Oleh: Nurul Istiqomah
Elizabeth D. Inandiak adalah manusia sakral, seorang
Perancis kurang waras yang nekat bergumul dengan 4000 halaman kitab bahasa Jawa
kuno. Ia adalah penerjemah karya agung Jawa, serat Centhini. Ia mentransfer
serat indah itu ke dalam dua bahasa, Perancis dan Indonesia. Tembang Centhini
ia gubah menjadi prosa. Agar lebih dapat dinikmati oleh semua kalangan, begitu
katanya. Tentu semua hadir tak tiba-tiba. Bukan hasil bertapa atau wahyu. Takdir
mengantarnya pada Sunaryati, seorang guru Bahasa Indonesia fasih membaca dan
mendendang kawi. Ketertarikannya lantaran ia menangkap keindahan yang luar
biasa dalam serat Centhini. Bermula dari suara, Eli berniat mengirim peasan itu
lewat guratan abjad. Demi memperindah karyanya, ia mencomot berbagai kisah
semacam 1001 malam, babad Jawa, pewayangan, dan lainnya.
Centhini harus ditulis dan dipentaskan, begitu
tekadnya. Inginnya ini yang kemudian membawa ia pada sutradara kondang Garin
Nugroho. Eli menulis 12 tembang terjemahan untuk dijadikan pertunjukan.
Betul-betul istimewa bule ini, pikirku. Tekadnya bulat pelajari Jawa. Niat
menemukan sastra buat Perancis, ia suguhkan karyanya buat Indonesia. Kami,
orang Jawa tak punya niatan serupa ia. Membaca pun kami tak mampu, dan memang
tak ada usaha peroleh ilmu. Harusnya kami malu pada bule ini.
Keputusannya menetap di tanah Jawa bukan tanpa
alasan. Datang ke Indonesia sebagai wartawan, mengenalkan ia pada dunia baru. Disini
ia temukan oase. Ia temukan kesakralan dalam sastra Jawa. Ia betul terkesiap
akan bunyinya. Tembang Centhini serupa magnet baginya. Sastra Perancis, menurut
Eli, adalah sastra dari otak. Ada unsur intelektualitas disana. Tapi di Jawa
tidak. Sastra itu sakral. Suaranya, guratannya. Elizabeth terpelet pesona
sastra Jawa. Ia merasa betul kosmologi peralihan Eropa-Jawa. Ia ingin
persembahkan karya untuk Perancis. Centhini inilah rupanya.
Elizabeth dalam merasuk pada budaya Jawa saat ia
melahirkan putrinya di tanah Jawa. Seorang turis melahirkan anak di negara
orang adalah sebuah putusan konyol. Dan Eli melakukannya. Sudah barang tentu, dengan alasan ini itu, ibunya
yang seorang dokter di Perancis melarang. Eli kukuh. Bagi Eli, melahirkan di
Jawa, ia merasa kesakralan merambati tubuh. Ari-ari bayinya ia tanam di tanah. Persis
seperti laku orang Jawa. Ia merasa bayinya adalah bayi Jawa. Ia adalah seorang
ibu Jawa. Begitu pun sastra. Sastra dan perilaku melahirkan adalah sama.
Keduanya berproses dengan penuh cinta dan kesabaran.
Sore itu, Elizabeth datang berkunjung beriring
bingung. Mbah Prapto tak mengabar jelas kondisi kami. Mbah menyebut kami tengah
berlaku workshop. Mbah Prapto memang gak jelas, itu gambaran Mas bandung. Kami
yang sedang sinau dikata workshop. Mana mungkin ada workshop di bilik serupa
ini. Disini, kami tak kenal aturan-aturan semacam itu. Kami terbahak. Eli celingukan,
bingung. Pelan, Mas Bandung coba mengurai gamblang. Bahwa kami disini sinau, bukan workshop lebih-lebih
seminar. Bahwa rumah ini dibangun sebagai rumah bersama. Siapapun boleh singgah.
Siapapun diperkenankan bermukim di bilik ini. Sinau bareng. Itulah niat Mas
Bandung membangun bilik ini. Lelaki ini ingin, belajar kembali di rumah. Ia
telah bosan melihat sekolah, kampus, juga lembaga bimbingan belajar. Mereka
semua mengekang. Kaku terasa.
Pun menyoal perpustakaan. Mas Bandung mengungkap perihal
nyata. Jawa sebetulnya tak punya perpustakaan dengan segala rupa aturannya.
Perpustakaan adalah tubuh, rumah,dan desa. Sekeliling kita adalah perpustakaan.
Itu konsepsi Jawa. Eli menemukan ruh yang telah hilang di Barat. Mereka, bangsa
barat, meletakkan material pada posisi paling tingi. Itulah mengapa
perpustakaan di Negara-negara barat indah rupanya. Tertata apik. Mereka
memanjakan pembaca dengan beragam fasilitas dan aturan. Kaku.
Mas Bandung amat tertarik pada obrolan ini. Ia
sampai meminta izin pada Eli, suatu saat nanti menuliskan kisah sore ini di
blognya atau di media massa. Belum pernah Mas Bandung sebegitu terpikat pada
tamu kami. Indranya tersentuh, terangsang memanggil memori masa silam. Memaksimalkan
imaji. Mas Bandung menyingkap kisah. Bahwa ia dihantar Bahasa Indonesia pada
imajinasi, padahal ia seorang Jawa. Hanya baru-baru ini saja ia siuman. Ia
musti tahu banyak hal terkait Jawa. Imajinasi yang ditelurkan akan berbeda,
bergantung pada jenis bahasa pemantik.
Eli berkabar kesenangannya menulis. Menurutnya,
menulis itu perlu kejujuran. Jujur itu ada di batin. Dan semua itu musti
melalui proses belajar. Ia terus belajar. Tubuhnya telah merasuk pada dunia
Jawa. Setelah merampungkan prosa serat centhini dengan judul “Kekasih yang Tersembunyi”, ia kembali
berproses mengisahkan gempa dan letusan Merapi dalam aksara. Ia menulis atas
nama tugas dan tanggung jawab. Ia mengampu harapan warga Kinarjo. Ia melukis
Kinarjo dalam aksara. Ia menulis dari dalam, bukan meletakkan korban sebagai
objek. Ia berada di antara mereka.
Centhini juga
babad gempa dan letusan Merapi adalah wujud cinta kasihnya pada Jawa. Jawa
ialah hidupnya. Dalam hujan yang merasuk pada tembang-tembang, ia terpanggil
oleh seorang kekasih yang tersembunyi. Ia adalah sang pengabdi zaman. Ia lah
sang penenur warta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar