Korupsi di Indonesia tampaknya telah
mengurat daging. Telah menjadi semacam dosa yang dijadikan budaya
turun-temurun. Bagaimana tidak, korupsi terjadi secara sistematik, dimana kini
korupsi telah menginfeksi hampir ke seluruh tataran sistem pemerintahan mulai
dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah sekalipun. Korupsi bukan lagi
menjadi santapan para pejabat tinggi,
namun pegawai biasapun sudah mulai
terbiasa dengan hal semacam ini, yang bisa menjadi candu bagi siapapun yang
coba menjamahnya. Jika tidak ada sanksi tegas yang memunculkan efek jera pada
pelaku, maka dapat dipastikan wabah ini akan semakin merebak.
Kasus korupsi yang dilakukan para pejabat
penyelenggara Negara, merupakan suatu penghianatan kepercayaan yang telah
dimandatkan kepadanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan lunturnya
kepercayaan rakyat terhadap wakilnya di kursi pemerintahan. Terlebih lagi,
banyak pelaku korupsi yang justru lolos dari jerat hukum sambil menggondol
hak-hak rakyat. Ironis memang, mereka yang digadang-gadang mampu membawa rakyat
Indonesia sedikit melangkah menuju kehidupan yang lebih sejahtera, justru
melemparnya pada jurang kesengsaraan.
Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) merupakan satu langkah berani pemerintah terhadap upaya pemberantasan
korupsi di Indonesia. KPK sendiri merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan
tujuan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi yang dalam prakteknya berjalan
secara independen tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Lembaga ini terlahir ke
dunia disebabkan oleh aparat penegak hukum konvensional (kepolisian dan
kejaksaan) tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik dalam hal tindak pidana
korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa KPK muncul sebagai jawaban dari kerja
aparat penegak hukum konvensional yang buruk. Untuk membarantas kasus korupsi yang
merupakan kasus luar biasa dibutuhkan manusia-manusia yang luar biasa pula. Ini
kemudian menjadi sebuah gebrakan yang sangat membantu aparat penegak hukum
(kepolisian, hakim, pengacara) dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu diharapkan
KPK dan aparat penegak hukum berjalan bersama menegakkan hukum demi terciptanya
Indonesia yang bebas korupsi. Namun faktanya adalah selama ini KPK masih
berkutat pada pemberantasan korupsi di permukaan namun belum mampu menyentuh apa yang sebenarnya
menjadi akar penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia. Seperti halnya
praktek uang pelicin yang marak
terjadi di kalangan aparat penegak hukum dengan tujuan memutar lidah.
Dalam pemberantasan korupsi, dua hal yang
perlu disorot adalah pelaku dan hukum. Oknum pelaku korupsi adalah pihak yang
tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak buruk terhadap sistem
perekonomian negara. Oknum-oknum semacam ini sudah selayaknya ditindak secara
tegas, sehingga hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku pun wajib
ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara kita adalah negara hukum, sehingga tak
satupun warganya yang kebal hukum; baik itu pejabat tinggi maupun rakyat biasa.
Seorang yang memiliki kekuasaan jabatan dan ekonomi tidak membuat aparat
penegak hukum mengendurkan jeratan hukum dengan alasan sungkan atau bahkan setelah disuapkan
sesuatu ke dalam mulutnya, karena dengan alasan apapun dia telah memakan
yang bukan haknya. Di lain sisi, rakyat biasa tak lantas patut untuk dikasihani
jika memang terbukti melakukan kesalahan yang sama walaupun dengan alasan
keterbatasan ekonomi.
Mengingat korupsi yang kini telah menjalar
hingga ke akar, maka akan sulit kiranya jika pemberantasannya hanya dibebankan
pada satu pihak saja. Karena jika kita merujuk pada teori yang dikemukakan prof
Neil C. Chamelin tentang keterpaduan sistem peradilan pidana (intregated
criminal justice system), yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan,
Lembaga Permasyarakatan, dan Advokat, dikenal dengan terminologi Panca Wangsa
penegak hukum, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab semua pihak,
termasuk masyarakat. Namun tak cukup juga hanya dengan memiliki keinginan untuk
membasminya, namun juga harus dipastikan bahwa orang-orang yang berada dalam
jajaran penegak hukum di Indonesia juga bersih dari segala bentuk praktek yang
mendukung terjaganya kasus semacam ini. Karena bukan tak mungkin aparat penegak
hukum justru menjadi bagian dari mereka, pemakan hak rakyat. Atau bisa jadi
mereka membantu melicinkan jalan bagi mereka si pelaku atau bahkan yang paling
parah adalah menghilangkan jejak para koruptor.
Jadi, yang mula-mula harus mendapatkan
perhatian khusus, harus dibersihkan ialah para aparat penegak hukum. Bersihkan segala
bentuk praktek yang tidak patut. Karena untuk menegakkan hukum, dibutuhkan para
penegak hukum yang betul-betul menjunjung tinggi nilai hukum. Semboyan “meskipun langit runtuh hukum harus tetap
dijalankan” seyogyanya bukan hanya dipakai sebagai yel-yel pembakar semangat. Namun pada prakteknya, tidak sedikit
aparat penegak hukum Indonesia justru kerapkali menelikung dari aturan-aturan kemudian membuangnya ke
tong sampah dan menutupnya rapat-rapat, padahal langit kita belumlah runtuh.
Hal lain yang perlu mendapatkan sorotan
adalah mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Selama ini para
koruptor seolah tidak dibebani rasa takut ketika menjalankan praktek keji ini
karena memang tidak ada hukuman yang menakutkan bagi para koruptor terdahulu.
Hukum yang seolah dibuat remang sering memunculkan beberapa penafsiran sehingga
tak jarang memicu perdebatan. Saat-saat seperti inilah yang kemudian dijadikan
para koruptor untuk mencari cara agar terbebas dari jeratan hukum, seperti
menyewa pengacara kondang misalnya. Sehingga tak jarang ending dari sebuah kasus korupsi adalah pelaku kembali dapat bebas
menghirup udara segar dan mungkin saja kembali meneruskan aktifitas busuknya.
Demi memunculkan efek jera bagi pada
pelaku, wacana hukuman mati yang sempat digaungkan oleh berbagai pihak rasanya
perlu mendapat pertimbangan khusus. Terlebih lagi, Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar telah menyetujui hal ini, dengan demikian membuat hakim Tipikor berani
untuk mengimplementasikannya. Selama ini, UU yang mengatur masih membatasi
hukuman mati bagi pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, bencana
alam, atau dalam keadaan tertentu. Peraturan seperti ini dapat memudahkan
tersangka korupsi melenggang dengan mencari berbagai alasan yang membawanya
pergi dari jeratan hukuman mati.
Jika kita mau berkaca pada negara lain, Cina
misalnya, merupakan salah satu contoh
negara yang telah melegalkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan korupsi
dan ekonomi. Bermula pada tahun 1998, pemerintah Cina melakukan pemutihan
terhadap semua tersangka korupsi. Baru setelah seluruh pejabat dipastikan
bersih dari korupsi, hukuman mati akan berlaku bagi pejabat yang kedapatan
melakukan praktek korupsi sehari setelah proses pemutihan.
Ketegasan sanksi bagi para koruptor yang
dipegang teguh oleh Cina ini memang memunculkan efek jera bagi pelaku, namun
hukuman mati saja tak cukup rasanya mengingat jejak kerugian yang ditinggalkan.
Dalam hal ini tidak ada salahnya jika kita menengok pada Hongkong, sebuah kota
istimewa di Cina yang memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Di hongkong,
terdapat lembaga setara KPK yang diberi nama Independent Commision Againt Corruption (ICAC) yang dapat
menangkap, menggeledah, serta menyita tanpa memiliki surat perintah. Lembaga
ini memebekukan harta tersangka, kemudian menyita dokumen dan passpor sehingga
tersangka tidak bisa melarikan diri ke luar negeri. Ini membuat mereka akan
terhukum secara ekonomi, sehingga akan membutuhkan pemikiran berulang kali
sebelum melakukan praktek jahat ini.
Setelah berkaca pada dua negara yang
memiliki hukum tegas dalam memberantas korupsi, kita tidak lantas menelan
mentah-mentah kedua hukum tersebut, melainkan dengan menggabungkan keduanya
dengan menyertakan syarat-syarat tertentu. Misalkan saja, hukuman mati hanya
berlaku pada pelaku tindak kejahatan korupsi yang merugikan keuangan negara.
Dan untuk kasus korupsi lainnya, dapat dijerat dengan hukuman pidana ditambah
dengan hukuman ekonomi. Namun yang terpenting dari kesemuanya ini adalah
kesadaran bahwa korupsi adalah dosa besar karena telah merampas hak orang lain
dan ini wajib dihindari. Kita bisa memulai dari diri sendiri, karena untuk
menjadi perubah, terlebih dahulu kau harus berubah.
Nurul Istiqomah, mahasiswa TBI semester 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar