Sabtu, 14 November 2015

Guru Berbalas Jasa

Oleh: Nurul Istiqomah
Aku seorang ibu rumah tangga. Namaku Yati. Tuhan menganugerahi aku dan suamiku dua buah hati. Tentu, kami sangat mencintai keduanya. Si sulung akan menginjak kelas akhir SMA, tahun depan aku akan disibukkan untuk membantu memilih kampus untuk putriku ini. Atau jika ia lebih memilih menghentikan kerja belajarnya, tak masalah. Toh, pendidikan formal mendikte dan mengikat. Ia bisa belajar dimanapun berada.
Bungsuku lain lagi. Ia baru saja menyelesaikan tugas akhirnya di Sekolah Dasar. Mengikuti ujian akhir tiga hari belakangan. Hari ini hari terakhirnya. Anakku pandai, setidaknya menurutku. Aku yang hanya perempuan lulusan Sekolah Dasar, tidak benar tahu ukuran kepintaran seseorang. Yang pasti, saat aku seusianya dulu, aku hanya sanggup membaca, menghitung, dan menulis ala kadarnya. Tapi anakku, ia jauh lebih pintar. Sesekali ia mengucap bahasa tak lumrah. Belakangan aku tahu itu bahasa Inggris. Bahasa orang sedunia katanya. Ah, duniaku tak berbahasa macam itu, Nak. Sekali waktu yang lain, ia membawa selembar hasil ujian. Matematika. Ah, sayang, aku tak paham simbol apa yang kau ukir di sana. Ibu hanya sanggup menambah, mengurang, mengali, dan membagi. Itupun tak berdigit banyak. Tapi angka melingkar di ujung kertas membuatku tersenyum, 50. Itu jauh lebih besar dari nilai yang ku dapat dulu, Nak. Ibumu ini hanya sanggup mengantongi angka 10 sebagai nilai sempurna. Tapi, air mukamu tak melukis ria. Oh, maafkan Ibu. Pecahan nilaimu dan milikku tak lagi sama. Jangan sedih, Nak.
Aku tak begitu paham sistem pendidikan kini. Yang ku rasakan, mereka berusaha menyamakan kemampuan. Mereka tak memandang kemampuan anakku. Seolah meneriaki anakku “bodoh” saat tak mampu menyelesaikan sederet angka. Atau mengecap anakku tak mampu berbahasa saat ia tak memahami bahasa orang sedunia, padahal ia masih punya dua bahasa yang lain. Ia lancar mengucapnya. Kau tak boleh meneriaki anakku macam itu tanpa melihat kemampuannya yang lain!
Bungsuku sering mengeluhkan ketertinggalannya. Tak berbilang berapa kali ia bernarasi  panjang lebar. Bercerita perihal kesibukan teman-temannya. Matanya menghadirkan kecemburuan. Ya, aku bisa melihatnya. Tak ada pilihan, aku mengiyakan maunya menyamakan aktivitas dengan teman sebaya. Jadilah ia punya rutinitas baru; sekolah, les tambahan, mengaji, bimbingan belajar. Ia pulang saat lelah ingin tidur. Demi rutinitas barunya, aku dan suamiku harus bekerja lebih keras lagi.
Saat mengeluhkan les tambahan dari sekolah yang berbayar, bungsuku keras berseru. Kata bu guru, sekarang nggak ada yang gratis, Bu. Lagi-lagi aku mengiyakan. Ya, gurumu butuh uang untuk menghidupi keluarga. Belajar berbayar. Andai saja aku mampu, kau tak perlu membayarku untuk mendapat ilmu yang kau ingini, Nak.
Rapat wali murid minggu lalu membuatku menelan ludah. Berkali-kali menyeka keringat. Mereka berharap imbalan. Mereka, para guru berharap balas jasa. Mereka tak ikhlas mengurusi anak-anakku, tak sepenuh hati berbagi ilmu. Nyatanya, di akhir , mereka berharap lebih. Mereka bilang itu sumbangan atas apa yang telah diberikan selama enam tahun. Saat salah seorang wali murid berusaha menampik, mereka justru berdalih. “Laptop seharga delapan juta tak akan begitu terasa jika dibebankan pada 150 anak. Kami butuh sarana penunjang.” Ah, sumbangan yang memaksa. Aku tak yakin kinerjanya membaik setelah mendapat “hadiah”. Mereka berkedok. Mereka memanfaatkan. Tapi, aku tak mampu berkata. Aku tak pernah berani bicara di muka umum. Aku hanya bisa diam dan mengiyakan.
Kini aku sadar, guru anak-anakku tak serupa guruku dulu. Guru anak-anakku berbalas jasa. Guru anak-anakku gandrung sanjung. Benar kata Umar Bakri, guru jujur berbakti memang makan hati. Dan guru kini lebih suka makan nasi.

#terinspirasi cerita seorang ibu cilik suatu sore sambil menahan lapar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar