Sabtu, 14 November 2015

BERBUAT DOSA DEMI KEBAIKAN

Pucanglaban,17 April 2013

Apa yang dirasakan si pitung, Robinhood, ataupun Zorro saat menjarah harta warga yang kaya untuk dibagikan pada kaum yang membutuhkan mungkin turut aku rasakan saat itu, menyalahi aturan demi menolong yang patut ditolong. Aku memang tak pantas untuk disejajarkan dengan mereka yang telah banyak melakukan berbagai hal demi rakyat, yang melakukannya dari hati karena melihat kesenjangan yang tak sedap dipandang mata. Sedangkan aku, hanya sebuah kebetulan yang membawaku menuju ke sana.
Pagi itu, ketua kelasku mendekatiku di sela presentasi rekanku tentang sertifikasi guru profesional. Tidak biasanya pria yang akrab dipanggil Abang ini tidak fokus pada perkuliahan. Dia membuka dengan bertanya “mak, gelem gak melu aku?” langsung saja kusambut dengan gelak tawa. Tampangnya yang terlihat tak serius aku anggap sebagai guyonan, godaan atau semacamnya.
“nandi bang?” lanjutku saat melihat air mukanya yang mulai menampakkan keseriusan.
“ke suatu tempat,” dia masih saja mengajakku berguyon. Ya, penghuni kelasku memang berselara humor tinggi, mungkin ini yang menyebabkan wajah kami terbilang imut dibanding kelas-kelas lainnya. Bahkan banyak panggilan-panggilan yang terdengar aneh atau bahkan mengundang gelak tawa bagi orang-orang di luaran sana, seperti mamil/emak buatku, abang untuk ketua kelasku, budhe untuk Nunung, yangti untuk Novi, ayah untuk Latif, dan tante untuk dua temanku yang sudah menikah, Rani Prastika dan Naima, dan masih banyak lagi yang memiliki panggilan kesayangan di kelasku ini. Kesemuanya beralasan, yang kurang tepat rasanya jika kuceritakan di sini. inilah yang bisa menjadi cerita yang menarik saat aku sudah tak lagi muda kelak.
Belum sempat aku menanggapinya, bapak dosen masuk kelas dan pembicaraan kami pun tertunda sampai di sini. Abang masih duduk di sampingku namun fokusku pada perkuliahan saat itu menghilangkan pikiran tentang topik tak penting barusan. Hingga perkuliahan usai dan Abang mulai membicarakan hal yang sama.
“Mak, gelem melu gak?” kembali ia ulangi pertanyaan yang sama.
“Nandi se Bang? Ujarku mengajaknya untuk serius.
“Marai UAN,” jawabnya ragu.
Melihat aku yang tercengang, terkaget, ia mulai menjelaskan bahwa ayah (Latif) menawarinya untuk mengajari siswa paket C yang sedang menempuh Ujian Nasional sore nanti di Pucanglaban, tempat tinggalnya. Pelajaran Bahasa Inggris pastinya. Ayah mengajakku dan abang karena di antara teman-temannya, kamilah yang dianggap paling mampu menjalankan tugas ini. Awalnya aku ragu untuk melangkahkan kaki mengingat itu adalah sebuah pelanggaran hukum. Yang ada di benakku saat itu adalah bagaimana jika aku di penjara? Sebuah pikiran yang terlalu jauh tapi besar kemungkinan terjadi. Abang mencoba untuk menjelaskan jika kita meniatkannya untuk menolong, maka InsyaAllah semuanya akan aman. Berulang kali aku memastikan bahwa keamanku terjamin di sana. Masih saja ragu menghantuiku hingga akhirnya aku memutuskan untuk ikut setelah berulangkali ayah dan abang meyakinkanku.
Pukul 13.30 WIB abang menjemputku di kos. Dengan berpakaian hitam putih yang tentu saja kami tutup dengan jaket untuk menghindari malu, kami berangkat berboncengan. Sedikit bertanya ke sana kemari kami lakukan karena peta buatan tangan ayah tertinggal di kelas. Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam tibalah kami di sebuah rumah berhalaman di depan sebuah masjid dengan sekolah diniahnya, rumah ayah Latif. Disitu kami menunggu selama lebih dari satu jam. Semilir angin meninabobokkanku. Malu rasanya saat kepergok ibunya ketika tengah tertidur. Terlalu lama memang kami menunggu di sini. kemudian Ayah menjemput kami dengan sedan tuanya dan  membawa ke sana segera setelah jam kedua dimulai. Pukul 15.30 waktu itu.
Ayah memarkir sedannya di sebuah halaman besar yang berkeliling kelas-kelas yang sedang menyelenggarakan UAN untuk paket C. Setelah memastikan semua aman, aku diajaknya masuk ke dalam sebuah kelas yang berisi sekitar sepuluh orang. Aku tak tahu pasti karena aku tak sempat melayangkan pandangan ke seluruh ruangan. Tidak sama sekali sampai aku keluar dari kelas ini. Sedangkan abang sendiri di tempatkan di kelas yang berbeda.
Aku di dudukkan di bangku terdepan dan segera mendapat tugas untuk mengerjakan soal orang di sebelahku, seorang bapak yang kuperkirakan berumur 30-an tahun.  Kikuk mulanya, tapi itulah tugasku di sini. Membantu semua orang yang ada di sini, bukan mengerjakan milik seorang saja. Maka dari itu aku berpindah-pindah setelah mengerjakan 3-5 soal. Bukan satu dua kali aku dikagetkan oleh seseorang yang memasuki kelas. Aku sangat tahu, posisiku tak aman di sini. Awalnya kelas masih hening terkendali, ketika aku sudah pindah untuk ketiga kalinya kelas berubah layaknya pasar ikan. Semua berjubel mengerumuniku, berkomentar ini dan itu. Sungguh, ini membuyarkan konsentrasiku. Aku harus membaca berulang-ulang sebuah bacaan panjang untuk menjawab soal-soal di bawahnya. Hal yang seharusnya bisa kulakukan satu dua kali saja. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasibku jika aku berada di antara mereka sebagai peserta UAN. Kemungkinan mendapat nilai bagus kecil sekali. Aku tak bisa serta merta mennyalahkan mereka, karena memang mereka memegang soal yang berbeda dan mengharuskan mereka mencocokkan soal demi soal untuk bisa mencontoh jawaban kawan. Dan yang terpenting adalah mereka yang 90% sudah tak muda lagi sama sekali tak tahu-menahu tentang bahasa Inggris. Jangankan untuk mengerti artinya, membacanya pun tak sannggup.
Ujian macam apa ini?? Aku adalah pelaku curang di sini. Dengan dalih membantu orang-orang ini aku menghalalkan percontekan. Bukan sebagai pelaku internal, tapi aku sengaja datang ke sini sebagai fasilitator. Sebanyak mungkin aku hembuskan kalimat istighfar di sela nafasku. Berharap Allah sedikit mengampuni dosaku ini.
Satu setengah jam berlalu tanpa sempat aku mengobrol atau sekedar menatap lekat wajah masing-masing dari mereka. Hanya pandangan sekilas sebagai pengantar mengerjakan soalnya. Aku rasa memang tak ada waktu untuk itu. Satu setengah jam terasa singkat saat aku tak menggunakan penuh konsentrasiku, ditambah pula aku harus mengerjakan puluhan soal yang berbeda. Ketika satu-persatu peserta keluar kelas tanda dia menganggap jawabannya telah sempurna, dadaku sedikit terbuka, oksigen dan kabondioksida tak lagi berebut jalan. Hingga aku memastikan semua telah terselaikan, baru kuberanjak meninggalkan kelas penuh dosa itu.
Di luar, kutemui abang yang tak bisa menahan tawa. Kisahnya tak berbeda jauh denganku. Bahkan di dalam kelasnya dia bertemu presiden BEM. Malunya berlipat katanya. Untuk bebeapa saat kami melepas segala beban, saling mencurahkan isi hati dengan diiringi gelak tawa tiada henti. Kami masih belum yakin kami berada di tempat seperti ini.

Satu harapanku saat aku tinggalkan tempat ini, semoga apa yang kulakukan beberapa saat lalu betul-betul bisa menolong mereka. Tak lain itulah tujuanku datang ke tempat ini. Aku tak ingin ini kembali terulang. Dan jalan satu-satunya adalah dengan penghapusan Ujian Nasional yang penuh dengan noda ini. Indonesia sudah tak bisa dipercaya melakukan kegiatan ini. Jika ini tetap berlanjut, maka akan lebih banyak lagi orang-orang yang akan menanggung dosa sepertiku, orang-orang yang menghalalkan segala cara demi mencapai sebuah kesetaraan. Semoga tak ada lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar