Sabtu, 14 November 2015

Warisan “Beladjar Maoe”

Oleh Nurul Istiqomah
Mendapati budaya baca-tulis atau literasi di kalangan mahasiswa adalah hal sukar, mendekati kenihilan. Dengan dalih tumpukan tugas, membaca bukan lagi dijadikan kebutuhan. Pelbagai kewajiban dari kampus menghendaki para mahasiswa hanya menekuri satu macam ilmu saja. Tak ada waktu untuk bergumul bersama buku. Dan menulis, tidak lagi dijadikan sarana berbagi. Bisa jadi mereka membaca, tapi banyak hanya dijadikan sebagai wacana pribadi. Tidak merasa berkepentingan menularkan ilmu. Mahasiswa kini, pandai bersuara tapi masih enggan menelurkan dalam wujud aksara siap baca. Menulis bukan hal yang perlu dilakukan.
Kondisi mahasiswa dewasa ini adalah imbas dari kehidupan serba instan. Kerja membikin makalah misalnya, copy paste menjadi pilihan favorit. Kehadiran wikipedia, google, dan segala macam mesin siap saji menawarkan kemudahan. Mahasiswa terbiasa hidup bermanja-manja. Pertemuan dengan buku dirasa tidak lagi menarik.  Membaca buku adalah kerja buang energi. Urusan berlari pada gadget. Jemari lincah bermain layar sentuh. Belanja mingguan tak tersisih untuk surat kabar atau buku. Melakukan aktivitas serupa itu, sebenarnya, mereka hanya butuh mau.
Raden Poera Di Redja melalui buku ‘Ilmoe Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) menyemaikan pemikiran terkait “Belajar Maoe”. Mau, adalah pelajaran wajib bagi tiap-tiap individu. Bahwa manusia dianugerahi nafsu yang akan melahirkan banyak mau. Tak semua orang cakap menaruh mau pada antrean untuk kemudian dipilah mana yang benar mengandung faedah dan patut mendapat sebuah kehormatan untuk diperjuangkan. Mau besar musti mendapat jalan untuk sampai pada sebuah maksud.
Raden Poera berucap, “Barang siapa tiada mempoenyai kemaoean, tiadalah ia ‘kan pernah memboeat sesoeatu; tiadalah ia ‘kan pernah mengerdjakan sesoeatu pekerdjaan; tiadalah ‘kan pernah menudju sesoeatu maksoed – orang itoe tiadalah akan pernah berboeat salah. Sebab senantiasa ia hidoep di dalam kesalahan besar… tidak mempoenjai maksoed.”
Manusia pemegang karunia kemauan besar, menurut Raden Poera Di Redja, akan dan selalu bersua dengan ranjau dan pelbagai kesulitan. Sebuah keniscayaan bahwa jalan tempuh tak akan mulus tanpa cacat. Jatuh terantuk batu, terkilir sebab lubang besar, atau bahkan lemparan kotoran oleh orang di pinggir jalan, tidak boleh ia palingkan. Saat itulah pembuktian seberapa besar dan kuat kemauan. Apakah ia tetap utuh bercokol dalam diri atau malah melemah, terkikis oleh antukan batu dan noda kritik. Kemauan kuat pastilah telah melewati fase berpikir. Pemikiran yang matang akan menelurkan kebulatan tekad.
Sebuah novel apik gubahan Pandir Kelana, Ibu Sinder (Gramedia Pustaka Utama, 1991) mengguratkan sebuah gambaran etos kerja. Kegigihan terang dilukis dalam fase hidup seorang wanita Jawa buta huruf. Bagaimana wanita ini, di usia yang tak boleh dibilang muda, tertatih mengeja aksara. Mengurusi “mau” macam ini, ia tak membiarkan malu datang bertamu, mengintip pun tak boleh. Demi sebuah harapan, mengikuti perkembangan bangsa.
Memantau Negara yang tengah gaduh oleh ricuh perjuangan tak hanya ia dapati dari mendengar radio.  Meski lamban dan terhuyung, ia mulai menjadi pengonsumsi media massa cetak. Inilah rupa “mau yang kuat” dan tak dibiarkan padam begitu saja. Perihal fisik dan pikiran, kita sebagai mahasiswa tentulah lebih teguh ketimbang seorang Ibu Sinder.
Sebagaimana kerja menulis. Menulis membutuhkan kemauan kuat. Sebuah kisah klasik, seorang penulis mendapat celaan, melakukan kerja sembunyi di balik pengawasan. Hal-hal demikian yang jika tak mendapat sentuhan khusus rawan memicu melemahnya hasrat, mandegnya keajegan. Tak ada lain yang mendukung kita kecuali niat dan maksud. Niat akan menjelma menjadi bayang-bayang selama hidup sampai kita mampu mewujudkan menjadi nyata.
 Niat atau mau itu yang mengajak kita berkelana naik turun lembah dan melewati jurang curam nan terjal. Mau, akan menghibur kita di saat susah, membangunkan kita di waktu jatuh, serta senantiasa menabur dan menanam gembira dalam hati, menjaganya untuk terus bersemi. Untuk menuju sebuah tujuan kita hanya cukup berkawan mau.
Pada akhirnya, seorang mahasiswa, menjadikan kerja membaca dan laku menulis adalah perlu. Menjaga “api mau” agar terus berkobar ialah wajib. Seperti halnya seorang anak yang belajar berjalan, menulis pun butuh belajar. Menulis harus beriring dengan hasrat. Menulis cukup berkawan mau. Di zaman serba instan, Raden Poera menjelma sebagai rambu pengingat bahwa tak ada satu pun pekerjaan tanpa perjuangan.

Terbiasa instan adalah cermin manusia tanpa tekad. Ritual mengeluarkan kotoran di pagi hari pastilah didahului prosesi menyantap makanan. Ingin menulis, maka kita musti membaca. Baca dan tulis adalah sejoli yang tak boleh dipisah. Sebuah ritual mustahil bergulir beberapa waktu saja. Ia mesti berjalan dalam mata rantai sebagai sebuah kerja kontinuitas. Penulis pemula wajib bekerja dalam target. Bermula dari paksaan akan berlanjut pada kebiasaan. Menulis bukan bakat, bukan pula warisan. Menulis karena mau. Menulis sebab terbiasa. Cukuplah makanan saja yang disajikan secara instan. Kita jangan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar