrolan ini. Ia sampai meminta izin pada Eli, suatu saat nanti menuliskan kisah sore ini di blognya atau di media massa. Belum pernah Mas Bandung sebegitu terpikat pada tamu kami. Indranya tersentuh, terangsang memanggil memori masa silam. Memaksimalkan imaji. Mas Bandung menyingkap kisah. Bahwa ia dihantar Bahasa Indonesia pada imajinasi, padahal ia seorang Jawa. Hanya baru-baru ini saja ia siuman. Ia musti tahu banyak hal terkait Jawa. Imajinasi yang ditelurkan akan berbeda, bergantung pada jenis bahasa pemantik.
Eli berkabar kesenangannya menulis. Menurutnya, menulis itu perlu kejujuran. Jujur itu ada di batin. Dan semua itu musti melalui proses belajar. Ia terus belajar. Tubuhnya telah merasuk pada dunia Jawa. Setelah merampungkan prosa serat centhini dengan judul “Kekasih yang Tersembunyi”, ia kembali berproses mengisahkan gempa dan letusan Merapi dalam aksara. Ia menulis atas nama tugas dan tanggung jawab. Ia mengampu harapan warga Kinarjo. Ia melukis Kinarjo dalam aksara. Ia menulis dari dalam, bukan meletakkan korban sebagai objek. Ia berada di antara mereka.

Centhini  juga babad gempa dan letusan Merapi adalah wujud cinta kasihnya pada Jawa. Jawa ialah hidupnya. Dalam hujan yang merasuk pada tembang-tembang, ia terpanggil oleh seorang kekasih yang tersembunyi. Ia adalah sang pengabdi zaman. Ia lah sang penenur warta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar