Oleh: Nurul Istiqomah
Suprapto Suryodarmo, seorang seniman sekaligus
penari asal Solo yang telah melanglang buana berkeliling dunia, mendatangi kami
di Bilik Literasi kemarin, di hari kedua residensi. Bilik Literasi, yang
namanya pun baru aku dengar tiga hari sebelum keberangkatan kami bertiga ke
Solo, 31 Desember lalu. Solo dan Bilik Literasi catatan baru di hidupku. Aku
menikmati kenekatanku ini.
Terlepas dari semua keawamanku tentang Solo dan
Bilik Literasi, Mbah Prapto, panggilan akrab pria ini mengajakku perlahan
beranjak dari kebingungan, pun menambah pada kebingungan baru. Mbah Prapto yang
di setiap obrolannya tak pernah melewatkan persoalan candi, pasar, dan kampung.
Di awal, obrolan pria yang berada diantara kami di
ulang tahunnya yang ke 69 ini tidak menarik perhatianku, kecuali gaya
nyentriknya dengan busana yang benar menunjukkan bahwa ia seniman sejati.
Rambut gondrong bergelung, celana dan kemeja gombor, topi kabaret ala teater,
cincin akik, dan semua yang lekat di tubuhnya mengandung seni. Aku sempat
terkantuk-kantuk mulanya, hingga akhirnya setengah jam berikutnya mataku
terbuka lebar akibat setruman kecil di kuping, saat Mbah Prapto berucap, “candi saya itu toilet”. Keterlambatan yang
sangat ku sesali.
Menurut Mbah Prapto, keduanya, candi dan toilet
memiliki persamaan sebagai tempat pembersihan diri. Dari tempat inilah lahir
pikiran-pikiran genius dan berani hingga mengantarnya pada ide gila menggubah,
menyusun kembali aksara Jawa Hanacaraka. Aksara Jawa yang berbunyi “hanacaraka dathasawala padhajayanya
maghabathanga” ia rombak menjadi “Batharasaja
padhajaya ngacawahana magapala”. Karena menurutnya orang Jawa berhak untuk
menyusun abjadnya sendiri sesuai filsafat hidupnya.
Dalam diri manusia, menurut Mbah Prapto, terdapat
memori aksara. Dan manusia harus sadar akan itu. Poin plus itu semestinya
berlanjut pada proses mengawasi dan mewartakan. Jika manusia tak mewarisi
peradaban mengingat dan mewarta, manusia yang hidup di masa teknologi huruf atau tulisan ini seharusnya berkenan
untuk bergumul dengan aksara, membaca, dan memberitakannya baik melalui tulisan
maupun lisan. Aku malu mendengarnya.
Selama ini, aku tidak akrab dengan budaya membaca, menulis, bahkan mewarta.
Padahal, aku, menurut Mbah Prapto adalah kaum generator yang adalah generasi
penerus bangsa, pewaris kebudayaan Jawa. Kata-kata Mbah Prapto menohokku,
manamparku kuat-kuat. Semoga sadarku ini tidak hanya sementara.
Pria ini pembaca, pemikir, dan pendobrak kemapanan.
Ialah sang pewarta yang mewarisi memori aksara. Mbah Prapto sadar bahwa ia
tidak terlahir sebagai penulis. Dan Mbah Prapto selayak Muhammad dan Yesus yang
dicipta bukan sebagai penulis, melainkan untuk berkata dan bersabda. Penulis
menurutnya adalah pengganti Tuhan. Pengabadi-pengabdi firman dan sabda demi terjaga
dan tersalurkan keagungannya seharusnya aku, kamu, kita.
Mbah Prapto berbicara banyak tentang orang Jawa,
tentang pendidikan, warisan, bahkan peradaban. Mbah Prapto mengisahkan
bagaimana pendidikan Jawa yang penuh kutukan bukan pendidikan kemanusiaan.
Kutukan-kutukan diabadikan seperti Roro Jonggrang pada candi Prambanan, ia
adalah kutukan. Mendidik memakai kutukan juga masih dibawa hingga kini. Para
orangtua gemar menakut-nakuti anak mereka demi sebuah kepatuhan. Ini juga yang berlaku
pada mitos-mitos Jawa seperti larangan makan di depan pintu, makan sambil
tidur, dan lainnya. Bukan larangan terhadap hal-hal buruk tersebut yang menjadi
persoalan, namun kutukan yang dilontarkan untuk menakut-nakuti. Dengan
demikian, anak-anak terdidik menjadi pemilik mental-mental pengecut, yang
menurut akan larangan tanpa tahu alasan logis pelarangannya.
Mas Bandung Mawardi, bapak Bilik Literasi yang juga
berada di antara kami menggelontorkan pernyataan mengejutkan terkait aksara
Jawa. Bahwa penulis kamus Bahasa Jawa pertama kali adalah dua orang
berkebangsaan Belanda, J. F. C. Gericke dan T. Roorda. Javaanansch-Nedelandsch
Handwoorden Boek (1901) ini bertuliskan huruf Jawa Hanacaraka dengan terjemahan
Bahasa Belanda berhuruf latin. Huruf-huruf Jawa dalam kamus ini adalah bentukan
Belanda. Mbah Prapto juga turut membeberkan bahwa aksara Jawa dicetak
menggunakan batu pertama kali juga oleh Belanda. Aksara Jawa betul-betul telah
terkontaminasi oleh kolonialisme. Dan yang menjadi pertanyaan adalah apakah
aksara Jawa murni milik wong Jawa atau
malah warisan kaum Belanda?
Sore itu, meski aku tak cakap membaca aksara
hanacaraka juga terjemahan dalam bahasa Belandanya, ada debaran saat aku
menyentuh kamus langka ini. Aku seakan
menyentuh sebuah peradaban masa silam, dibawa masuk ke dalamnya sebagai
penyaksi pergolakan yang terjadi saat pembuatan kamus bersejarah tersebut.
Pergolakan yang memakan nyawa manusia. Aku bergidik.
Mendengar dongengan Mbah Prapto dan celetukan Mas
Kabut, aku sedikit belajar Jawa. Aku yang tak tahu apapun tentang Jawa,
lebih-lebih peradabannya. Aku merasa jadi wong
Jawa sing ora njawani. Aku malu pada diri sendiri, malu pada Mbah Prapto,
malu pada Jawa. Pesan Mbah Prapto yang masih terngiang adalah tentang history
yang dimaknai sebagai his story. Embah
berpengharapan penuh kepada kita sebagai generator untuk mampu menciptakan his story atau her story menjadi our own
story .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar