Pucanglaban,17 April 2013
Apa yang dirasakan si pitung, Robinhood, ataupun Zorro saat menjarah harta warga yang kaya
untuk dibagikan pada kaum yang membutuhkan mungkin turut aku rasakan saat itu,
menyalahi aturan demi menolong yang patut ditolong. Aku memang tak pantas untuk
disejajarkan dengan mereka yang telah banyak melakukan berbagai hal demi rakyat, yang melakukannya dari hati
karena melihat kesenjangan yang tak sedap dipandang mata. Sedangkan aku, hanya
sebuah kebetulan yang membawaku menuju ke sana.
Pagi itu, ketua kelasku mendekatiku di sela
presentasi rekanku tentang sertifikasi guru profesional. Tidak biasanya pria
yang akrab dipanggil Abang ini tidak fokus pada perkuliahan. Dia membuka dengan
bertanya “mak, gelem gak melu aku?” langsung
saja kusambut dengan gelak tawa. Tampangnya yang terlihat tak serius aku anggap
sebagai guyonan, godaan atau semacamnya.
“nandi
bang?” lanjutku saat
melihat air mukanya yang mulai menampakkan keseriusan.
“ke
suatu tempat,” dia masih
saja mengajakku berguyon. Ya, penghuni kelasku memang berselara humor tinggi,
mungkin ini yang menyebabkan wajah kami terbilang imut dibanding kelas-kelas
lainnya. Bahkan banyak panggilan-panggilan yang terdengar aneh atau bahkan
mengundang gelak tawa bagi orang-orang di luaran sana, seperti mamil/emak
buatku, abang untuk ketua kelasku, budhe untuk Nunung, yangti untuk Novi, ayah
untuk Latif, dan tante untuk dua temanku yang sudah menikah, Rani Prastika dan
Naima, dan masih banyak lagi yang memiliki panggilan kesayangan di kelasku ini.
Kesemuanya beralasan, yang kurang tepat rasanya jika kuceritakan di sini.
inilah yang bisa menjadi cerita yang menarik saat aku sudah tak lagi muda
kelak.
Belum sempat aku menanggapinya, bapak dosen masuk
kelas dan pembicaraan kami pun tertunda sampai di sini. Abang masih duduk di
sampingku namun fokusku pada perkuliahan saat itu menghilangkan pikiran tentang
topik tak penting barusan. Hingga perkuliahan usai dan Abang mulai membicarakan
hal yang sama.
“Mak,
gelem melu gak?” kembali
ia ulangi pertanyaan yang sama.
“Nandi
se Bang? Ujarku
mengajaknya untuk serius.
“Marai
UAN,” jawabnya ragu.
Melihat aku yang tercengang, terkaget, ia mulai
menjelaskan bahwa ayah (Latif) menawarinya untuk mengajari siswa paket C yang
sedang menempuh Ujian Nasional sore nanti di Pucanglaban, tempat tinggalnya. Pelajaran
Bahasa Inggris pastinya. Ayah mengajakku dan abang karena di antara
teman-temannya, kamilah yang dianggap paling mampu menjalankan tugas ini.
Awalnya aku ragu untuk melangkahkan kaki mengingat itu adalah sebuah
pelanggaran hukum. Yang ada di benakku saat itu adalah bagaimana jika aku di penjara? Sebuah pikiran yang terlalu jauh
tapi besar kemungkinan terjadi. Abang mencoba untuk menjelaskan jika kita
meniatkannya untuk menolong, maka InsyaAllah semuanya akan aman. Berulang kali
aku memastikan bahwa keamanku terjamin di sana. Masih saja ragu menghantuiku
hingga akhirnya aku memutuskan untuk ikut setelah berulangkali ayah dan abang
meyakinkanku.
Pukul 13.30 WIB abang menjemputku di kos. Dengan
berpakaian hitam putih yang tentu saja kami tutup dengan jaket untuk
menghindari malu, kami berangkat berboncengan. Sedikit bertanya ke sana kemari
kami lakukan karena peta buatan tangan ayah tertinggal di kelas. Setelah
menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam tibalah kami di sebuah rumah
berhalaman di depan sebuah masjid dengan sekolah diniahnya, rumah ayah Latif.
Disitu kami menunggu selama lebih dari satu jam. Semilir angin
meninabobokkanku. Malu rasanya saat kepergok ibunya ketika tengah tertidur.
Terlalu lama memang kami menunggu di sini. kemudian Ayah menjemput kami dengan
sedan tuanya dan membawa ke sana segera
setelah jam kedua dimulai. Pukul 15.30 waktu itu.
Ayah memarkir sedannya di sebuah halaman besar
yang berkeliling kelas-kelas yang sedang menyelenggarakan UAN untuk paket C.
Setelah memastikan semua aman, aku diajaknya masuk ke dalam sebuah kelas yang
berisi sekitar sepuluh orang. Aku tak tahu pasti karena aku tak sempat
melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak sama sekali sampai aku keluar
dari kelas ini. Sedangkan abang sendiri di tempatkan di kelas yang berbeda.
Aku di dudukkan di bangku terdepan dan segera
mendapat tugas untuk mengerjakan soal orang di sebelahku, seorang bapak yang
kuperkirakan berumur 30-an tahun. Kikuk
mulanya, tapi itulah tugasku di sini. Membantu semua orang yang ada di sini,
bukan mengerjakan milik seorang saja. Maka dari itu aku berpindah-pindah
setelah mengerjakan 3-5 soal. Bukan satu dua kali aku dikagetkan oleh seseorang
yang memasuki kelas. Aku sangat tahu, posisiku tak aman di sini. Awalnya kelas
masih hening terkendali, ketika aku sudah pindah untuk ketiga kalinya kelas
berubah layaknya pasar ikan. Semua berjubel mengerumuniku, berkomentar ini dan
itu. Sungguh, ini membuyarkan konsentrasiku. Aku harus membaca berulang-ulang
sebuah bacaan panjang untuk menjawab soal-soal di bawahnya. Hal yang seharusnya
bisa kulakukan satu dua kali saja. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku
jika aku berada di antara mereka sebagai peserta UAN. Kemungkinan mendapat
nilai bagus kecil sekali. Aku tak bisa serta merta mennyalahkan mereka, karena
memang mereka memegang soal yang berbeda dan mengharuskan mereka mencocokkan
soal demi soal untuk bisa mencontoh jawaban kawan. Dan yang terpenting adalah
mereka yang 90% sudah tak muda lagi sama sekali tak tahu-menahu tentang bahasa
Inggris. Jangankan untuk mengerti artinya, membacanya pun tak sannggup.
Ujian macam apa ini?? Aku adalah pelaku curang di
sini. Dengan dalih membantu orang-orang ini aku menghalalkan percontekan. Bukan
sebagai pelaku internal, tapi aku sengaja datang ke sini sebagai fasilitator.
Sebanyak mungkin aku hembuskan kalimat istighfar di sela nafasku. Berharap
Allah sedikit mengampuni dosaku ini.
Satu setengah jam berlalu tanpa sempat aku
mengobrol atau sekedar menatap lekat wajah masing-masing dari mereka. Hanya
pandangan sekilas sebagai pengantar mengerjakan soalnya. Aku rasa memang tak
ada waktu untuk itu. Satu setengah jam terasa singkat saat aku tak menggunakan
penuh konsentrasiku, ditambah pula aku harus mengerjakan puluhan soal yang
berbeda. Ketika satu-persatu peserta keluar kelas tanda dia menganggap
jawabannya telah sempurna, dadaku sedikit terbuka, oksigen dan kabondioksida
tak lagi berebut jalan. Hingga aku memastikan semua telah terselaikan, baru
kuberanjak meninggalkan kelas penuh dosa itu.
Di luar, kutemui abang yang tak bisa menahan tawa.
Kisahnya tak berbeda jauh denganku. Bahkan di dalam kelasnya dia bertemu
presiden BEM. Malunya berlipat katanya. Untuk bebeapa saat kami melepas segala
beban, saling mencurahkan isi hati dengan diiringi gelak tawa tiada henti. Kami
masih belum yakin kami berada di tempat seperti ini.
Satu harapanku saat aku tinggalkan tempat ini,
semoga apa yang kulakukan beberapa saat lalu betul-betul bisa menolong mereka.
Tak lain itulah tujuanku datang ke tempat ini. Aku tak ingin ini kembali
terulang. Dan jalan satu-satunya adalah dengan penghapusan Ujian Nasional yang
penuh dengan noda ini. Indonesia sudah tak bisa dipercaya melakukan kegiatan
ini. Jika ini tetap berlanjut, maka akan lebih banyak lagi orang-orang yang
akan menanggung dosa sepertiku, orang-orang yang menghalalkan segala cara demi
mencapai sebuah kesetaraan. Semoga tak ada lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar