Oleh: Nurul Istiqomah
“Jangan
pergi, pak. Kemarin saja sampean ketangkap
satpol PP. Malah tambah repot nanti kita,” bujuk Sri pagi itu. Sri adalah
istriku. Istri paling cerewet sedunia. Ia tak akan membiarkan rumah sepi tanpa
omelnya.
“Ndak, bu.
Ini sudah bulan kedua Angger menunggak bayar SPP. Aku harus dapat uang hari
ini. Paling tidak kita bisa mengangsur. Nanti biar aku yang datang langsung ke
sekolah,” aku tetap kukuh pendirian.
“Ealah, pak, pak. Tiap hari yang diomongin itu
terus. Mana buktinya?”
“Akan ku usahakan hari ini. Aku janji.”
“Nggak usah janji, pak. Dosa kalau nggak bisa
menepati.”
Aku sudah tak kuasa mencipta suara untuk seribu
pembelaan yang berjubel di kepala. Lidahku kelu.
“Wes sak
karepmu, pak.[1]
Aku mau masak,” serunya sambil lalu.
“Loh, berasnya masih, bu?” Takut-takut kembali ku lontarkan tanya.
“Aku nggak tega lihat anakku kelaparan, pak. Nggak
kayak kamu!” Tahu-tahu ia sudah berdiri di depanku. Berkacak pinggang pula.
Bisu. Aku mendadak bisu. Istriku menuduhku tak
bertanggung jawab. Sudah sebulan sejak pelarangan pedagang asongan masuk kereta
api dan stasiun, tak sekalipun aku memberi nafkah. Istriku lah yang mencari
hutang kesana kemari. Menekan malu demi anak tetap makan.
Lima belas tahun aku hidup bersama Sriatin, seorang
gadis desa yang ku boyong ke kota selepas menikah. Ia istri yang tak banyak
menuntut. Istri Jawa yang nrimo. Tidak
pernah memaksaku membelikan baju baru atau mengajaknya jalan-jalan di akhir
pekan. Ia hanya tersenyum dan beringsut ketika seorang tetangga pamer TV barunya
yang selebar pintu setipis triplek. Aku bangga memilikinya. Ia lah istri soleha
serupa doa bapak ibuku sewaktu aku masih membujang.
Namun, dua tahun terakhir sejak sulungku menginjak jenjang
sekolah menengah dan bungsuku masuk sekolah dasar, istriku terlahir sebagai
manusia baru. Bendungan sabar yang telah ia bangun selama belasan tahun jebol
juga akhirnya. Ia berubah menjadi istri bawel. Istri yang berani nyinyir sebab
tingkah tolol suami.
Aku, sadar betul kondisi istriku. Jutaan caci yang
ia pendam selama ini terlontar juga. Setelah apa yang ku berikan padanya selama
ini, aku tak kuasa melarangnya berkata nyinyir. Tak mampu mencegahnya menjelma seseorang
yang baru. Karena aku sadar ini sepenuhnya imbas dosa yang musti ku tanggung.
***
Dan pagi ini, kuterjang dingin berbekal ngiang
amarah istri. Di saat yang lain lebih memilih menarik selimut yang melorot, ku
teguhkan langkah demi penuhi janji-janji yang tiap kali ku ucap tuai cela
istri. Peluh yang ku keluarkan tiap hari
tak jua mampu bayar lunas keluh anak istri.
Ku bikin satu dua langkah berseling jeda. Omelan
istriku kali ini sungguh terasa menikam. Serupa tamparan untuk pipi yang tak jua
sadar akan salah. Setengah jam berjalan aku baru menempuh setengah perjalanan.
Perjalanan yang amat melelahkan. Perjalanan yang mestinya bisa ku tempuh lima
belas menit saja.
Kembali ku bikin jeda. Dan dalam jedaku kali ini, di
bawah temaram lampu jalan, ku lihat sosok yang terlihat kepayahan mendorong
sesuatu. Lama ku tatap berharap ia mahluk sepertiku. Maklum saja, hari masih
gelap. Jadi ku rasa mahluk tak kasat mata boleh jadi masih berkeliaran.
“Oalah, Cak[2]
Kumis. Tak kira setan. Loh, lapo montore
peno tuntun[3]?”
seruku segera setelah tubuh gembul dan kumis tebalnya tersorot terang lampu.
“Lambemu, Dul!
La lapo setan atek gelem nyurung montor. Sial aku dino iki, Dul. Banku kecucuk
paku. Entek mbledos,”[4] Cak
Kumis galak menyambut tanyaku. Khas betul logat orang Surabaya.
“Ealah, saknoe.[5]
Sini tak bantu dorong.”
“Alhamdulillah. Wong
apik ketemu wong apik.[6]
Ayo cepetan, Dul. Udah capek aku dorong sendirian dari tadi.”
“Loh, Cak. Sampean
bawa apa ini?” tanyaku sambil menekan-nekan karung yang diikat di jok
belakang motor. Padat nan empuk.
“Itu amanat, Dul. Makanya aku rela nuntun demi mengantarnya ke tempat
tujuan.”
“Amanat apa se,
Cak?” Aku makin penasaran.
“Itu kaos yang ada gambar presidennya, Dul. Gambar
dia naik becak. Presiden kita kan dekat dengan rakyat. Ini aku juga pakai,”
jelasnya sembari membuka resleting jaketnya berniat menunjukkan kaosnya yang
bergambar presiden.
Aku mengamatinya perlahan. Gambar di kaosnya, pula
gambar wajahnya yang tampak begitu bangga dan bungah.[7]
Ia tunjukkan senyum terindahnya. Kumis yang biasanya menutup lengkung bibirnya,
kini sedikit tersibak.
“Becak, Dul. Aku ini tukang becak. Presidenku deket
sama aku, Dul. Aku bangga presidenku berpihak pada kaum kecil kayak kita.”
“Terus kaos sebanyak ini mau diapain, Cak?” Aku tak
tertarik pada ceritanya. Setahuku semua pemimpin sama. Nyatanya, orang-orang
sepertiku masih banyak. Mereka memang pintar merayu.
“Mau tak bagi ke semua tukang becak di Surabaya. Aku
jadi agen untuk Surabaya. Program ini merata di seluruh Indonesia. Kamu mau
jadi agen juga?” Ia menawariku.
“Mboten, Cak.
Suwun[8],” aku
sama sekali tak tertarik.
“Ya sudah. Eh, sampai sini saja,” Cak Kumis berhenti
di depan bengkel yang masih tutup. “Wes,
ta la. Budalo. Diluk maneh lak buka a. Suwun wes diewangi,[9]”
Cak Kumis tahu aku tak tega meninggalkannya sendiri.
“Baiklah kalau itu maumu, Cak.”
“Eh, Dul. Ini tak kasih satu buatmu,” ujarnya
sembari memberiku sebuah kaos.
“Buat apa, Cak? Aku pedagang asongan, bukan tukang
becak,” aku bingung untuk menolak.
“Buat doa, Dul. Aku tahu, orang kecil kayak kita
butuh uluran tangan pemimpin. Siapa tahu besok yang ada di kaos itu gambarmu, pedagang
asongan. Itu artinya kamu juga diperhatikan pak presiden, Dul,” ia berusaha meyakinkanku
akan alasan yang menurutku sama sekali tak logis.
Aku terdiam. Sempurna terdiam. Berusaha mencerna
maksud kata-katanya. Tapi tetap saja aku tak paham.
“Aku tahu kamu butuh duit, Dul. Kemarin istrimu ke
rumahku mau pinjam duit. Katanya buat bayar sekolah Angger. Nggak tak kasih. La wong aku juga nggak punya duit. Tapi
pas pulang, sama istriku dibawain beras. Kasihan aku, Dul, lihat istrimu,”
panjang lebar ia jelaskan kedatangan istriku ke rumahnya. “Sudahlah, nggak usah
malu. Aku iki gak combe,[10] Dul.
Anggap saja kaos itu doa. Harapan buat presidenmu sekarang. Semoga kamu diberi
lancar rejeki.”
“Nggih,
Cak. Suwun.” Aku benar-benar terharu
menyadari besarnya usaha istriku menyelamatkan ekonomi keluarga. Pun Cak Kumis,
orang yang terkesan garang namun menyimpan iba padaku.
“Wes, gak usah
gembeng.[11]
Segera kejar mimpi anak istrimu.” Ia menepuk pundakku memberi semangat.
Ku cium tangan Cak Kumis. Hari ini, ia serupa guru
bagiku. Guru yang menamparku berulang-ulang. Guru yang menyadarkanku akan
tanggung jawab besar tanpa membikinku kepayahan memikulnya. Di hadapannya, ku
kenakan kaos pemberiannya.
Dan langkah yang ku bikin berikutnya sungguh
membuatku serasa melayang. Langkahku begitu ringan. Hingga sampailah aku di
ladang rejeki. Tempatku mengais nasi. Namun tiba-tiba nyaliku kecut. Para pria
berseragam hitam terlihat mondar-mandir. aku gentar. Aku hanya sanggup melewati
beberapa anak tangga untuk kemudian bersimpuh disana.
Terbukti kaosku tak menolong. Setidaknya untuk
memompa keberanian. Keberanianku sekejap musnah oleh pria berseragam. Maafkan
aku, Sri. Maafkan aku, Cak Kumis.
Satu, dua, empat, tujuh, sepuluh kereta telah ku
lewatkan. Puluhan keping uang telah ku buang. Ingin sekali aku menjerit.
Meronta pada gambar di kaosku. Meminta pertolongannya. Berharap belas kasihnya.
Tapi nihil yang ku terima. Ia yang tak berwujud mustahil bisa membantu.
***
Sengat matahari sempurna lenyap. Menyisakan semburat
jingga di ufuk barat. Di ujung tangga pintu masuk stasiun Surabaya, aku setia
terduduk. Ku letakkan begitu saja tubuh di lantai. Setiap mata yang melintas
menyempatkan diri bergerak menaruh pandang. Beberapa rela berbagi senyum.
Lantas ku sedekahkan lengkung terindah di bibir keringku demi membalasnya.
Orang serupa diriku tak kan mampu membikin banyak laku berbagi. Hanya yang tak
berbayar yang sanggup ku bagi.
Sesekali bulu bangkit tersentuh desir angin. Genit
betul ia sore itu. Menggodaku untuk larut pada candanya.Menggelitik tiap inci
tubuhku demi membikin bergidik. Aku sedang tak ingin bersenda senja ini. Aku
tak lagi punya cukup senjata untuk membela diri, lebih-lebih melawan. Hanya
dengan kaos tipis yang membalut jasad ringkihku, pastilah aku tak mampu melawan
tiup angin yang gemar datang bergerombol.
Sudah lepas pukul 18.00 dan telah lebih 12 jam aku
bergeming. Duduk bersimpuh sembari mendekap keranjang berbungkus kresek hitam.
Berkali-kali kuangkat, beratnya tak berubah. Untuk kesekian kalinya aku benci
diriku sendiri. Diri yang tak mampu beranjak dari ketakmujuran meski di awal
getol melawan keyakinan kaum Qodariyah. Hidup bukan kepasrahan. Ingin penuhi
maksud maka kau wajib memperjuangkan asa yang telah tertabur. Sebuah konsep
keyakinan yang tak lagi mampu ku pegang. Setidaknya hari ini, saat ku rasa
jasad tak lagi mampu melawan gelisah. Ya, gelisahku memenangkan hari ini.
Hari ini ku putuskan untuk tidak pulang. Aku tak
cukup pandai menyimpan malu layaknya istriku. Ku rasa maluku kian menumpuk.
Malu sebab lalai akan kewajiban. Biarlah aku menanggung dosa ini tanpa harus
membebani istriku. Sekedar memberinya makan pun aku tak sanggup.
Malam di langit Surabaya mulai merangkak seraya
membawaku turut serta. Menyisakan gurat kelam dan carut-marut di mukaku. Dan
kini, aku hanya ingin bercumbu bersama presidenku. Presiden kaosku. Hanya itu.
Tulungagung, 1
September 2014
[1]
Terserah lah, pak.
[2]
Panggilan untuk pria yang lebih tua
[3]
Kenapa motornya kamu dorong?
[4]
Mulutmu, Dul! Masak ada setan yang mau mendorong motor. Sial aku hari ini, Dul.
Banku tertusuk paku. Habislah pecah.
[5]
Kasihan.
[6]
Orang baik ketemu orang baik.
[7]
Gembira.
[8]
Tidak, terimakasih.
[9]
Sudah lah, berangkatlah. Sebentar lagi pasti buka. Terimakasih sudah ditemani.
[10]
Aku bukan pembongkar aib.
[11]
Sudah, nggak usah cengeng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar