Sabtu, 14 November 2015

Aku dan Dee

Ini jawaban atas sms salah satu teman empat hari lalu. Aku merasa berhutang saat ku putuskan menolak meladeni smsnya. Saat itu, ada hal lain yang lebih penting ku urusi. Aku menjanjikan membahasnya esok hari. Lagi-lagi otakku yang tak terlalu besar ini tak mampu menampung terlalu banyak beban. Pending lagi. Bisa jadi orang yang menanyaiku sudah tak ingat lagi perihal ini, tapi aku tidak. Hutang tetaplah hutang.
Satu hari setelah temanku ini menghatamkan novel Dee “Kesatria, Purti, & Bintang Jatuh”, girang ia layangkan pesan padaku berisi laporan kerampungangannya sekaligus pertanyaan, “Suka sama Dee? Kenapa?” Ia memang hobi berkirim pesan, paling rajin dari semua kontak nomor di handphoneku. Sekonyong, aku sebut dia “pacar”.
Aku berkenalan dengan Dee, bersentuhan dengan karyanya sekitar empat bulan yang lalu. Saat yang lain kini tengah menanti karya Dee teranyar, aku masih merangkak, mencicip dan menjumput sedikit karyanya. Aku sedang menengadah demi mendapat koleksi karyanya. Aku sedang ingin menjadikan Dee sebagai karib. “Dee, terimalah aku sebagai kawan.”
Berawal dari empat novel yang aku beli di kisaran nol kilometer, Jogjakarta saat plesiran bersama teman Januari lalu. Kasihan, keempatnya aku diamkan beberapa lama hingga sadarku satu bulan kemudian. Aku sedang belajar membaca. Di sela rutinitas tak pentingku, aku sisipkan waktu untuk membaca karya Dee. Ia berjalan, menjelma ritual wajib. Meninggalkannya adalah dosa. Melupakannya merasa siksa. Hingga ku khatamkan empat novelnya. Di penghujung, aku rindu Dee.
Dee, cerdas tapi tidak tampak sok. Pinter tapi ora minteri. Suguhan diksi melukis ketajaman pikir. Ia piawai menggiring pembaca. Menebar candu sekaligus ranjau. Apabila kurang waspada, kita akan jatuh dalam peluknya. Mati bersama cinta. Begitulah Dee. Membaca novelnya, seakan merengkuh belasan buku. Dee mengajak pembaca mencicip ilmunya yang lain. Ia meramu beragam ilmu dalam sebuah fiksi. Mengemasnya demi membuat pembaca berhenti menguap. Meski tertatih, uapan yang keluar tak akan sesering saat kita membaca setumpuk jurnal atau buku ilmiah setebal kamus.
Dee pandai beralur. Ia paham benar kapan ia mesti membawa pembaca kemana. Ia tahu mau pembaca. Dia hadir sebagai penulis tak biasa. Tentu, penulis merangkul pembacanya sendiri. Pun Dee. Ia berhasil. Racikan candunya memenangkan hati pembaca. Aku salah satunya.

Berbekal rentangan waktu aku mengenal Dee, juga ragam novel yang pernah ku baca, rasanya belum mampu aku memutuskan untuk memuja Dee. Sejauh ini, cukuplah ku katakan, “Aku suka Dee”. Cinta kala pertama jumpa, dan terjaga hingga kini. Aku tumbuh tanpa idola. Tidak pernah aku benar-benar menaruh takjub. Sulit bagiku mencari sosok. Boleh jadi aku yang meski dalam diri telah tersemat doa orangtua, “istiqomah”, masih menyimpan “goyah” yang maha besar. Bukan mustahil Dee tergeser.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar