Sabtu, 14 November 2015

Pewarta Peradaban Jawa

Oleh: Nurul Istiqomah
Suprapto Suryodarmo, seorang seniman sekaligus penari asal Solo yang telah melanglang buana berkeliling dunia, mendatangi kami di Bilik Literasi kemarin, di hari kedua residensi. Bilik Literasi, yang namanya pun baru aku dengar tiga hari sebelum keberangkatan kami bertiga ke Solo, 31 Desember lalu. Solo dan Bilik Literasi catatan baru di hidupku. Aku menikmati kenekatanku ini.
Terlepas dari semua keawamanku tentang Solo dan Bilik Literasi, Mbah Prapto, panggilan akrab pria ini mengajakku perlahan beranjak dari kebingungan, pun menambah pada kebingungan baru. Mbah Prapto yang di setiap obrolannya tak pernah melewatkan persoalan candi, pasar, dan kampung.
Di awal, obrolan pria yang berada diantara kami di ulang tahunnya yang ke 69 ini tidak menarik perhatianku, kecuali gaya nyentriknya dengan busana yang benar menunjukkan bahwa ia seniman sejati. Rambut gondrong bergelung, celana dan kemeja gombor, topi kabaret ala teater, cincin akik, dan semua yang lekat di tubuhnya mengandung seni. Aku sempat terkantuk-kantuk mulanya, hingga akhirnya setengah jam berikutnya mataku terbuka lebar akibat setruman kecil di kuping, saat Mbah Prapto berucap, “candi saya itu toilet”. Keterlambatan yang sangat ku sesali.
Menurut Mbah Prapto, keduanya, candi dan toilet memiliki persamaan sebagai tempat pembersihan diri. Dari tempat inilah lahir pikiran-pikiran genius dan berani hingga mengantarnya pada ide gila menggubah, menyusun kembali aksara Jawa Hanacaraka. Aksara Jawa yang berbunyi “hanacaraka dathasawala padhajayanya maghabathanga” ia rombak menjadi “Batharasaja padhajaya ngacawahana magapala”. Karena menurutnya orang Jawa berhak untuk menyusun abjadnya sendiri sesuai filsafat hidupnya.
Dalam diri manusia, menurut Mbah Prapto, terdapat memori aksara. Dan manusia harus sadar akan itu. Poin plus itu semestinya berlanjut pada proses mengawasi dan mewartakan. Jika manusia tak mewarisi peradaban mengingat dan mewarta, manusia yang hidup di masa teknologi  huruf atau tulisan ini seharusnya berkenan untuk bergumul dengan aksara, membaca, dan memberitakannya baik melalui tulisan maupun lisan. Aku malu  mendengarnya. Selama ini, aku tidak akrab dengan budaya membaca, menulis, bahkan mewarta. Padahal, aku, menurut Mbah Prapto adalah kaum generator yang adalah generasi penerus bangsa, pewaris kebudayaan Jawa. Kata-kata Mbah Prapto menohokku, manamparku kuat-kuat. Semoga sadarku ini tidak hanya sementara.
Pria ini pembaca, pemikir, dan pendobrak kemapanan. Ialah sang pewarta yang mewarisi memori aksara. Mbah Prapto sadar bahwa ia tidak terlahir sebagai penulis. Dan Mbah Prapto selayak Muhammad dan Yesus yang dicipta bukan sebagai penulis, melainkan untuk berkata dan bersabda. Penulis menurutnya adalah pengganti Tuhan. Pengabadi-pengabdi firman dan sabda demi terjaga dan tersalurkan keagungannya seharusnya aku, kamu, kita.
Mbah Prapto berbicara banyak tentang orang Jawa, tentang pendidikan, warisan, bahkan peradaban. Mbah Prapto mengisahkan bagaimana pendidikan Jawa yang penuh kutukan bukan pendidikan kemanusiaan. Kutukan-kutukan diabadikan seperti Roro Jonggrang pada candi Prambanan, ia adalah kutukan. Mendidik memakai kutukan juga masih dibawa hingga kini. Para orangtua gemar menakut-nakuti anak mereka demi sebuah kepatuhan. Ini juga yang berlaku pada mitos-mitos Jawa seperti larangan makan di depan pintu, makan sambil tidur, dan lainnya. Bukan larangan terhadap hal-hal buruk tersebut yang menjadi persoalan, namun kutukan yang dilontarkan untuk menakut-nakuti. Dengan demikian, anak-anak terdidik menjadi pemilik mental-mental pengecut, yang menurut akan larangan tanpa tahu alasan logis pelarangannya.
Mas Bandung Mawardi, bapak Bilik Literasi yang juga berada di antara kami menggelontorkan pernyataan mengejutkan terkait aksara Jawa. Bahwa penulis kamus Bahasa Jawa pertama kali adalah dua orang berkebangsaan Belanda, J. F. C. Gericke dan T. Roorda. Javaanansch-Nedelandsch Handwoorden Boek (1901) ini bertuliskan huruf Jawa Hanacaraka dengan terjemahan Bahasa Belanda berhuruf latin. Huruf-huruf Jawa dalam kamus ini adalah bentukan Belanda. Mbah Prapto juga turut membeberkan bahwa aksara Jawa dicetak menggunakan batu pertama kali juga oleh Belanda. Aksara Jawa betul-betul telah terkontaminasi oleh kolonialisme. Dan yang menjadi pertanyaan adalah apakah aksara Jawa murni milik wong Jawa atau malah warisan kaum Belanda?
Sore itu, meski aku tak cakap membaca aksara hanacaraka juga terjemahan dalam bahasa Belandanya, ada debaran saat aku menyentuh kamus langka  ini. Aku seakan menyentuh sebuah peradaban masa silam, dibawa masuk ke dalamnya sebagai penyaksi pergolakan yang terjadi saat pembuatan kamus bersejarah tersebut. Pergolakan yang memakan nyawa manusia. Aku bergidik.

Mendengar dongengan Mbah Prapto dan celetukan Mas Kabut, aku sedikit belajar Jawa. Aku yang tak tahu apapun tentang Jawa, lebih-lebih peradabannya. Aku merasa jadi wong Jawa sing ora njawani. Aku malu pada diri sendiri, malu pada Mbah Prapto, malu pada Jawa. Pesan Mbah Prapto yang masih terngiang adalah tentang history yang dimaknai sebagai his story. Embah berpengharapan penuh kepada kita sebagai generator untuk mampu menciptakan his story atau her story menjadi our own story .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar