Oleh: Nurul
Istiqomah
Aku seorang ibu rumah tangga. Namaku Yati. Tuhan menganugerahi
aku dan suamiku dua buah hati. Tentu, kami sangat mencintai keduanya. Si sulung
akan menginjak kelas akhir SMA, tahun depan aku akan disibukkan untuk membantu
memilih kampus untuk putriku ini. Atau jika ia lebih memilih menghentikan kerja
belajarnya, tak masalah. Toh, pendidikan formal mendikte dan mengikat. Ia bisa
belajar dimanapun berada.
Bungsuku lain lagi. Ia baru saja menyelesaikan tugas
akhirnya di Sekolah Dasar. Mengikuti ujian akhir tiga hari belakangan. Hari ini
hari terakhirnya. Anakku pandai, setidaknya menurutku. Aku yang hanya perempuan
lulusan Sekolah Dasar, tidak benar tahu ukuran kepintaran seseorang. Yang
pasti, saat aku seusianya dulu, aku hanya sanggup membaca, menghitung, dan
menulis ala kadarnya. Tapi anakku, ia jauh lebih pintar. Sesekali ia mengucap
bahasa tak lumrah. Belakangan aku tahu itu bahasa Inggris. Bahasa orang sedunia
katanya. Ah, duniaku tak berbahasa macam itu, Nak. Sekali waktu yang lain, ia
membawa selembar hasil ujian. Matematika. Ah, sayang, aku tak paham simbol apa
yang kau ukir di sana. Ibu hanya sanggup menambah, mengurang, mengali, dan
membagi. Itupun tak berdigit banyak. Tapi angka melingkar di ujung kertas
membuatku tersenyum, 50. Itu jauh lebih besar dari nilai yang ku dapat dulu,
Nak. Ibumu ini hanya sanggup mengantongi angka 10 sebagai nilai sempurna. Tapi,
air mukamu tak melukis ria. Oh, maafkan Ibu. Pecahan nilaimu dan milikku tak
lagi sama. Jangan sedih, Nak.
Aku tak begitu paham sistem pendidikan kini. Yang ku
rasakan, mereka berusaha menyamakan kemampuan. Mereka tak memandang kemampuan
anakku. Seolah meneriaki anakku “bodoh” saat tak mampu menyelesaikan sederet
angka. Atau mengecap anakku tak mampu berbahasa saat ia tak memahami bahasa
orang sedunia, padahal ia masih punya dua bahasa yang lain. Ia lancar
mengucapnya. Kau tak boleh meneriaki anakku macam itu tanpa melihat
kemampuannya yang lain!
Bungsuku sering mengeluhkan ketertinggalannya. Tak
berbilang berapa kali ia bernarasi
panjang lebar. Bercerita perihal kesibukan teman-temannya. Matanya
menghadirkan kecemburuan. Ya, aku bisa melihatnya. Tak ada pilihan, aku
mengiyakan maunya menyamakan aktivitas dengan teman sebaya. Jadilah ia punya
rutinitas baru; sekolah, les tambahan, mengaji, bimbingan belajar. Ia pulang
saat lelah ingin tidur. Demi rutinitas barunya, aku dan suamiku harus bekerja lebih
keras lagi.
Saat mengeluhkan les tambahan dari sekolah yang
berbayar, bungsuku keras berseru. Kata bu
guru, sekarang nggak ada yang gratis, Bu. Lagi-lagi aku mengiyakan. Ya, gurumu
butuh uang untuk menghidupi keluarga. Belajar berbayar. Andai saja aku mampu,
kau tak perlu membayarku untuk mendapat ilmu yang kau ingini, Nak.
Rapat wali murid minggu lalu membuatku menelan
ludah. Berkali-kali menyeka keringat. Mereka berharap imbalan. Mereka, para
guru berharap balas jasa. Mereka tak ikhlas mengurusi anak-anakku, tak sepenuh
hati berbagi ilmu. Nyatanya, di akhir , mereka berharap lebih. Mereka bilang
itu sumbangan atas apa yang telah diberikan selama enam tahun. Saat salah
seorang wali murid berusaha menampik, mereka justru berdalih. “Laptop seharga delapan juta tak akan begitu
terasa jika dibebankan pada 150 anak. Kami butuh sarana penunjang.” Ah,
sumbangan yang memaksa. Aku tak yakin kinerjanya membaik setelah mendapat “hadiah”.
Mereka berkedok. Mereka memanfaatkan. Tapi, aku tak mampu berkata. Aku tak
pernah berani bicara di muka umum. Aku hanya bisa diam dan mengiyakan.
Kini aku sadar, guru anak-anakku tak serupa guruku
dulu. Guru anak-anakku berbalas jasa. Guru anak-anakku gandrung sanjung. Benar
kata Umar Bakri, guru jujur berbakti memang makan hati. Dan guru kini lebih
suka makan nasi.
#terinspirasi cerita seorang ibu cilik suatu sore
sambil menahan lapar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar