Ini jawaban atas sms salah satu teman empat hari lalu.
Aku merasa berhutang saat ku putuskan menolak meladeni smsnya. Saat itu, ada hal
lain yang lebih penting ku urusi. Aku menjanjikan membahasnya esok hari. Lagi-lagi
otakku yang tak terlalu besar ini tak mampu menampung terlalu banyak beban. Pending lagi. Bisa jadi orang yang
menanyaiku sudah tak ingat lagi perihal ini, tapi aku tidak. Hutang tetaplah
hutang.
Satu hari setelah temanku ini menghatamkan novel Dee
“Kesatria, Purti, & Bintang Jatuh”, girang ia layangkan pesan padaku berisi
laporan kerampungangannya sekaligus pertanyaan, “Suka sama Dee? Kenapa?” Ia
memang hobi berkirim pesan, paling rajin dari semua kontak nomor di handphoneku. Sekonyong, aku sebut dia
“pacar”.
Aku berkenalan dengan Dee, bersentuhan dengan karyanya
sekitar empat bulan yang lalu. Saat yang lain kini tengah menanti karya Dee
teranyar, aku masih merangkak, mencicip dan menjumput sedikit karyanya. Aku sedang
menengadah demi mendapat koleksi karyanya. Aku sedang ingin menjadikan Dee
sebagai karib. “Dee, terimalah aku
sebagai kawan.”
Berawal dari empat novel yang aku beli di kisaran nol
kilometer, Jogjakarta saat plesiran bersama teman Januari lalu. Kasihan,
keempatnya aku diamkan beberapa lama hingga sadarku satu bulan kemudian. Aku
sedang belajar membaca. Di sela rutinitas tak pentingku, aku sisipkan waktu
untuk membaca karya Dee. Ia berjalan, menjelma ritual wajib. Meninggalkannya
adalah dosa. Melupakannya merasa siksa. Hingga ku khatamkan empat novelnya. Di
penghujung, aku rindu Dee.
Dee, cerdas tapi tidak tampak sok. Pinter tapi ora minteri. Suguhan diksi melukis ketajaman pikir. Ia
piawai menggiring pembaca. Menebar candu sekaligus ranjau. Apabila kurang
waspada, kita akan jatuh dalam peluknya. Mati bersama cinta. Begitulah Dee.
Membaca novelnya, seakan merengkuh belasan buku. Dee mengajak pembaca mencicip
ilmunya yang lain. Ia meramu beragam ilmu dalam sebuah fiksi. Mengemasnya demi
membuat pembaca berhenti menguap. Meski tertatih, uapan yang keluar tak akan
sesering saat kita membaca setumpuk jurnal atau buku ilmiah setebal kamus.
Dee pandai beralur. Ia paham benar kapan ia mesti membawa
pembaca kemana. Ia tahu mau pembaca. Dia hadir sebagai penulis tak biasa. Tentu,
penulis merangkul pembacanya sendiri. Pun Dee. Ia berhasil. Racikan candunya
memenangkan hati pembaca. Aku salah satunya.
Berbekal rentangan waktu aku mengenal Dee, juga ragam
novel yang pernah ku baca, rasanya belum mampu aku memutuskan untuk memuja Dee.
Sejauh ini, cukuplah ku katakan, “Aku suka Dee”. Cinta kala pertama jumpa, dan
terjaga hingga kini. Aku tumbuh tanpa idola. Tidak pernah aku benar-benar
menaruh takjub. Sulit bagiku mencari sosok. Boleh jadi aku yang meski dalam
diri telah tersemat doa orangtua, “istiqomah”, masih menyimpan “goyah” yang
maha besar. Bukan mustahil Dee tergeser.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar