Oleh Nurul Istiqomah
Mendapati budaya baca-tulis atau literasi di
kalangan mahasiswa adalah hal sukar, mendekati kenihilan. Dengan dalih tumpukan
tugas, membaca bukan lagi dijadikan kebutuhan. Pelbagai kewajiban dari kampus menghendaki
para mahasiswa hanya menekuri satu macam ilmu saja. Tak ada waktu untuk
bergumul bersama buku. Dan menulis, tidak lagi dijadikan sarana berbagi. Bisa
jadi mereka membaca, tapi banyak hanya dijadikan sebagai wacana pribadi. Tidak
merasa berkepentingan menularkan ilmu. Mahasiswa kini, pandai bersuara tapi masih
enggan menelurkan dalam wujud aksara siap baca. Menulis bukan hal yang perlu
dilakukan.
Kondisi mahasiswa dewasa ini adalah imbas dari
kehidupan serba instan. Kerja membikin makalah misalnya, copy paste menjadi pilihan favorit. Kehadiran wikipedia, google, dan segala macam mesin siap saji menawarkan
kemudahan. Mahasiswa terbiasa hidup bermanja-manja. Pertemuan dengan buku
dirasa tidak lagi menarik. Membaca buku
adalah kerja buang energi. Urusan berlari pada gadget. Jemari lincah bermain layar sentuh. Belanja mingguan tak tersisih
untuk surat kabar atau buku. Melakukan aktivitas serupa itu, sebenarnya, mereka
hanya butuh mau.
Raden Poera Di Redja melalui buku ‘Ilmoe
Pendidikan (Balai Poestaka, 1921) menyemaikan pemikiran terkait “Belajar
Maoe”. Mau, adalah pelajaran wajib bagi tiap-tiap individu. Bahwa manusia
dianugerahi nafsu yang akan melahirkan banyak mau. Tak semua orang cakap
menaruh mau pada antrean untuk kemudian dipilah mana yang benar mengandung
faedah dan patut mendapat sebuah kehormatan untuk diperjuangkan. Mau besar
musti mendapat jalan untuk sampai pada sebuah maksud.
Raden Poera berucap, “Barang siapa tiada mempoenyai
kemaoean, tiadalah ia ‘kan pernah memboeat sesoeatu; tiadalah ia ‘kan pernah
mengerdjakan sesoeatu pekerdjaan; tiadalah ‘kan pernah menudju sesoeatu maksoed
– orang itoe tiadalah akan pernah berboeat salah. Sebab senantiasa ia hidoep di
dalam kesalahan besar… tidak mempoenjai maksoed.”
Manusia pemegang karunia kemauan besar, menurut
Raden Poera Di Redja, akan dan selalu bersua dengan ranjau dan pelbagai
kesulitan. Sebuah keniscayaan bahwa jalan tempuh tak akan mulus tanpa cacat.
Jatuh terantuk batu, terkilir sebab lubang besar, atau bahkan lemparan kotoran oleh
orang di pinggir jalan, tidak boleh ia palingkan. Saat itulah pembuktian seberapa
besar dan kuat kemauan. Apakah ia tetap utuh bercokol dalam diri atau malah
melemah, terkikis oleh antukan batu dan noda kritik. Kemauan kuat pastilah
telah melewati fase berpikir. Pemikiran yang matang akan menelurkan kebulatan
tekad.
Sebuah novel apik gubahan Pandir Kelana, Ibu Sinder (Gramedia Pustaka Utama,
1991) mengguratkan sebuah gambaran etos kerja. Kegigihan terang dilukis dalam
fase hidup seorang wanita Jawa buta huruf. Bagaimana wanita ini, di usia yang
tak boleh dibilang muda, tertatih mengeja aksara. Mengurusi “mau” macam ini, ia
tak membiarkan malu datang bertamu, mengintip pun tak boleh. Demi sebuah
harapan, mengikuti perkembangan bangsa.
Memantau Negara yang tengah gaduh oleh ricuh
perjuangan tak hanya ia dapati dari mendengar radio. Meski lamban dan terhuyung, ia mulai menjadi
pengonsumsi media massa cetak. Inilah rupa “mau yang kuat” dan tak dibiarkan
padam begitu saja. Perihal fisik dan pikiran, kita sebagai mahasiswa tentulah
lebih teguh ketimbang seorang Ibu Sinder.
Sebagaimana kerja menulis. Menulis membutuhkan
kemauan kuat. Sebuah kisah klasik, seorang penulis mendapat celaan, melakukan
kerja sembunyi di balik pengawasan. Hal-hal demikian yang jika tak mendapat
sentuhan khusus rawan memicu melemahnya hasrat, mandegnya keajegan. Tak ada
lain yang mendukung kita kecuali niat dan maksud. Niat akan menjelma menjadi
bayang-bayang selama hidup sampai kita mampu mewujudkan menjadi nyata.
Niat atau mau
itu yang mengajak kita berkelana naik turun lembah dan melewati jurang curam
nan terjal. Mau, akan menghibur kita di saat susah, membangunkan kita di waktu
jatuh, serta senantiasa menabur dan menanam gembira dalam hati, menjaganya
untuk terus bersemi. Untuk menuju sebuah tujuan kita hanya cukup berkawan mau.
Pada akhirnya, seorang mahasiswa,
menjadikan kerja membaca dan laku menulis adalah perlu. Menjaga “api mau” agar
terus berkobar ialah wajib. Seperti halnya seorang anak yang belajar berjalan,
menulis pun butuh belajar. Menulis harus beriring dengan hasrat. Menulis cukup
berkawan mau. Di zaman serba instan, Raden Poera menjelma sebagai rambu
pengingat bahwa tak ada satu pun pekerjaan tanpa perjuangan.
Terbiasa instan adalah
cermin manusia tanpa tekad. Ritual mengeluarkan kotoran di pagi hari pastilah
didahului prosesi menyantap makanan. Ingin menulis, maka kita musti membaca. Baca
dan tulis adalah sejoli yang tak boleh dipisah. Sebuah ritual mustahil bergulir
beberapa waktu saja. Ia mesti berjalan dalam mata rantai sebagai sebuah kerja
kontinuitas. Penulis pemula wajib bekerja dalam target. Bermula dari paksaan
akan berlanjut pada kebiasaan. Menulis bukan bakat, bukan pula warisan. Menulis
karena mau. Menulis sebab terbiasa. Cukuplah makanan saja yang disajikan secara
instan. Kita jangan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar