Sabtu, 14 November 2015

KORUPSI; TAK CUKUP DUA TANGAN UNTUK MELIBAS


Korupsi di Indonesia tampaknya telah mengurat daging. Telah menjadi semacam dosa yang dijadikan budaya turun-temurun. Bagaimana tidak, korupsi terjadi secara sistematik, dimana kini korupsi telah menginfeksi hampir ke seluruh tataran sistem pemerintahan mulai dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah sekalipun. Korupsi bukan lagi menjadi santapan para pejabat tinggi, namun pegawai biasapun sudah  mulai terbiasa dengan hal semacam ini, yang bisa menjadi candu bagi siapapun yang coba menjamahnya. Jika tidak ada sanksi tegas yang memunculkan efek jera pada pelaku, maka dapat dipastikan wabah ini akan semakin merebak.
Kasus korupsi yang dilakukan para pejabat penyelenggara Negara, merupakan suatu penghianatan kepercayaan yang telah dimandatkan kepadanya. Hal inilah yang kemudian menjadikan lunturnya kepercayaan rakyat terhadap wakilnya di kursi pemerintahan. Terlebih lagi, banyak pelaku korupsi yang justru lolos dari jerat hukum sambil menggondol hak-hak rakyat. Ironis memang, mereka yang digadang-gadang mampu membawa rakyat Indonesia sedikit melangkah menuju kehidupan yang lebih sejahtera, justru melemparnya pada jurang kesengsaraan.
Kelahiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan satu langkah berani pemerintah terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK sendiri merupakan sebuah lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan upaya pemberantasan korupsi yang dalam prakteknya berjalan secara independen tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Lembaga ini terlahir ke dunia disebabkan oleh aparat penegak hukum konvensional (kepolisian dan kejaksaan) tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik dalam hal tindak pidana korupsi. Sehingga dapat dikatakan bahwa KPK muncul sebagai jawaban dari kerja aparat penegak hukum konvensional yang buruk. Untuk membarantas kasus korupsi yang merupakan kasus luar biasa dibutuhkan manusia-manusia yang luar biasa pula. Ini kemudian menjadi sebuah gebrakan yang sangat membantu aparat penegak hukum (kepolisian, hakim, pengacara) dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu diharapkan KPK dan aparat penegak hukum berjalan bersama menegakkan hukum demi terciptanya Indonesia yang bebas korupsi. Namun faktanya adalah selama ini KPK masih berkutat pada pemberantasan korupsi di permukaan namun  belum mampu menyentuh apa yang sebenarnya menjadi akar penyebab maraknya praktek korupsi di Indonesia. Seperti halnya praktek uang pelicin yang marak terjadi di kalangan aparat penegak hukum dengan tujuan memutar lidah.
Dalam pemberantasan korupsi, dua hal yang perlu disorot adalah pelaku dan hukum. Oknum pelaku korupsi adalah pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga membawa dampak buruk terhadap sistem perekonomian negara. Oknum-oknum semacam ini sudah selayaknya ditindak secara tegas, sehingga hukum sesuai perundang-undangan yang berlaku pun wajib ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara kita adalah negara hukum, sehingga tak satupun warganya yang kebal hukum; baik itu pejabat tinggi maupun rakyat biasa. Seorang yang memiliki kekuasaan jabatan dan ekonomi tidak membuat aparat penegak hukum mengendurkan jeratan hukum dengan alasan sungkan atau bahkan setelah disuapkan sesuatu ke dalam mulutnya, karena dengan alasan apapun dia telah memakan yang bukan haknya. Di lain sisi, rakyat biasa tak lantas patut untuk dikasihani jika memang terbukti melakukan kesalahan yang sama walaupun dengan alasan keterbatasan ekonomi.
Mengingat korupsi yang kini telah menjalar hingga ke akar, maka akan sulit kiranya jika pemberantasannya hanya dibebankan pada satu pihak saja. Karena jika kita merujuk pada teori yang dikemukakan prof Neil C. Chamelin tentang keterpaduan sistem peradilan pidana (intregated criminal justice system), yaitu Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Permasyarakatan, dan Advokat, dikenal dengan terminologi Panca Wangsa penegak hukum, pemberantasan korupsi adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk masyarakat. Namun tak cukup juga hanya dengan memiliki keinginan untuk membasminya, namun juga harus dipastikan bahwa orang-orang yang berada dalam jajaran penegak hukum di Indonesia juga bersih dari segala bentuk praktek yang mendukung terjaganya kasus semacam ini. Karena bukan tak mungkin aparat penegak hukum justru menjadi bagian dari mereka, pemakan hak rakyat. Atau bisa jadi mereka membantu melicinkan jalan bagi mereka si pelaku atau bahkan yang paling parah adalah menghilangkan jejak para koruptor.
Jadi, yang mula-mula harus mendapatkan perhatian khusus, harus dibersihkan ialah para aparat penegak hukum. Bersihkan segala bentuk praktek yang tidak patut. Karena untuk menegakkan hukum, dibutuhkan para penegak hukum yang betul-betul menjunjung tinggi nilai hukum. Semboyan “meskipun langit runtuh hukum harus tetap dijalankan” seyogyanya bukan hanya dipakai sebagai yel-yel pembakar semangat. Namun pada prakteknya, tidak sedikit aparat penegak hukum Indonesia justru kerapkali menelikung  dari aturan-aturan kemudian membuangnya ke tong sampah dan menutupnya rapat-rapat, padahal langit kita belumlah runtuh.
Hal lain yang perlu mendapatkan sorotan adalah mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Selama ini para koruptor seolah tidak dibebani rasa takut ketika menjalankan praktek keji ini karena memang tidak ada hukuman yang menakutkan bagi para koruptor terdahulu. Hukum yang seolah dibuat remang sering memunculkan beberapa penafsiran sehingga tak jarang memicu perdebatan. Saat-saat seperti inilah yang kemudian dijadikan para koruptor untuk mencari cara agar terbebas dari jeratan hukum, seperti menyewa pengacara kondang misalnya. Sehingga tak jarang ending dari sebuah kasus korupsi adalah pelaku kembali dapat bebas menghirup udara segar dan mungkin saja kembali meneruskan aktifitas busuknya.
Demi memunculkan efek jera bagi pada pelaku, wacana hukuman mati yang sempat digaungkan oleh berbagai pihak rasanya perlu mendapat pertimbangan khusus. Terlebih lagi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar telah menyetujui hal ini, dengan demikian membuat hakim Tipikor berani untuk mengimplementasikannya. Selama ini, UU yang mengatur masih membatasi hukuman mati bagi pelaku korupsi saat negara sedang dilanda krisis, bencana alam, atau dalam keadaan tertentu. Peraturan seperti ini dapat memudahkan tersangka korupsi melenggang dengan mencari berbagai alasan yang membawanya pergi dari jeratan hukuman mati.
Jika kita mau berkaca pada negara lain, Cina  misalnya, merupakan salah satu contoh negara yang telah melegalkan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan korupsi dan ekonomi. Bermula pada tahun 1998, pemerintah Cina melakukan pemutihan terhadap semua tersangka korupsi. Baru setelah seluruh pejabat dipastikan bersih dari korupsi, hukuman mati akan berlaku bagi pejabat yang kedapatan melakukan praktek korupsi sehari setelah proses pemutihan.
Ketegasan sanksi bagi para koruptor yang dipegang teguh oleh Cina ini memang memunculkan efek jera bagi pelaku, namun hukuman mati saja tak cukup rasanya mengingat jejak kerugian yang ditinggalkan. Dalam hal ini tidak ada salahnya jika kita menengok pada Hongkong, sebuah kota istimewa di Cina yang memiliki wewenang dalam menetapkan hukum. Di hongkong, terdapat lembaga setara KPK yang diberi nama Independent Commision Againt Corruption (ICAC) yang dapat menangkap, menggeledah, serta menyita tanpa memiliki surat perintah. Lembaga ini memebekukan harta tersangka, kemudian menyita dokumen dan passpor sehingga tersangka tidak bisa melarikan diri ke luar negeri. Ini membuat mereka akan terhukum secara ekonomi, sehingga akan membutuhkan pemikiran berulang kali sebelum melakukan praktek jahat ini.
Setelah berkaca pada dua negara yang memiliki hukum tegas dalam memberantas korupsi, kita tidak lantas menelan mentah-mentah kedua hukum tersebut, melainkan dengan menggabungkan keduanya dengan menyertakan syarat-syarat tertentu. Misalkan saja, hukuman mati hanya berlaku pada pelaku tindak kejahatan korupsi yang merugikan keuangan negara. Dan untuk kasus korupsi lainnya, dapat dijerat dengan hukuman pidana ditambah dengan hukuman ekonomi. Namun yang terpenting dari kesemuanya ini adalah kesadaran bahwa korupsi adalah dosa besar karena telah merampas hak orang lain dan ini wajib dihindari. Kita bisa memulai dari diri sendiri, karena untuk menjadi perubah, terlebih dahulu kau harus berubah.
Nurul Istiqomah, mahasiswa TBI semester 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar