Sabtu, 14 November 2015

Kaos Gambar Presiden

Oleh: Nurul Istiqomah
 “Jangan pergi, pak. Kemarin saja sampean ketangkap satpol PP. Malah tambah repot nanti kita,” bujuk Sri pagi itu. Sri adalah istriku. Istri paling cerewet sedunia. Ia tak akan membiarkan rumah sepi tanpa omelnya.
Ndak, bu. Ini sudah bulan kedua Angger menunggak bayar SPP. Aku harus dapat uang hari ini. Paling tidak kita bisa mengangsur. Nanti biar aku yang datang langsung ke sekolah,” aku tetap kukuh pendirian.
“Ealah, pak, pak. Tiap hari yang diomongin itu terus. Mana buktinya?”
“Akan ku usahakan hari ini. Aku janji.”
“Nggak usah janji, pak. Dosa kalau nggak bisa menepati.”
Aku sudah tak kuasa mencipta suara untuk seribu pembelaan yang berjubel di kepala. Lidahku kelu.
Wes sak karepmu, pak.[1] Aku mau masak,” serunya sambil lalu.
“Loh, berasnya masih, bu?” Takut-takut kembali  ku lontarkan tanya.
“Aku nggak tega lihat anakku kelaparan, pak. Nggak kayak kamu!” Tahu-tahu ia sudah berdiri di depanku. Berkacak pinggang pula.
Bisu. Aku mendadak bisu. Istriku menuduhku tak bertanggung jawab. Sudah sebulan sejak pelarangan pedagang asongan masuk kereta api dan stasiun, tak sekalipun aku memberi nafkah. Istriku lah yang mencari hutang kesana kemari. Menekan malu demi anak tetap makan.
Lima belas tahun aku hidup bersama Sriatin, seorang gadis desa yang ku boyong ke kota selepas menikah. Ia istri yang tak banyak menuntut. Istri Jawa yang nrimo. Tidak pernah memaksaku membelikan baju baru atau mengajaknya jalan-jalan di akhir pekan. Ia hanya tersenyum dan beringsut ketika seorang tetangga pamer TV barunya yang selebar pintu setipis triplek. Aku bangga memilikinya. Ia lah istri soleha serupa doa bapak ibuku sewaktu aku masih membujang.
Namun, dua tahun terakhir sejak sulungku menginjak jenjang sekolah menengah dan bungsuku masuk sekolah dasar, istriku terlahir sebagai manusia baru. Bendungan sabar yang telah ia bangun selama belasan tahun jebol juga akhirnya. Ia berubah menjadi istri bawel. Istri yang berani nyinyir sebab tingkah tolol suami.
Aku, sadar betul kondisi istriku. Jutaan caci yang ia pendam selama ini terlontar juga. Setelah apa yang ku berikan padanya selama ini, aku tak kuasa melarangnya berkata nyinyir. Tak mampu mencegahnya menjelma seseorang yang baru. Karena aku sadar ini sepenuhnya imbas dosa yang musti ku tanggung.
***
Dan pagi ini, kuterjang dingin berbekal ngiang amarah istri. Di saat yang lain lebih memilih menarik selimut yang melorot, ku teguhkan langkah demi penuhi janji-janji yang tiap kali ku ucap tuai cela istri. Peluh  yang ku keluarkan tiap hari tak jua mampu bayar lunas keluh anak istri.
Ku bikin satu dua langkah berseling jeda. Omelan istriku kali ini sungguh terasa menikam. Serupa tamparan untuk pipi yang tak jua sadar akan salah. Setengah jam berjalan aku baru menempuh setengah perjalanan. Perjalanan yang amat melelahkan. Perjalanan yang mestinya bisa ku tempuh lima belas menit saja.
Kembali ku bikin jeda. Dan dalam jedaku kali ini, di bawah temaram lampu jalan, ku lihat sosok yang terlihat kepayahan mendorong sesuatu. Lama ku tatap berharap ia mahluk sepertiku. Maklum saja, hari masih gelap. Jadi ku rasa mahluk tak kasat mata boleh jadi masih berkeliaran.
“Oalah, Cak[2] Kumis. Tak kira setan. Loh, lapo montore peno tuntun[3]?” seruku segera setelah tubuh gembul dan kumis tebalnya tersorot terang lampu.
Lambemu, Dul! La lapo setan atek gelem nyurung montor. Sial aku dino iki, Dul. Banku kecucuk paku. Entek mbledos,”[4] Cak Kumis galak menyambut tanyaku. Khas betul logat orang Surabaya.
“Ealah, saknoe.[5] Sini tak bantu dorong.”
“Alhamdulillah. Wong apik ketemu wong apik.[6] Ayo cepetan, Dul. Udah capek aku dorong sendirian dari tadi.”
“Loh, Cak. Sampean bawa apa ini?” tanyaku sambil menekan-nekan karung yang diikat di jok belakang motor. Padat nan empuk.
“Itu amanat, Dul. Makanya aku rela nuntun demi mengantarnya ke tempat tujuan.”
“Amanat apa se, Cak?” Aku makin penasaran.
“Itu kaos yang ada gambar presidennya, Dul. Gambar dia naik becak. Presiden kita kan dekat dengan rakyat. Ini aku juga pakai,” jelasnya sembari membuka resleting jaketnya berniat menunjukkan kaosnya yang bergambar presiden.
Aku mengamatinya perlahan. Gambar di kaosnya, pula gambar wajahnya yang tampak begitu bangga dan bungah.[7] Ia tunjukkan senyum terindahnya. Kumis yang biasanya menutup lengkung bibirnya, kini sedikit tersibak.
“Becak, Dul. Aku ini tukang becak. Presidenku deket sama aku, Dul. Aku bangga presidenku berpihak pada kaum kecil kayak kita.”
“Terus kaos sebanyak ini mau diapain, Cak?” Aku tak tertarik pada ceritanya. Setahuku semua pemimpin sama. Nyatanya, orang-orang sepertiku masih banyak. Mereka memang pintar merayu.
“Mau tak bagi ke semua tukang becak di Surabaya. Aku jadi agen untuk Surabaya. Program ini merata di seluruh Indonesia. Kamu mau jadi agen juga?” Ia menawariku.
Mboten, Cak. Suwun[8],” aku sama sekali tak tertarik.
“Ya sudah. Eh, sampai sini saja,” Cak Kumis berhenti di depan bengkel yang masih tutup. “Wes, ta la. Budalo. Diluk maneh lak buka a. Suwun wes diewangi,[9]” Cak Kumis tahu aku tak tega meninggalkannya sendiri.
“Baiklah kalau itu maumu, Cak.”
“Eh, Dul. Ini tak kasih satu buatmu,” ujarnya sembari memberiku sebuah kaos.
“Buat apa, Cak? Aku pedagang asongan, bukan tukang becak,” aku bingung untuk menolak.
“Buat doa, Dul. Aku tahu, orang kecil kayak kita butuh uluran tangan pemimpin. Siapa tahu besok yang ada di kaos itu gambarmu, pedagang asongan. Itu artinya kamu juga diperhatikan pak presiden, Dul,” ia berusaha meyakinkanku akan alasan yang menurutku sama sekali tak logis.
Aku terdiam. Sempurna terdiam. Berusaha mencerna maksud kata-katanya. Tapi tetap saja aku tak paham.
“Aku tahu kamu butuh duit, Dul. Kemarin istrimu ke rumahku mau pinjam duit. Katanya buat bayar sekolah Angger. Nggak tak kasih. La wong aku juga nggak punya duit. Tapi pas pulang, sama istriku dibawain beras. Kasihan aku, Dul, lihat istrimu,” panjang lebar ia jelaskan kedatangan istriku ke rumahnya. “Sudahlah, nggak usah malu. Aku iki gak combe,[10] Dul. Anggap saja kaos itu doa. Harapan buat presidenmu sekarang. Semoga kamu diberi lancar rejeki.”
Nggih, Cak. Suwun.” Aku benar-benar terharu menyadari besarnya usaha istriku menyelamatkan ekonomi keluarga. Pun Cak Kumis, orang yang terkesan garang namun menyimpan iba padaku.
Wes, gak usah gembeng.[11] Segera kejar mimpi anak istrimu.” Ia menepuk pundakku memberi semangat.
Ku cium tangan Cak Kumis. Hari ini, ia serupa guru bagiku. Guru yang menamparku berulang-ulang. Guru yang menyadarkanku akan tanggung jawab besar tanpa membikinku kepayahan memikulnya. Di hadapannya, ku kenakan kaos pemberiannya.
Dan langkah yang ku bikin berikutnya sungguh membuatku serasa melayang. Langkahku begitu ringan. Hingga sampailah aku di ladang rejeki. Tempatku mengais nasi. Namun tiba-tiba nyaliku kecut. Para pria berseragam hitam terlihat mondar-mandir. aku gentar. Aku hanya sanggup melewati beberapa anak tangga untuk kemudian bersimpuh disana.
Terbukti kaosku tak menolong. Setidaknya untuk memompa keberanian. Keberanianku sekejap musnah oleh pria berseragam. Maafkan aku, Sri. Maafkan aku, Cak Kumis.
Satu, dua, empat, tujuh, sepuluh kereta telah ku lewatkan. Puluhan keping uang telah ku buang. Ingin sekali aku menjerit. Meronta pada gambar di kaosku. Meminta pertolongannya. Berharap belas kasihnya. Tapi nihil yang ku terima. Ia yang tak berwujud mustahil bisa membantu.
***
Sengat matahari sempurna lenyap. Menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Di ujung tangga pintu masuk stasiun Surabaya, aku setia terduduk. Ku letakkan begitu saja tubuh di lantai. Setiap mata yang melintas menyempatkan diri bergerak menaruh pandang. Beberapa rela berbagi senyum. Lantas ku sedekahkan lengkung terindah di bibir keringku demi membalasnya. Orang serupa diriku tak kan mampu membikin banyak laku berbagi. Hanya yang tak berbayar yang sanggup ku bagi.
Sesekali bulu bangkit tersentuh desir angin. Genit betul ia sore itu. Menggodaku untuk larut pada candanya.Menggelitik tiap inci tubuhku demi membikin bergidik. Aku sedang tak ingin bersenda senja ini. Aku tak lagi punya cukup senjata untuk membela diri, lebih-lebih melawan. Hanya dengan kaos tipis yang membalut jasad ringkihku, pastilah aku tak mampu melawan tiup angin yang gemar datang bergerombol.
Sudah lepas pukul 18.00 dan telah lebih 12 jam aku bergeming. Duduk bersimpuh sembari mendekap keranjang berbungkus kresek hitam. Berkali-kali kuangkat, beratnya tak berubah. Untuk kesekian kalinya aku benci diriku sendiri. Diri yang tak mampu beranjak dari ketakmujuran meski di awal getol melawan keyakinan kaum Qodariyah. Hidup bukan kepasrahan. Ingin penuhi maksud maka kau wajib memperjuangkan asa yang telah tertabur. Sebuah konsep keyakinan yang tak lagi mampu ku pegang. Setidaknya hari ini, saat ku rasa jasad tak lagi mampu melawan gelisah. Ya, gelisahku memenangkan hari ini.
Hari ini ku putuskan untuk tidak pulang. Aku tak cukup pandai menyimpan malu layaknya istriku. Ku rasa maluku kian menumpuk. Malu sebab lalai akan kewajiban. Biarlah aku menanggung dosa ini tanpa harus membebani istriku. Sekedar memberinya makan pun aku tak sanggup.
Malam di langit Surabaya mulai merangkak seraya membawaku turut serta. Menyisakan gurat kelam dan carut-marut di mukaku. Dan kini, aku hanya ingin bercumbu bersama presidenku. Presiden kaosku. Hanya itu.
Tulungagung, 1 September 2014



[1] Terserah lah, pak.
[2] Panggilan untuk pria yang lebih tua
[3] Kenapa motornya kamu dorong?
[4] Mulutmu, Dul! Masak ada setan yang mau mendorong motor. Sial aku hari ini, Dul. Banku tertusuk paku.  Habislah pecah.
[5] Kasihan.
[6] Orang baik ketemu orang baik.
[7] Gembira.
[8] Tidak, terimakasih.
[9] Sudah lah, berangkatlah. Sebentar lagi pasti buka. Terimakasih sudah ditemani.
[10] Aku bukan pembongkar aib.
[11] Sudah, nggak usah cengeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar